bc

Please, Come Back

book_age18+
336
IKUTI
1.5K
BACA
love-triangle
family
escape while being pregnant
love after marriage
second chance
sweet
bxg
cheating
wife
husband
like
intro-logo
Uraian

Pepatah bilang, semakin tinggi sebuah pohon, maka semakin kencang anginnya.

Ketika Arion dan April mulai menginjak babak baru. Mereka telah sepakat untuk meninggalkan luka lama. Luka tersebut akhirnya sembuh, dan keduanya sama-sama berjanji tidak akan ada lagi luka-luka selanjutnya. Lagi.

Tapi rupanya mereka berdua lupa, bahwa menikah dan hidup bersama tidak selalu berarti akan menjadi akhir bahagia yang sesungguhnya.

Mereka masih harus berjuang untuk tetap percaya, tetap bersama dan bertahan melewati jalan terjal dalam babak baru itu.

Hingga sampai pada akhirnya titik dimana mereka mulai rapuh.

Jika, di masa lalu Arion yang hampir pergi. Akankah Arion benar-benar pergi dan tidak akan kembali?

chap-preview
Pratinjau gratis
01
"Aku pulaang!" Sebuah seruan menggema ke penjuru ruangan, disusul dengan suara derit pintu yang di tutup pelan. Lelaki itu langsung mengangkat dua kantung belanja itu tinggi-tinggi, begitu kakinya melangkah masuk. "Papa bawa apa?" Dua pasang mata milik Kean dan Kinan yang tadinya sedang anteng duduk di sofa langsung berbinar. Tubuh mungil keduanya langsung berusaha turun dengan seimbang dan berlomba untuk mendapat pelukan pertama dari laki-laki yang kini mulai berjongkok dan merentangkan tangan lebar-lebar—bersiap menerima pelukan. "Kinan warna biru!! Yee!!" Anak perempuan berumur enam tahun itu lalu buru-buru membawa kabur paper bag yang telah ia incar untuk menaiki tangga. "Awas! Ati-ati naiknya! Ntar jatoh!" Arion bersuara. Dahinya langsung mengerut, melihat jagoan laki-lakinya cemberut. "Kenapa anak superman cemberut, gini?" "Papa mikir dong! Masa anak cowok di kasih warna pink!" Kean memprotes, lalu mulai tidak tertarik dengan isi kantung tersebut sekalipun. Anak itu beralih, mengambil remot tv di meja dan mengganti channel yang ada. Arion tersenyum. Ia mengendurkan dasi yang agak mencekik nafasnya seharian. Lalu duduk di samping Kean. "Kalau udah gede, kamu harus sering ngalah sama cewek, ya?" "Nggak mau! Kean nggak mau kaya Papa, yang maunya ngalah terus sama Mama!" Gemas, Arion mencubit bibir Kean lembut agar berhenti bersuara. "Ihh, anak kecil pinter ngomong!" "Lagian, anak kecil di ladenin." April menyahut, lalu sosoknya langsung keluar dari arah dapur sambil membawa nampan yang diatasnya terdapat dua cangkir Teh hangat. Ini namanya cuci mata.. Arion bergumam dalam hati, lalu menggosok-gosok telapak tangannya penuh minat sebelum menyesap Teh yang aromanya sudah menggoda. April duduk di samping suaminya. Menarik paper bag dengan warna mencolok itu untuk mendekat dan menggeledah isinya. "Bawa apa, nih?" "Buka aja." Arion menunjuk benda itu dengan dagunya, lalu mulai mengambil secangkir Teh dengan asap mengepul. "Kean nggak mau tau isinya?" April menoleh. Menurutnya, Kean adalah moodboster dalam ekspresi apapun.  Tak heran, ia tetap tersenyum sekali pun anak lelakinya itu sekarang sedang dalam keadaan cemberut dan menatap layar televisi tanpa minat. "Nggak. Liat warnanya aja udah geli," Kean bergidik. "Kean jadi curiga.. dulu Papa agak lembek, ya?" Mendengar itu. Arion langsung terbatuk, menurunkan cangkir teh-nya dan melotot kaget. "Siapa yang bilang? Mama?" Kean mengangkat bahu acuh. "Cuma nebak. Kalau marah, berarti iya." Arion langsung menggeser duduknya gemas. Ia langsung mengelitiki pinggang anaknya bertubi-tubi, hingga Kean menjerit minta ampun. Satu kelebihan yang mulai ia tau; Kean adalah anak yang pintar berbicara dan dewasa, sekalipun ia lahir setengah jam setelah Kinan. "Udah, Udah." April tidak kuat lagi untuk menahan senyum. Perempuan itu mulai membuka isi yang ada dalam kantung. "Liat sesuatu itu dari isinya, jangan dari bungkusnya." "Tapi, Ma.. Kalau luarnya nggak menarik, dalemnya juga pasti nggak menarik!" "Cheese cake?" "YES!!" Kean langsung tertarik. Dengan sumringah, anak itu langsung mendekati bungkus makanan yang sedang di pegang oleh April. Tapi, sebelum Kean mendapatkan kue favoritnya itu sepenuhnya, Arion langsung menarik kotak Cheese cake dari tangan April dan menyembunyikannya di balik punggung. "Katanya nggak mau..?" "Mau, kok! Mau!" "Bilang apa sama Papa?" "Thanks." Arion mendengus. "Nggak niat banget, sih!" "Okay, Thanks, Dad! Love you much!" *** Arion menggosok rambutnya yang masih basah dengan handuk, selepas keluar dari kamar mandi sepuluh menit yang lalu. Lelaki itu membiarkan dadanya terekspos dan hanya memakan celana pendek selutut dengan motif loreng tentara. "Kenapa nggak pake baju tidur sekalian?" Tanya April, perempuan itu berbaring di kasur sambil membalik halaman majalah berikutnya. Arion mengambil posisi duduk di tepi ranjang. Lalu memijat bahunya yang terasa pegal sejak tadi. "Dari tadi ini bahu kayak pegel gitu.. kenapa, sih?" April menyimpan majalah yang ia baca di atas kasur. Lalu mulai mendekati Arion. Perempuan itu meletakkan punggung tangannya di kening suaminya. "Agak panas dikit." "Seharian badan aku emang nggak enak." "Mau di kerokin? Kayaknya kamu masuk angin." Arion mengangguk. Padahal, ia berharap setelah keluar dari kamar mandi tubuhnya agak rileks. Tapi yang ada, badannya jadi tambah lemas. April mulai mengolesi minyak angin di area punggung Arion. Seketika, aroma theraphy langsung menusuk hidungnya. Meski begitu, tetap terasa menenangkan. Perempuan itu menguncir rambutnya menjadi gelungan acak agar tidak menganggu, sebelum akhirnya mengambil koin dan mulai mencetak garis-garis kemerahan di permukaan kulit punggung Arion. *** Penasaran, Kean mulai menaiki tangga tanpa suara. Jam menunjukkan pukul 8 malam, dan ia yakin Kinan belum tidur. Anak itu membawa sepiring potongan Cheese cake dari dapur. "Ki," Ia mulai mendorong pintu yang ternyata tak terkunci. Lalu mulai masuk ke kamar beraroma strawberry dan serba merah jambu. Kean memutar bola matanya. "Yaah, nonton Barbie lagi." "Apaan, sih! Masuk nggak ketok pintu!" Kinan langsung sewot. Movie marathon yang sudah ia rencanakan mendadak buyar ketika kembarannya datang menganggu. "Komik Miko yang kamu pinjem kemarin mana?" Kinan terdiam sejenak. Lalu mulai mengingat-ingat. "Lupa, kayaknya." "Tuh, kan! Kebiasaan! Kenapa, sih perempuan ceroboh banget!" "Ya abis aku lupa nyimpen dimana! Kalau nggak salah di kamar Papa sama Mama." "Sana, ambil!" Kinan mengangkat bahu. "Males, ah. Lagi nonton, nih! Nanggung." "Ih, ambil, nggak?! Nonton film terus, aku bilangin Mama!" "Biarin! Orang Papa yang beliin DVD baru." Kinan mengerucutkan bibirnya, meledek. "Kamu dapet DVD baru dari Papa?" "Iya, kamu dapet apa?" Kean tersenyum, lalu mengangkat piring Cheese cake nya dengan bangga. "Nih?" "Cheese cake!  Ih, mau dong!" Kean langsung mengangkat piring tersebut tinggi-tinggi, sampai Kinan tak bisa menggapainya. Jujur saja, dari kecil, memang mulai kelihatan kalau Kean lebih tinggi dari Kinan—yang kenyataannya adalah seorang Kakak, disini. "Yee, ambil dulu, sana!" "Argh," Dengan aksi ngambeknya, Kinan melemparkan bantal bermotif teddy yang tadi ia peluk, lalu mulai menuruni ranjang. Matanya menatap Kean dengan kesal begitu melewati pintu—tempat dimana Kean berdiri. "Tau gitu, pilih yang warna pink, deh!" Kean mendengus. Lalu meletakkan piring Cheese cake-nya di meja belajar Kinan. *** Dengan segala sumpah serapahnya, Kinan menuruni tangga untuk berjalan ke kamar Mama dan Papa. Kamar itu terletak di dekat ruang keluarga dengan pintu kayu bercat putih. Tangan mungil mendorong pintu pelan. Dalam hitungan detik, Kinan memejamkan matanya rapat. Lalu berbalik supaya tidak melihat sesuatu yang harusnya tidak ia lihat. Ia berjengit, ketika kepalanya di dorong dengan satu jari oleh anak laki-laki yang berdiri di hadapannya dengan tatapan sebal. "Lama!" "Bentar, ih! Mama sama Papa lagi pacaran!" Kean menjulurkan kepalanya, penasaran melihat apa yang terjadi di balik celah pintu. "Ihh! Jangan ngintip!" Kinan menarik lengan Kean. "Apa, sih?" "Nggak sopan!" Anak perempuan itu menarik baju Kean sampai berhenti di ruang tamu. "Kamu mau? Ntar kalau udah pacaran di intipin sama Mama atau Papa? Mereka bisa aja bales dendam kalau kita udah gede nanti!" "Nggak mau!" Kean menghempaskan tangan mungil Kinan, pelan. "Suruh siapa naroh Komik orang sembarangan?!" Kinan menggerutu kesal. "Ih, minta di tabok!" *** Perlahan, entah karena dorongan apa. Tiba-tiba Arion berbalik, mendorong tubuh April hingga jatuh ke tempat tidur. Laki-laki itu mulai merangkak naik, . . . . . . . . "Papa! Mama!!" Tapi, gagal. Seorang anak laki-laki kini berdiri di ambang pintu dengan tatapan tidak mengerti. Arion buru-buru menarik diri. Sama terkejutnya dengan April yang langsung terduduk dengan rambut agak berantakan. "K-kean?" Arion menghampiri anak itu, lalu berjongkok di depannya untuk saling menyamai tinggi tubuh. "Ada apa, sayang?" "Kinan bilang, Komik Miko punyaku ada disini! Cariin, makanya!" April mengangguk samar, lalu mulai menggeledah laci. "Di taruh dimana?" Kean mengangkat bahu. "Nggak tau, Kinan bilang ada di kamar Papa sama Mama?" Arion berdiri. Mulai membantu April untuk menemukan komik yang akhir-akhir ini menjadi Favorit anak lekakinya. Pria itu mengangkat bantal, selimut sampai merogoh bagian bawah kasur. "Nggak ada, tuh?" April mengangguk. "Beneran nggak ada, sayang. Coba tanya Kinan lagi.." "Ish!" Kean mendengus. "KINAN! KOMIKNYA DI TAROH DIMANA?!" Tak ada jawaban. Bahkan setelah lima detik Kean berteriak. "Eh, Ini ada di kamar!" Diam-diam April menghela nafas. "Tuh, kan.." Arion mengusap kepala Kean lembut. "Udah sana balik ke kamar. Udah malem.. kamu nggak tidur?" "Iya, entar." Anak itu mulai berbalik, menatap orang tuanya sedikit intens. "Maaf, ya kalau ganggu Mama sama Papa." Arion tersenyum manis. Lalu menutup pintu setelah ia yakin, Kean benar-benar kembali ke kamarnya. "Pril?" "Ya?" Perempuan itu menolehkan kepalanya, masih fokus memilah pakaian tidur untuk Arion. "Ngapain?" "Nih, pake. Masa kamu mau tidur telanjang d**a gitu? Yang ada malah makin masuk angin." Arion menggerutu kecil. Lalu menangkap pakaian berupa kaus polos berwarna abu-abu yang April lemparkan. Perempuan itu menutup pintu lemari, mengambil beberapa detik untuk bercermin. Sebelum menghampiri Arion yang kini berbaring di atas kasur, sambil memainkan ponselnya. "Padahal, waktu kecil.. aku nggak pernah ganggu Mama sama Papa kalau lagi mau—" Arion bersuara, seraya mengenakan kaus yang tadi April lemparkan. "Udahlah, namanya juga anak kecil. Mereka nggak perlu tau urusan pribadi orang tua." "Nggak mau lanjutin?" April tersenyum, lalu menarik selimut sebatas pinggang untuk menutupi tubuh keduanya. "Nggak sekarang," Arion meletakkan ponselnya di nakas, lalu memutar tubuhnya ke samping dan menarik pinggang perempuan itu mendekat. Sengaja. Ia merapatkan jarak diantara mereka. "Kenapa?" April melarikan jari-jarinya, mengusap pipi Arion lembut. "Kamu lagi masuk angin, kan?" Arion mencubit hidung perempuan itu gemas. Lalu merapikan helai-helai rambut yang terurai menutupi sebagian kecil wajahnya. "Kamu tau nggak? Kita udah nikah tujuh tahun, punya anak kembar yang sekarang udah sama-sama masuk kelas satu SD, tapi.." "Tapi apa?" "Aku sendiri ngerasa, kita masih SMA. Ngerasa masih pacaran kaya dulu, kamu ngerasa gitu nggak?" Perlahan April menenggelamkan kepalanya pada d**a bidang suaminya. Menghirup aroma musk yang menyengat. "Menurutku, SMA cuma penuh masa lalu. Jadi, jangan ungkit-ungkit lagi, ya?" Arion mengangguk lemah. Meskipun ada secuil rasa bersalah yang hinggap dihatinya. "Maaf, ya?" "Nggak papa, kok.. Intinya, yang aku pengen kamu nggak berubah kaya dulu lagi. Tetep jadi Arion yang sekarang," April mengelus lengan Arion pelan. "Suami yang baik buat aku, Papa yang baik buat Kinan, juga temen sekaligus pahlawan super buat Kean.. Oke?" Detik itu juga satu kecupan mendarat di pucuk kepala April. Hingga dalan waktu yang bersamaan, mata mereka saling terpejam. . . . (TBC)

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

DOKTER VS LAWYER

read
1.1M
bc

Loving The Pain

read
3.0M
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
77.8K
bc

Orang Ketiga

read
3.6M
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

My Ex Boss (Indonesia)

read
3.9M
bc

DIA UNTUK KAMU

read
39.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook