Violet hanya mengedikkan bahu acuh. "Okey! Minum dulu gih, kelihatannya seru juga percakapan kalian tadi sama ... Rezky itu."
Mentari yang hendak meraih gelas yang ada di hadapannya saat ini, mendadak urung karena mendengar ucapan dari Violet yang seolah tau saja apa yang diperbincangkan oleh mereka.
"Emang kamu denger, Vi?" tanya Mentari tak percaya.
Trias tak kalah paniknya. Ia khwatir jika Violet mendengar sepenuhnya apa yang diucapkan oleh Rezky, mungkin hatinya akan lebih sakit lagi. Karena yang didapat itu bukan soal pengkhianatan saja, melainkan dengan harga diri yang direndahkan.
"Lo seriusan denger, Vi?" tanya Trias pada Violet yang menatap mereka tak acuh.
"Menurut kalian bagaimana?" Violet menaik turunkan alisnya dengan mata yang menatap kedua sahabatnya tersebut.
Trias dan Mentari saling melempar pandang. Rencana mereka untuk tidak bercerita pada Violet kini akhirnya terpaksa, karena sangat sulit sekali untuk menahan diri agar tidak tergiaur berghibah.
"Iya, iya. Kamu tau gak sih, Vi? Rezky ngomongnya keterlaluan banget waktu tadi," ucap Mentari dengan tatapan tajamnya yang tengah menahan kesal.
Violet mendengarkan ucapan dari Mentari dengan seksama dan juga mulut yang tengah mengunyah makanan, ibaratnya agar tidak membuang waktu secara sia-sia.
"Kamu pengen tahu gak apa yang dikatakan oleh Rezky itu tadi?" Trias kini yang tengah berucap. "Dia bilang ... kamu itu gak pantas untuk dijadikan istrinya."
Violet berhenti mengunyah sesaat, dan kembali melanjutkan kegiatannya. Apa yang dikatakan oleh Rezky mungkin ada benarnya, karena sampai saat ini saja ia masih belum bisa sepenuhnya untuk memasak dan tandanya harus belajar lebih lama lagi.
"Itu yang dikatakan Rezky?" tanya Violet tenang.
Trias dan Mentari dengan kompak langsung mengangguk. Mereka kini menunggu raut sedih pada wajah Violet--sahabatnya itu, tetapi sama sekali tidak ada.
"Itu memang sangat keterlaluan Vi, dan aku membencinya!" tegas Mentari semangat.
Trias ikut mengangguk. "Iya bener, Vi! Aku pun benci dengan laki-laki yang seperti itu, sok kecakepan banget sih, menjijikkan."
Violet tertawa renyah. Ia mengambil minumannya agar tidak seret pada tenggorokannya.
"Buat apa kalian harus buang-buang waktu untuk membenci orang yang seperti Rezky?" tanya Violet dengan tawa yang masih terdengar jelas.
"Iya karena ... dia udah ngerendahin kamu lah, apa lagi terus alasan yang cukup masuk akal?" Mentari kini memberikan argumennya.
"Ah, sebentar! Bukankah perselingkuhan juga itu salah satu alasan yang masuk akal? Bener kok itu," imbuh Trias menggebu-gebu.
Violet hanya bisa tertawa saja mendengar penuturan kedua sahabatnya tersebut. Mau bagaimanapun kehidupan pasti akan menempatkan diri kita pada hal-hal yang tak pernah diinginkan sama sekali, dan untuk itu kita hanya bisa percaya jika di ujung sana akan ada kebahagiaan.
Violet kini menatap sekita restoran saat ini, dan seperti tengah mencari sesuatu atau lebih tepatnya mencari sebuah keadaan yang mendukungnya, yaitu suasana sepi.
Trias yang melihat Violet tengah celingukan ke sana ke mari, mendadak merasa sedikit curiga dengan sahabatnya tersebut.
"Kamu lagi cari apaan sih, Vi?" tanya Trias yang merasa bingung dengan sikap Violet saat ini.
Violet kini kembali melihat ke arah dua sahabatnya tersebut. Ia hanya ingin memberikan sedikit pengertian saja, tentang rasa benci yang sama sekali tidak berguna itu.
"Aku gak cari apa pun, hanya mengamati kondisi saja," ucap Violet santai.
"Kondisi yang seperti apa?"
"Kondisi yang tepat untuk aku membicarakan hal ini dengan kalian."
"Memangnya apa yang mau kamu bicarakan itu?" Mentari kini melontarkan pertanyaan tersebut pada Violet.
Violet hanya tersenyum. Ia memejamkan mata untuk mengambil napasnya sejenak, dan mengaturnya agar tidak mudah terpancing, entah itu marah ataupun sedih.
"Untuk apa kalian membenci Rezky? Hanya dengan alasan tersebut saja kalian bisa membenci?"
Mentari menatap Violet. "Kamu bilang hanya alasan itu, Vi?"
"Itu bukan masalah kecil, Vi? Kamu kenapa sih?" Trias kini menatap Violet heran.
"Aku hanya ingin memberitahukan sama kalian berdua, untuk apa sibuk membenci mereka yang sudah menyakiti?"
"Apa gunanya itu? Hanya membuang-buang waktu saja, dan sudah jelas itu membuat hati kamu jadi kotor saja," terang Violet mantap.
Trias mengangguk saja. Ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Violet tersebut, dan memang itu hanya akan membuang-buang waktu.
"Apa kamu gak merasa sakit hati, Vi?" tanya Mentari dengan tatapan anehnya.
Violet menggeleng ragu. "Sakit hati, ya? Jujur itu pasti ada, tetapi untuk apa juga aku mengingatnya? Hanya buang-buang waktu bukan?"
"Aku kecewa sama Rezky, tapi mau bagaimanapun ... aku tidak bisa memungkiri jika dulu pernah mengukirkan hal terindah bersamanya."
Trias merasa aneh dengan Violet. Biasanya orang patah hati akan merasa sedih dan hancur secara bersamaan, apalagi ketika hubungan mereka katanya akan menuju jenjang yang lebih serius lagi.
Mentari pun tidak jauh berbeda dengan Trias, Ia juga merasa ada yang aneh dengan Violet, karena seperti orang yang tidak ada masalah apa pun, dan sepertinya ia kini mulai meragukan rasa cintanya sang sahabat dengan Rezky.
"Apa selama ini ... kamu gak beneran cinta dengan Rezky?" tanya Mentari menelisik.
Violet menatap Mentari dalam-dalam. "Aku sangat mencintai dia! Bahkan lebih dari diri aku sendiri," ucap Violet mantap.
"Lalu? Jika kamu sangat mencintainya, kenapa kamu tidak berjuang untuk mendapatkan hatinya kembali?"
"Untuk apa aku membuang-buang waktu?"
"Iya ... untuk rasa cintamu itu, Vivi!"
"Cinta itu ... ketika aku melihatnya bahagia, maka tanpa sadar aku pun juga bahagia." Violet menatap lurus ke depan. "Dan ketika dia terluka, maka aku pun akan merasakan hal yang tidak berbeda jauh."
"Ini pernyataan yang sangat konyol, sungguh! Semua itu omong kosong, Vi!" bentak Trias ngotot.
Violet tertawa mendengar kalimat konyol yang terlontar dari mulut Trias, tapi apa yang dikatakannya itu memang benar. Itu hanya akan berlaku untuk orang yang mencintai dengan buta, dan tidak pernah memakai sedikit logika.
"Kenapa bisa ucapan aku itu konyol? Bukankah itu yang sering dikatakan oleh para pujangga?" tanya Violet pada Trias.
"Para pujangga itu hanya berkata omong kosong, dan aku saja pasti akan merasakan sakit hati jika diperlakukan kek kamu itu, Vi!" jelas Trias yang tidak mau kalah.
"Mau sekeras apa pun tangan kita menggenggam, jika dia bukan takdirnya, pasti akan terlepas juga."
"Sebaliknya, kita mau cuek dan tidak perduli bagaimanapun, jika dia takdir kita pasti akan dekat."
Mentari paham dengan pernyataan dari Violet tersebut. Sebuah perumpamaan yang sangat familiar sekali terdengar di telinganya.
"Kamu bener sih, Vi."
"Emang aku mah selalu bener!" puji Violet dengan senyum jumawa.
"Jadi? Apa kamu beneran sudah mengikhlaskan ... Rezky?"