1. Prince Charming (1)
Chapter 1 :
Prince Charming (1)
******
“AKU mau putus denganmu,” ucap Haruki ketika ia tak sengaja bertemu dengan Mei di sebuah taman hiburan yang baru dibuka di kota sekitar satu bulan yang lalu. Mei yang saat itu sedang berjalan-jalan dengan teman sekantornya—untuk melepas penat sejenak—justru mendapatkan kejutan bak disambar petir di siang bolong tatkala melihat Haruki di ujung sana; pemuda itu tengah menggandeng seorang perempuan dan tertawa bersama seraya memakan churros.
Mei pun lantas terdiam, seluruh tubuhnya kaku tatkala melihat kekasihnya jelas-jelas sedang berkencan dengan perempuan lain. Langkahnya terhenti di tempat dan hal itu membuat teman-temannya jadi bertanya-tanya. Namun, tatkala mengikuti arah pandang Mei, mereka pun terperanjat. Mulut mereka menganga. Mereka akhirnya mengerti dan langsung ikut geram pada Haruki. Mereka terus mendorong Mei untuk melabrak kedua manusia tak tahu diri itu.
Akhirnya, di sanalah Mei, sudah berdiri di depan kedua orang itu. Mei pun hanya memberikan beberapa pertanyaan singkat, seperti: ‘Apa yang kau lakukan di sini, Haruki?’ dan ‘Siapa perempuan ini?’, tetapi alih-alih panik, Haruki justru menatap Mei dengan jenuh. Muak. Dia bahkan mendengkus dengan santainya. Setelah itu, yang ia ucapkan dari mulutnya hanyalah berupa: ‘Aku mau putus denganmu.’
Mei jujur kaget saat itu. Tubuhnya tak bisa bergerak seolah sudah terpasak ke bumi. Dia menatap Haruki dengan mata yang melebar. Ini serius, dia diputusin? Dia dibuang begitu saja?
Salah Mei…apa? Setahu Mei, dia selalu memperlakukan Haruki dengan baik. Dia juga tidak pernah bermain-main di belakang pria itu. Oke, mulutnya memang agak pedas, tetapi dia tak pernah menjelek-jelekkan Haruki. Walaupun kadang-kadang Mei kesal melihat pria itu yang kalau makan suara mengunyahnya berisik minta ampun, Mei tetap menutup mata dan menerimanya. Haruki itu kalau lagi makan persis seperti om-om yang makan dan minum di restoran murah sambil berjudi.
“Kau selalu sibuk bekerja dari pagi sampai sore,” ujar Haruki, tidak lagi menunggu jawaban dari Mei. “Kau membosankan. Tidak menarik.”
Jantung Mei serasa ditembak dengan panah bertubi-tubi tatkala mendengar hinaan itu. Oke, Mei memang tidak seceria gadis-gadis extrovert, tidak bisa bersikap terlalu manja juga. Namun, selama ini Mei sudah berusaha untuk menjadi pacar yang baik.
Apakah itu…masih kurang? Was she wrong all this time?
Meskipun Mei sedikit menyalahkan kekurangannya, dua detik kemudian, mendadak Mei jadi kesal. Bukankah Haruki yang duluan mengajak Mei berpacaran? Seharusnya Haruki tahu, dong, kalau Mei adalah gadis yang membosankan. Mengapa baru sekarang dia protes?
Pria b*****t.
Mei lantas mengangkat dagunya, membuat dirinya terlihat angkuh; dia tak ingin terlihat kalah di depan Haruki. Namun, walau dagunya terangkat, wajahnya tetap tanpa ekspresi.
“Oh, begitu, ya. Sayang sekali, ya, Haruki. Padahal, kalau kita bersama lebih lama, kupikir aku bisa sedikit menghemat. Jangkrik sepertimu akan berguna untuk beberapa ternakku. Waktu itu kau pernah bertanya padaku soal masa depan kita berdua, ‘kan? Sebenarnya, aku mau beternak karena gaji PNS-ku tidak sebesar itu untuk mencukupi hidup kita berdua. Kau pengangguran, soalnya,” ujar Mei blak-blakan dengan ekspresi datarnya. Teman-teman Mei sampai menganga. Ini serius, nih, Mei mengatakan sesuatu sekejam itu dengan ekspresi datar?
Mata Haruki kontan memelotot. Pria itu juga menganga. Buset, sakit banget, woy! Baru kali ini dia mendengar Mei menghinanya. Selama ini, gadis itu selalu baik padanya. Dia tak tahu bahwa ternyata sifat Mei sadis sekali. Mulut gadis itu sangatlah tajam. Sial, bikin malu saja. Soalnya, orang-orang yang lewat mulai mencuri-curi pandang ke arah mereka.
“Akhirnya, kau mengeluarkan sifat aslimu,” ujar Haruki seraya tertawa sinis. “Bisa-bisanya kau mengatakan sesuatu yang serius begitu tanpa ekspresi di wajahmu. Kau akan membuat semua orang menjauhimu, Mei; takkan ada orang yang mencintaimu.”
Mei bernapas samar, still deadpans.
“Kau juga, Haruki. Akhirnya, kau mengeluarkan bau busuk. Kupikir kaus kakimu saja yang busuk, ternyata otak dan hatimu juga busuk. Aku kecewa.” Mei lalu menoleh kepada perempuan yang sedang bersama Haruki. “Kau, Nona. Larilah sebelum terlambat. Dia punya pinjaman online di beberapa platform. Kakinya pun bau karena jarang ganti kaus kaki. Napasnya kadang-kadang bau juga, bau ramen. Aku pura-pura buta saja selama ini karena kukira dia baik padaku. Kukira, selama dia sayang padaku, aku masih bisa menahannya. Ternyata, dia seperti setan. Tahu begitu, mending aku cari pria yang tampan sekalian. Karena kebodohan ini, rasanya seperti ada yang melempar tahi sapi ke mukaku.”
Haruki kontan semakin merasa malu; amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Pria itu kontan berteriak sambil memelototi Mei. “MEI! TUTUP MULUTMU!! JANGAN BICARA SEMBARANGAN!!”
Mei mendengkus pelan. Ekspresi wajahnya masih betul-betul datar saat mengatakan, “Setidaknya aku takkan mengkhianati pacar yang selalu berusaha untuk menghabiskan waktu denganku walaupun aku banyak kekurangan. Oh, betul juga, ya. Kau itu cuma seekor jangkrik, jadi mungkin kau tak paham.”
Haruki memijat keningnya, mendadak merasa pusing bukan main. Serangan mulut Mei itu benar-benar sukses menusuk jantung dan hatinya. Beberapa detik kemudian, Haruki pun menghela napas, lalu menatap Mei lagi.
“Sudahlah. Hentikan semua ini. Aku tak ingin berdebat denganmu lebih jauh. Aku bosan. Aku sudah ada pacar baru yang lebih oke darimu,” ujar Haruki. Dia mulai menatap perempuan berambut pirang yang berdiri di sebelahnya. Seolah tak peduli apa pun, mereka mulai tersenyum pada satu sama lain, lalu saling merangkul tepat di depan mata Mei. Tatkala Haruki menoleh kepada Mei lagi, tatapan pemuda itu terasa begitu dingin. “Enyahlah, Mei.”
“Aku tak percaya kau seberengsek ini, Haruki,” ujar Mei seraya menyipitkan matanya.
“Ya ya ya ya.” Haruki menatap Mei dengan bosan. Dia sudah malas; dia tak peduli lagi dengan apa pun yang Mei katakan. “Terserah. Sekarang enyah dari hadapanku. Aku sudah punya pacar baru.”
Pada akhirnya, Mei pun hanya mendengkus kesal. Meski wajah Mei cenderung tanpa ekspresi, sebetulnya dia sedang menahan rasa dongkol. Tangannya terkepal. Kepalanya terasa panas. Dia juga malu karena diperlakukan seperti ini di tempat umum. Semua orang, termasuk teman-teman sekantornya, melihat kejadian ini secara live.
Karena kesal sekaligus malu, Mei pun langsung berbalik dan meninggalkan tempat itu.
Tiga hari sudah berlalu sejak kejadian itu. Mengingat ia dan Haruki baru berpacaran selama tiga bulan, sebetulnya rasa cinta yang terpupuk tidak sedalam itu. Namun, tentu saja itu tak mengubah fakta bahwa dia betul-betul sakit hati. Dia baru pertama kali berpacaran dan nahasnya dia malah diselingkuhi!
Setelah kejadian itu, keesokan harinya Mei tidak bekerja. Mei merenungi nasibnya selama satu harian itu. Rasa malu, kecewa, sakit hati, dendam, semuanya bercampur menjadi satu. Namun, untungnya Mei ‘belum’ menangis; dia sadar bahwa dia tak seharusnya menangisi pemuda malas yang mukanya macam blobfish itu. Dia memang mirip ikan jelek, serius. Sudahlah jelek, malah berselingkuh. Mei jadi tambah benci dan ilfeel. Mungkin faktor itulah yang membuat Mei perlahan-lahan mulai berhenti merenungi nasibnya.
Maka dari itu, hari ini—tiga hari setelah kejadian itu—Mei sudah lumayan membaik. Akan tetapi, kalau dia sedang melamun atau sedang sendirian begini, dia jadi mengingat kejadian itu lagi. Ujung-ujungnya, dadanya terasa sesak dan dia jadi berhenti bernapas sejenak.
Sebenarnya, saat ini Mei tidak benar-benar sendirian. Dia baru pulang dari Kantor Pelayanan Publik—tempatnya bekerja—dan memutuskan untuk mampir ke café langganannya sebentar. Dia mau membeli vanilla milkshake kesukaannya seperti biasa.
Ada beberapa orang yang duduk di dalam café itu. Di tiap-tiap mejanya ada yang ditempati oleh dua orang dan ada juga yang ditempati oleh tiga orang. Hanya meja Mei sendirilah yang ditempati oleh satu orang, yaitu Mei.
Mei meminum vanilla milkshake-nya lagi seraya menatap ke luar jendela. Ia memilih tempat duduk di pinggir, tepat bersebelahan dengan jendela. Jendela itu ada di samping kirinya dan menghadap ke area luar café, yaitu area pedestrian walkway. Café ini terletak tepat di depan jalan dan bersebelahan dengan bangunan-bangunan lainnya.
Ketika mendengar sebuah ketukan sepatu di depannya, Mei yang tengah mengaduk-aduk vanilla milkshake-nya itu refleks langsung melihat ke depan. Di sana, Mei melihat ada seorang pria yang memakai jas hitam (yang sebenarnya hanya ia sampirkan di tubuhnya sebagai outer, tidak benar-benar dipakai) dan di dalam jas itu ia memakai sebuah sweater berwarna hitam yang cocok sekali di tubuhnya. Celana yang ia pakai juga berwarna hitam, tetapi tidak segelap sweater-nya. Celana dan jasnya berwarna senada, yaitu hitam keabuan.
Pria itu memakai topi fedora yang berwarna hitam juga.
Tatkala pria itu datang, sosoknya yang memiliki tubuh yang bagus itu sebetulnya menyita cukup banyak perhatian. Minimal…orang-orang akan memberikannya second glance tatkala pertama kali menemukan sosoknya. Meski pakaiannya serba hitam, entah mengapa kelihatannya bagus-bagus saja. Cocok-cocok saja dengan tubuhnya. Justru terlihat sangat memesona, terutama pria itu juga memakai sebuah jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Dia terbilang sangat fashionable.
Pria itu terlihat seperti model…atau sesuatu sejenis itu.
Mei pun tanpa sadar telah memusatkan atensinya kepada pria itu; Mei benar-benar lupa bahwa dia harus segera memalingkan wajah karena bagaimanapun juga, pria itu mungkin akan terganggu dengan tatapannya. Mata Mei agak melebar; tangannya sampai berhenti mengaduk minumannya.
Namun, tanpa Mei sangka-sangka, pria itu tiba-tiba berhenti melangkah.
Ia berhenti tepat di depan meja Mei. []