1. Sebuah Pertemuan
Di ruang ganti sebuah Kafe seorang wanita tengah asik memandang pantulan dirinya sendiri di cermin.
Rambut yang dicepol tak lupa ada sebuah topi toque yang terpasang sempurna di kepalanya. Dilengkapi dengan white apron yang menutup bagian depan tubuhnya.
"Anda selalu terlihat sangat cantik Chef," kata Annisa memuji Khanza yang memang selalu terlihat cantik.
Sejak Khanza mendapatkan gelar Chef Annisa terus saja memanggilnya seperti itu.
"Aku benci pujian setiap hari mu itu. Bahkan aku sudah mendengarnya selama 1095 hari," gerutu Khanza.
Hampir setiap hari selama tiga tahun Annisa selalu memuji Khanza yang terlihat cantik dengan topi toque dan white apron.
Hanya di balas senyum manis yang murni dari lubuk hati Annisa menandakan seberapa besar persahabatan tulus yang telah terjalin.
"Chef, hari ini ada sekitar 200 pesanan untuk mini keik batik," ucap Annisa saat mereka sudah memasuki are dapur Kafe.
"Untuk jam berapa?" tanya Khanza.
Khanza Shalimar adalah seorang Chef sekaligus salah satu pemilik sebuah Coffee & Cake Shop yang dibangun tiga tahun lalu bersama sahabatnya Annisa.
Khanza memiliki tinggi hanya 153cm, berkulit putih, dan mata coklat yang sangat berbeda dengan kebanyakan orang indonesia.
Khanza—Annisa sudah berteman selama hampir enam tahun. Memiliki masalalu yang sama-sama gelap membuat mereka saling menguatkan untuk bangkit.
"Jam 12 siang, Chef. Tepat saat mereka istirahat."
"Annisa! Sudah berapa kali aku bilang untuk tidak terlalu formal. Kita ini sudah seperti kakak adik," gerutu Khanza yang tidak suka jika Annisa bersifat formal.
"Ini tempat kerja, Mbak. Wajar aja lah,” sanggah Annisa.
"Aku benci, Annisa," pekik Khanza. "Udah ihh ... sekarang kita siapin aja pesanannya. Semakin cepat siap maka semakin banyak waktu rebahan," sambungnya.
Penat akan berbagai pekerjaan membuat keduanya mencintai kasur. Tempat paling nyaman untuk menyalurkan segala rasa lelah akibat aktivitas seharian.
"Mbak, kita pakai bubuk milo atau cokolotos?" tanya Annisa bingung.
Sebab biasanya para pemesan keik batik akan memilih sendiri bubuk coklat mana yang akan dipakai.
"Kita pakai cokolotos aja, Annisa. Orang-orang di perusahaan pasti pikirannya banyak jadi kita kasih coklat yang itu aja buat meningkatkan kadar gula darah biar gak stres," jelas Khanza.
Setelah hampir tiga jam berkutat di dapur dengan beraneka ragam tepung serta bubuk-bubuk coklat akhirnya Khanza dan Annisa berhasil menyelesaikan 200 buah pesanan keik batik tersebut.
"Selesai," ucap Khanza girang, entah mengapa setiap selesai membuat kue perasaanya selalu senang.
"Eeemmm ... keik batik buatan Chef memang paling the best," ucap Annisa dengan mulut penuh memakan sisa keik batik.
"Dasar tukang makan ... belum dapat perintah makan udah dia duluan yang makan. Jangan lupa yang 10 potong itu pajang di etalase," kata Khanza memberi perintah.
"Yailah Chef gabisa banget liat aku bahagia dikit," ucap Annisa memelas.
"Nanti kamu gemuk lagi, Annisa. Lihat jam ... ini masih terlalu pagi untuk mengkonsumsi makanan berkalori itu," kata Khanza memperingati Annisa.
"Astaga!" Annisa menelan paksa kue yang belum sepenuhnya terlumat itu. Meneguk air putih sebanyak-banyaknya. "Aku lupa kalau lagi intermittent fasting, Mbak."
"Udah gagal, Annisa ... kalorinya udah masuk dalam perut kamu. Nanti gendut lagi baru tahu rasa,” omel Khanza.
"Belum juga naik sepuluh kilo, Mbak." Annisa berkata lirih menatap aneka kue yang tersusun rapih di trolley. "Kalau gitu aku beresin kue-kue ini aja didepan," sambungnya meninggalkan Khanza sendirian.
Selang beberapa menit Khanza pergi ke ruang ganti untuk membersihkan diri. Setelah selesai Khanza pun kembali lagi ke dalam Kafe. Mengawasi para karyawan yang sedang membereskan area tempat duduk pelanggan.
"Briefing time!" teriak Khanza. Jam sudah menunjukkan pukul 09.30 yang artinya 30 menit lagi Kafe akan dibuka.
"Good morning menjelang siang semuanya," sapa Khanza pada seluruh karyawan.
"Good morning juga," balas para karyawan serentak.
"Hari ini ada orderan mini keik batik 200 buah dan itu udah selesai. Nanti jam 11:30 tolong diantarkan! Yang bertugas Rian."
"Siap, Mbak." Rian berucap sembari mengangguk kepalanya.
"Untuk di etalase hanya ada sepuluh keik batik ... sedangkan di chiller ada lima. Dan itu khusus untuk pesanan milik Saguna," ucap Khanza menjelaskan.
"Ada yang mau di pertanyakan?" tanya Khanza setelah menjelaskan kegiatan hari ini.
Semua karyawan kompak menggelengkan kepala mereka.
"Oke kalau gak ada yang mau di pertanyakan saya akan tutup briefing ini, dan kalian pasti sudah hafal dengan pekerjaan kalian masing-masing. Selamat siang dan silahkan bekerja!"
Aktifitas toko kue itu terlihat sama sepeti biasanya, banyak anak kuliahan yang sekedar memesan coffee dan sepotong kue hanya untuk mendapatkan WiFi gratis agar tugas kuliahnya selesai.
Jalanan terlihat sangat ramai dengan lalu lalang kendaraan, debu berterbangan dimana-mana. Disudut trotoar terdapat pria dengan setelan kerja yang sudah acak-acakan.
Kancing kemeja atas terbuka, bentuk dasi juga tak beraturan, lengan kemeja digulung hingga ke siku.
Nasib jasnya terlihat sangat prihatin, hanya ditenteng, sesekali memukul udara tak bersalah dengan jas tersebut.
Pria itu berhenti sejenak saat menghirup aroma roti yang sedang dipanggang, dia mengikuti aroma tersebut, hingga tanpa sadar ia tiba disebuah Coffee & Cake Shop yang sedang ramai pengunjung.
Perutnya berbunyi nyaring saat aroma kue semakin jelas tercium di Indra penciumannya.
"Astaga sudah hampir jam 3 ternyata pantas aja perut ini gak bisa di ajak kompromi," ucapnya saat setelah melihat jam tangan mahal dipergelangan tangannya.
"Sejak kapan disini ada toko roti kok aku baru tau, ya? Padahal, 'kan tiap hari aku lewat jalanan ini. Apa gara-gara lewatnya pakai mobil jadi gak begitu keliatan apa aja yang ada di sekitaran jalan menuju kantor?" Pria itu bermonolog sambil memandangi toko kue.
"Mama, kasian deh Om-om itu. Dia ganteng tapi gilak, dali tadi, Wila pelhatiin dia bicala sendilian telus sambil liat toko kue itu," celoteh anak kecil yang sedang berjalan bersama ibunya.
"Wah sialan itu bocah! Pakai acara nyebut aku glia segala lagi. Sejak kapan coba ada orang gilak yang ganteng dengan pakaian mahal kayak begini? Kalau tidak ada ibunya sudah aku masukin karung itu bocah," gerutunya sambil terus memandangi bocah kecil dan ibunya yang sudah pergi entah kemana.
"Apaan itu? Kayak keik batik, tapi apa aku gak salah liat. Disini harusnya gak ada yang jual kue khas negara upin ipin," sambungnya berjalan menuju pintu masuk Kafe.
"Selamat sore, selamat datang di LanLan cake shop … ada yang bisa saya bantu?" sapa Annisa begitu melihat seorang pelanggan datang.
"Ini keik batik, ya?" tanyanya pada gadis berseragam pink khas LanLan Cake & Coffee Shop.
"Ia ... mau pesan, Mas? hanya tersisa satu lagi saja. Kebetulan keik batik adalah best seller disini," jelas Annisa.
Hening, pria itu hanya memandangi kue tanpa berbicara sepatah katapun. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Masnya mau pesan apa?" tanya Annisa sekali lagi.
"Keik batik satu sama Americano juga satu."
"Silahkan pilih meja terlebih dahulu, Mas. Supaya pesanannya bisa langsung saya input."
"Emm ... itu aja deh yang nomor sepuluh di sudut dekat kaca. Enak kayaknya sambil nikmati pemandangan."
Pilihnya jatuh pada meja yang memang tidak begitu mencolok jika di lihat dari depan pintu masuk.
Akan tetapi memiliki keindahan tersembunyi karna view yang ditunjukan.
"Keik batik satu, Americano satu dimeja nomor sepuluh. Silahkan menunggu, lima menit lagi pesanan anda akan datang," jelas Annisa dengan senyum ramah.
Saat Annisa tengah mengambil keik batik dari etalase tiba-tiba saja Khanza muncul.
"Pesanan siapa Nis?" tanya Kanza yang baru datang dari dapur membawa beberapa potong Cheesecake.
"Pesanan meja nomor sepuluh, Mbak," jawab Annisa.
"Emm ... kok kayak orang habis putus cinta gitu," kata Khanza.
Diperhatikannya pria yang sedang duduk dipojokan sana. Tampak pria itu sedang sibuk dengan ponselnya, sesekali menghembuskan nafas kasar sembari mengusap wajahnya. Kelihatan sekali bahwa dia sedang frustasi.
"Tapi ganteng loh, Mbak," ucap Annisa jujur sembari mengedipkan sebelah matanya menggoda Khanza.
"Kalau ganteng biar aku yang antar, kamu beresin ini aja." Khanza menyodorkan nampan berisi cheesecake kepada Nissa, dan langsung mengambil alih nampan berisi pesanan.
"Nampaknya akan ada kembang api nih,” batin Annisa tersenyum penuh arti.
"Permisi, Mas ... ini pesanannya," ucap Khanza lembut sembari meletakkan Coffee dan keik batik.
"Makasih." Jawabnya laki-laki itu dingin tanpa ekspresi.
"Ketus amat jadi orang, Mas. Abis di putusin pacarnya apa?" kata Khanza ingin tahu.
Pria itu mengalihkan pandangan dari ponsel mahalnya, menatap lekat wajah Khanza dengan sorot mata tajam.
Deg—
"Khanza ..." ucapnya lirih.
"Dzaky!" teriak Khanza tersenyum.
"Kebiasaan kamu kalau ngomong gak bisa pelan," kata Dzaky mengusap telinganya.
Hampir saja gendang telinga pria tampan itu pecah karena suara cempreng Khanza. Sejak dulu wanita dihadapannya ini tidak juga berubah pikir Dzaky.
"Maaf ... habisnya aku kaget banget bisa ketemu kamu disini." Annisa berkata penuh haru.
"Kamu itu kemana aja sih Khanza Shalimar? Sosmed gak aktif, WA juga. Kamu itu hilangnya kayak ditelan bumi tau gak?"
Laki-laki yang sepertinya baru bertemu dengan teman lamanya itu mencerca beberapa pertanyaan langsung pada Khanza.
"Siapa bilang aku hilang kayak ditelan bumi? Dasar kamu aja yang gak pernah liat aku," ucap Khanza berkilah.
"Ya ilah ... pake acara ngeles lagi udah kayak supir angkot yang rebutan penumpang di jalanan aja."
"Haha bisa bercanda juga bambang." Khanza tertawa garing dia seperti tak percaya melihat Dzaky berkata seperti itu.
Dulu, Dzaky yang Khanza kenal adalah seorang yang sulit untuk bicara apalagi berbaur dengan orang lain.
"Ya ialah, emang kamu kira aku manusia batu. Sekarang cepetan jawab kamu kemana aja selama ini?" tanya Dzaky penuh keingintahuan.
"Ahh i–itu ... udalah gak usah di bahas, aku juga sekarang gak suka main sosmed, kalau WA memang aku ganti soalnya nomor aku yang itu udah lama banget. Banyak juga orang yang enggak aku kenal tahu. Aku gak suka aja. Makanya, aku ganti," ucap Khanza mencoba setenang mungkin.
Mana mungkin Khanza menceritakan dunia jungkir balik yang sudah ia tutupi selama ini kepada Dzaky. Apalagi pria itu hanya sebatas teman lama yang tidak terlalu dekat kemudian tanpa sengaja bertemu di Kafe.
"Oh padahal aku sampai sekarang masih simpan nomer kamu yang lama loh."
Dengan cepat pria itu menunjukkan isi kontaknya. Masih terdapat nomor telpon Khanza disana.
"Kamu gak suka bersihin kontak, ya?" tanya Khanza heran melihat isi kontak Dzaky ada ratusan.
"Enggak lah. Malas. Buat apa juga? Lagian ini kebanyakan para kolega bisnis aja."
Dzaky menyeruput kopi Americano yang sudah hampir mendingin karena terlalu lama berbincang dengan Khanza.
"Rasain dong keik batiknya. Resepnya aku buat sendiri loh. Kamu ini dari tadi sibuk bicara sampai lupa sama kue yang udah terhidang." Khanza menyodorkan kue pesanan Dzaky.
"Itu karna kamu lebih menarik dari pada kue manis ini." Gombalan maut tiba-tiba saja keluar dari bibir pria tampan yang tampilannya acak-acakan.
"Haha. Sejak kapan, ya kulkas jadi hobi menggombal seperti ini?" tanya Khanza meledek Dzaky.
"Sejak kamu menghilang dari pandangan aku sekitar bertahun tahun lalu."
"Hahaha."
Tawa keduanya menggema di penjuru ruangan kafe, sampai para karyawan Khanza dibuat heran karna tak biasanya Bos mereka berbincang dengan lawan jenis apalagi sampai duduk berdua, bersenda gurau seperti itu.
"Wow ... kamu gimana bisa buat keik batik seenak ini?" tanya Dzaky saat suapan pertama masuk dalam mulutnya.
"Buatnya pakai hati. Kamu suka?"
"Ya, dari dulu aku suka kamu."
"Apa?" tanya Khanza yang tidak mendengar jelas ucapan Dzaky karena pria itu bicara dengan mulut penuh.
"Dari dulu aku suka keik batik cuman susah aja cari yang jualan kayak gini disini," kata Dzaky berkilah.
"Oh aku kirain apaan, habisnya kamu ngomong sambil makan sih." Khanza menganggukkan kepalanya.
"Selamat." batin Dzaky.
"Oh ia kamu kerja di Kafe ini, ya?" tanya Dzaky mencoba mengalihkan topik pembicaraan agar tidak terlalu kaku.
"Aku disini cuman karyawan part time. Kerjaan aslinya jadi Chef di hotel bintang lima yang diujung jalan itu." Khanza berkata apa adanya karena memang itulah kenyataannya.
"Seriusan! Masak dari anak IT bisa jadi bikin kue gimana ceritanya?" tanya Dzaky.
Dzaky heran, yang dia tau dulu Khanza adalah salah satu mahasiswi cerdas, kemampuannya untuk membuat sebuah program dengan berbagai bahasa sudah tidak perlu diragukan lagi.
"Aku hanya kembangin hobi aja. Kalau IT terlalu rumit. Nanti cepat tua
Apalagi bergaul sama banyak rumus. Dan radiasi dari gadget atau sejenisnya."
Hobi membuat kue memang sudah digeluti Khanza sejak masa putih abu-abu. Kebetulan ia bersekolah di SMK mengambil jurusan Tata Boga.
Pelajaran yang paling ia sukai adalah patisserie sejak saat itu juga ide-ide berbagai macam olahan kue terbentuk di kepalanya namun karna minimnya peralatan di rumah serta kedua orang tua yang tidak mendukung hobinya membuat Khanza mau tak mau harus mengubur mimpinya menjadi Chef pastry.
"Tante peli! Tante peli! Guna si cowok tampan udah datang nih. Tante peli! Oh Tante peli ... come hele,Tante peli!