Kenangan Penuh Luka

1441 Kata
  بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم ⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠ ⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠ Selamat Membaca   "Rania, kenapa kamu masih menangis?" Yusuf duduk di samping Rania, diusapnya kepala istrinya dengan lembut. Kejadian buruk tadi tidak bisa Rania lupakan, entah sampai kapan hal itu menyiksanya seperti ini. "Aa, aku mau berhenti kuliah!" kata Rania tiba-tiba. Suaranya parau namun penuh rasa idak ikhlas. "Kenapa?" "Aa tau sendiri. Kejadian tadi pasti diketahui banyak orang. Aku nggak siap nanggung malu, Aa." "Kamu bisa pegang ucapanku, nggak akan ada satu orang pun yang akan berani rendahin kamu karena kejadian tadi. Percaya sama aku, aku nggak mungkin bohong." Rania hanya diam. "Sekarang kamu cerita sama aku, kenapa kamu bisa ada ditempat itu sama, Raka." "Tadi waktu aku lagi sama Bianca, tiba-tiba ada laki-laki yang kasih aku surat. Pas aku buka ternyata isinya dari Aa. Di sana Aa bilang Aa mau kasih kejutan buat aku, aku harus datang ke tempat itu." Yusuf beristighfar. Pantas saja tadi Bianca sempat bingung saat Yusuf menanyakan keberadaan Rania. Kalau bukan mendapatkan informasi dari Bianca, Yusuf tidak mengerti bagaimana kejadian buruk harus menimpa istrinya. "Pinter banget dia makai nama aku buat rencana kotornya." "Aa, Aa nggak benci kan sama aku? Aa nggak bakal kurangin rasa sayang Aa sama aku kan? Sumpah Aa, aku nggak pingin kejadian itu terjadi, Aa. Apa yang dibilang sama Raka bohong Aa, aku nggak pernah macem-macem sama dia waktu pacaran dulu, Aa..." Rania duduk dari pembaringan-nya, memegang tangan Yusuf dan bersikap tidak ingin kehilangan. Rania tidak siap. Meski Yusuf mengatakan bahwa dia tidak mempermasalahkan ini semua, tetap saja tidak bisa membuat Rania merasa tenang. "Aku percaya sama kamu." Yusuf membawa Rania ke dalam pelukan. Ia tidak akan pernah membiarkan Rania terus-terusan dibayangi kejadian buruk itu. Kalau Yusuf punya cara ampuh untuk membuat Rania melupakannya dalam sejenak, Yusuf akan melakukannya detik ini juga. "Sekarang kamu mau nggak, kabulin satu permintaan aku?" Rania menghapus air matanya, kemudian melepaskan pelukannya pada Yusuf. "Apa, Aa?" "Tersenyum. Aku rindu." "Senyum aku?" "Iya." "Emangnya sepenting itu, Aa? "Jelas. Karena saat bibir kamu tersenyum, d**a aku bergetar." Rania tersenyum saat mendengar kalimat Yusuf barusan. Rania akui, semua perlakuan Yusuf bisa membuat hatinya jauh lebih tenang, meski berada dalam situasi buruk sekalipun. Yusuf satu-satunya orang yang sudah berhasil membuat Rania selalu membuat Rania merasa nyaman. "Ma syaa Allah. Senyumnya geulis pisan, aduh Teh Rani bikin deg-degan..," kata Yusuf dengan intonasi rendah. Bahkan terdengar seperti rayuan. Rania memukul bahu Yusuf kuat, ini kali pertanya Rania mendengar Yusuf berbicara seperti ini. Entah kenapa hal ini melenyapkan semua ketakutannya. Rania semakin dibuat yakin bahwa Yusuf memang tidak akan pernah meninggalkannya. "Aa ... Jangan gitu." "Yah, pipinya merah lagi." "Emang keliatan, Aa?" "Iya." "Hmmm..." "Syukur deh, kalau pipinya udah bisah merah berarti sedihnya udah ilang. Jangan nangis lagi, ya. Aku khawatir jadinya." Selebihnya Rania hanya diam, bahkan tidak merespon lagi ucapaan Yusuf. Kemungkinan besar, untuk beberapa waktu Rania tidak akan hadir ke kampus, sampai Raka benar-benar menghilang dari kehidupannya. "Aa, tumben ibu aku belum pulang. Aku khawatir." "Kamu udah coba hubungin ibu?" "Udah, Aa. Tapi nggak diangkat." Yusuf mengerutkan keningnya, tampak memikirkan sesuatu. Sejanak Yusuf melirik jam dinding yang menunjukkan pukul Tujuh malam. "Kita salat dulu, kalau ibu masih belum pulang, kita cari ibu, ya." "Iya, Aa..." Perasaan Rania semakin tidak tenang. Ia merasakan seperti ada perasaan aneh yang diam-diam mengusik hatinya, yang jelas Rania sendir tidak bisa menemukan jawaban dari kegelisahan hatinya. Bahkan sampai selesai salat berjemaah sekalipun dengan Yusuf. Perasannya tetap sama. Pikirannya hanya terus tertuju kepada Asri. Semenjak Asri memutuskan untuk berhenti belerja di kantornya, ia tidak pernah pulang selarut ini. Kalau pun ada urusan penting, juga tidak akan seperti ini. Setelah selesai salat, Asri masih belum pulang. Hal ini tentu saja membuat Rania sangat khawatir, begitu pun dengan Yusuf. "Tenang Rania, coba kamu telepon lagi. Siapa tau sekarang diangkat." Rania hanya bisa mengikuti instruksi dari Yusuf. Dalam beberapa detik menunggu panggilan tersambung, akhirnya Rania merasa lega. Sebab ibunya sudah mengangkat telepon darinya. "Ya Allah Ibu, Ibu kenapa baru angkat telepon aku? Ibu nggak tau aku khawatir?!" "Maafkan ibu, Rania. Ibu ada di rumah sakit." "A--- apa?!" Rania terkejut. Bahkan jantungnya bekerja abnormal. Pernyataan rumah sakit begitu mengerikan di telinganya. "Ibu kenapa? Kenapa Ibu bisa ada di ruma sakit? Apa yang terjadi, Bu?" Rania tidak tenang, bahkan air matanya sudah jatuh bertetesan. Rania tidak ingin hal buruk terjadi pada ibunya, bahkan bisa melenyapkan nyawa ibunya. Rania tidak siap. "Bukan Ibu, sayang. Tapi, Senna." "Kak Senna? Kak Senna kenapa?" "Senna ada di rumah sakit, dia nyris keguguran." "Astagfirullah... Kok bisa, Bu?" "Panjang ceritanya, Rania. Ibu cuma mau ngabarin kamu, kalau malam ini Ibu nggak bisa pulang. Ibu harus jagain Senna. Nggak masalah, kan?" "Iya, Bu. Nggak pa-pa, Ibu jagain kak Senna aja. Yang penting Ibu udah ngabarin aku dan itu udah cukup buat aku." "Maafin ibu, ya. Soalnya tadi ibu terlalu sibuk ngurusin Senna. Ibu harus bolak balik nyari obat buat dia." Rania mengangguk mengerti. Yang terpenting sekarang Rania sudah tahu kondisi ibunya baik-baik saja. "Assalamualaikum..," "Waalaikumussalam...." Sekarang Rania menghawatirkan kondisi Senna. Bagaimanapun bayi yang ada dala kandungan Senna adalah keponakannya, satu-satunya anak Radit. "Ibu di rumah sakit? Kenapa?" "Kak Senna masuk rumah sakit, Aa. Kata Ibu, kak Senna hampir keguguran." "Jadi ibu nggak pulang?" "Iya, Aa..." "Yasudah. Sekarang kamu tau kalau ibu itu baik-baik aja. Jadi kamu nggak usah khawatir lagi." "Iya sih, Aa. Tapi sekarang aku khawatirnya sama kak Senna. Aku takut bayinya kenapa-napa." "Nggak baik menduga-duga apa yang belum terjadi, sayang. In syaa Allah Senna dan bayinya itu baik-baik aja. Lebih baik kamu mendoakan mereka." Rania menganggukkan kepalanya. "Sekarang kita mau ngapain?" "Nggak tau, Aa. Kalau dulu aku suka ke masjid sama Bianca sama Alia, terus kadang main dulu." "Main apa?" "Petesan." Rania cekikikan sendiri. Yusuf melotot. "Segede ini masih main petasan? Ya Allah...." "Aa nggak ngerasain sih, gimana sensasi deg-degan saat petasannya mau meletus. Kadang yang suka bikin kesel itu, kita udah capek-capek tutup kuping, tapi petasannya malah nggak meledak." Yusuf terkekeh kemudian menggelengkan kepalanya. Rania, Rania... "Aku mau cerita nih." "Cerita apa, Aa?" "Dulu waktu aku kecil, aku juga suka main petasan." "Emang pas jaman Aa kecil udah ada petasan?" tanya Rania bercanda "Ya adalah. Kamu pikir aku udah setua itu apa?" "Becanda, Aa. Ayo lanjutin ceritanya." "Ya aku dulu termasuk anak yang lumayan nakal. Aku pernah nyuri sarung pak ustaz, karena menurut aku ustaz itu bawel baget. Dia bilang main petesan ganggu orang salat. Ya waktu itu aku ngebantahlah, kalau yang ganggu orang salat itu main petasannya di hadapan orang yang salat. Nah karena aku kesel aku ambil tuh sarungnya. Terus aku sama temen aku masukin petesan ke sarung pak ustaznya." "Hahaha, ya Allah, Aa ... Kok jahat banget sih? Terus pak ustaznya gimana?" "Ya petasannya meledak. Untung pak ustaz-nya nggak kenapa-kenapa." Rania masih belum bisa menghentikan tawanya. Ia tidak menyangka kakau Yusuf akan seperti itu. "Teruz gimana, Aa?" "Anehnya pak ustaznya tau itu kerjaan aku. Aku dihukum bersihin lantai masjid, padahal lantainya udah bersih lho." "Sumpah, Aa.. A Yusuf jahat banget..." "Ada yang lebih parah lagi." "Apa itu Aa?" Rania berusaja menahan tawanya agar tidak lepas. "Aku rusakin mikrofon buat adzan." "Ya Allah, Aa ... Itu mah jailnya kelewatan. Terus kenapa sekarang Aa bisa baik kayak gini." Yusuf diam sejanak. "Ada kejadian yang membuat aku terpukul begitu hebat." "Kejadian apa, Aa?" "Aku ngebunuh adik aku sendiri." Rania melotot, bahkan hampir tak percaya. "Maksud A Yusuf? Ngebunuh?" "Iya, Thira sebenarnya kembar. Waktu itu aku cuma niat bercanda. Aku gendong dia dengan tujuan bikin mama aku panik, aku pikir aku kuat gendong dia tapi nyatanya dia jatuh dari tangan aku. Karena kejadian itu semuanya marah besar. Mama, papa dan semuanya. Nenek aku juga nyalahin mama karena anggap mama nggak becus ngurusin anak. Mama sama papa hampir cerai karena aku, akhirnya karena nggak kuat ngurusin aku yang kelewat nakal, aku dikirim ke pesantren dan balik lagi ke rumah ketika aku ingin kuliah. Di pesanteren didikannya keras banget, tapi aku bersyukur. Karena di sana aku banyak belajar dan Alhamdulillaj bisa seperti sekarang." Seketika suasana berubah menjadi dingin. "Sampai sekarang, kadang aku masih suka inget kejadian itu, hal itu bikin aku tersiksa." "Tapi Aa nggak salah sepenuhnya. Aa kan nggak niat jahat." "Entalah, sayang. Yang jelas aku sangat merindukan dia." "Aa kehilangan adik yang Aa sayang, aku juga kehilangan kakak yang aku sayang. Kan Aa yang selalu ajarin, kalau kita kangen sama orang yang udah nggak ada, kita harus doain dia. Supaya dia tenang." "Istri aku udah pinter ya sekarang." "Kan suaminya pinter, jadi istrinya ikutan pinter." Yusuf dan Rania sama-sama tersenyum. Merka berdua juga berharap, kelak akan dipertemukan dengan orang-orang yang mereka sayangi di akhirat. Bersambung Jazakillahu khairan khatsiiran ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN