“Lepaskan tanganku, Gabriel. Please, tanganku sakit.” Mau beberapa kali Gilly memohon pada Gabriel. Sayangnya, tak ditanggapi sama sekali. Sebagaimana Gilly meronta—membela dirinya agar bisa melepaskan cengkraman Gabriel yang kuat melukai tanganya. Sayangnya, tak ada hasil.
“Gabriel. Please, lepaskan tanganku kamu melukaiku,” mohon Gilly lagi.
Lagi, rengekan Gilly dan juga bentuk permohonannya tidak bisa meredam amarahnya yang menggebu-gebu di d**a laki-laki itu. Gabriel marah besar istrinya kembali kabur darinya lagi dan lagi.
Laki-laki itu membawa Gilly ke dalam ruang kerja yang kedap suara, lalu di hempaskan tubuh kecil itu hingga Gilly terjerembab menabrak sofa dan berakhir di lantai dingin. Gadis malang itu meringis, kembali menggeram kesakitan yang tertahan.
“Apa kau tuli, hah?” Iris biru sapphire itu menajam. “Aku sudah pernah tekankan padamu, Gilly Bachmeier. Kenapa kau mengulangi hal serupa? Kenapa kau membangkangku terus, Gilly?” seru Gabriel keras.
Tanpa ba bi bu, Gabriel mencambuk sang istri dengan ikat pinggang tanpa ampun bahkan Gabriel menulikan telinga dan hatinya mendengarkan tangisan dan kesakitan istrinya.
Seorang wanita yang seharusnya disayangi, dilindungi, dicintai tapi bagi Gabriel seolah tidak berlaku.Matanya selalu gelap, hatinya selalu menggebu dengan amarah yang membuncah mendengar—melihat istrinya kembali melarikan diri darinya.
“Ini hukuman yang pantas untukmu, istriku!” decak Gabriel seraya menghentikan kegiatannya. Nafas laki-laki itu terengah setelah puas mencambuk tubuh istrinya sementara perempuan malang itu meringkuk di iringi air mata yang terus berjatuhan.
“Jika kau terus seperti ini—membangkang dan berusaha kabur lagi dariku. Maka bukan cambukan lagi yang akan kau dapatkan. Tapi, mayat ibumu! Camkan itu!” ancaman Gabriel tidak main-main.
Dengan kepayah, Gilly mendekat dan memeluk kedua kaki suaminya. “Aku mohon maafkan aku, Gabriel. Tolong jangan bunuh ibuku.”
Gabriel kembali mengatur nafas dan juga emosinya. “Aku berjanji padamu tidak akan lari lagi asal kamu memperlakukan aku layaknya manusia di luaran sana. Tolong jangan penjarakan aku di mansion megahmu ini, beri aku kebebasan agar aku tidak lari darimu,” ungkap Gilly diiringi isak tangis.
Abaikan luka dan juga rasa perih—sakit yang menyengat di sekujur tubuhnya, yang ada di dalam pikiran perempuan itu hanya satu keselamatan ibunya karena ancaman Gabriel tidak main-main.
Gabriel berjongkok, satu tangannya terulur menarik dagu sang istri agar manik mata hijau keemasan itu menatapnya. “Apa kamu bilang, hm? Apa aku memperlakukan kamu seperti binatang?”
‘Ya, bahkan kamu memperlakukanku seperti binatang, Gab,’ batin Gilly.
“Apa selama ini kau kelaparan di mansionku? Apa kau tidak pernah mendapatkan barang branded jutaan euro? Tas, pakaian, sepatu, aksesoris mu bahkan perhiasaan bernialah ratusan euro, hm? Apa kamu masih menuduh aku tidak memperlakukanmu dengan baik, Nyonya Bachmeier?”
Gilly meringis, cengkeraman Gabriel pada dagunya membuat rahangnya kesakitan. “Bahkan aku menjamin kehidupanmu dan juga ibumu yang penyakitan itu! Kau hidup layak dan makan enak di rumah ini?”
Iris mata sapphire itu semakin menajam dengan degupan jantung yang kencang. “Lalu di sisi mana aku tidak memperlakukanmu tidak layak, Nyonya Bachmeier?” Gabriel menghempaskan dagunya, tubuh Gilly kembali terjengkang ke belakang.
“Kamu pemarah dan hal kecil yang tidak disengaja pun kamu akan melampiaskan padaku. Contohnya, seperti yang barusan kamu lakukan padaku.”
“Ck! Ini hanya hukuman yang pantas karena kau berulang kali melarikan diri, Gilly!”
“Aku melakukan itu karena kamu mengurungku seperti tahanan, Gabriel. Aku ingin bebas tanpa kamu kekang dan tertekan!”
Gabriel kembali berjongkok dan menarik dagu sang istri diiringi seringaian. “Kau—” Gigi Gabriel bergeretak diiringi sorot mata yang tajam pada sang istri. “Kau bukan Gilly Kohler si pianis jalanan yang miskin itu melainkan kau adalah Nyonya Bachmeier yang terpandang di Jerman! Aku sudah mengangkat derajatmu menjadi orang kaya raya, bisakah kali ini kau menurut pada suamimu saja, hm?”
“Apa aku juga harus diam ketika suamiku sendiri sering menganiaya istrinya tanpa sebab? Tidak hanya tubuhku yang kamu lukai tapi juga hatiku, Gab!” ucap Gilly membela diri.
Berharap Gabriel tersadar jika tindakannya itu salah. “Herannya, kamu tidak pernah melukai wajahku apa wajahku ini sebagai bukti jika pernikahan kita baik-baik saja? Menutupi semua kebusukanmu itu?”
Gilly sudah tidak peduli lagi jika Gabriel kembali menghukumnya karena mulai protes. Mati detik ini Gilly sudah pasrah karena tak sanggup lagi mendapatkan perlakukan kurang baik dari suaminya sendiri.
“Apa kamu takut orang tuamu atau orang lain lain tahu jika kamu sebenarnya seorang iblis kejam?” sambung Gilly lagi. Membayangkan siksaan apa yang lagi yang harus diterima ketika ekspresi menakutkan dari seringaian iblis itu tampak begitu jelas.
Gilly berusaha tetap waras dengan sikap Gabriel yang pemarah, temperamental. Seperti inilah potret rumah tangganya selama enam bulan menikah bersama pewaris Bachmeier yang banyak wanita irikan di luaran sana.
Dibalik penampilannya yang selalu anggun, dari ujung kepala sampai kaki semua barang branded yang dikenakan, ketahuilah Gilly memilih menjadi pianis jalanan nan miskin daripada hidup bak seperti ratu namun dia harus tersiksa lahir dan batinnya.
“Ah, baiklah.” Gabriel menatap tajam.“Kau ingin tahu bukan alasannya?”
Gilly mengangguk tanpa laki-laki itu melihatnya. “Kau pun heran kenapa aku tidak melukai wajahmu itu, hm?” Gabriel tak melonggarkan cengkraman di dagu Gilly, dia meringis kesakitan.
“Karena wajahmu inilah yang membuat hidupmu berada di dalam nerakaku!”
Gilly mengernyit diiringi menatap suaminya dengan tatapan bingung dan kepala yang penuh tanya, cengkeraman tangan kekar itu membuat rahangnya rasanya akan patah jika terlalu erat.
“A-apa maksudmu?”
“Kesalahanmu cuman satu yaitu….” Tangan kekar Gabriel mengendur. “Wajah cantikmu yang begitu mirip bahkan kalian berdua seperti kembar identic dengan mendian istriku. Lorenza Carter,” jawab Gabriel seraya menghempaskan tangannya di tengah ekspresi terkejut yang begitu nampak jelas di wajah perempuan malang itu.
“I-istri?”
Gabriel melipat tangan didada, dua ujung bibirnya tertarik membentuk seulas senyuman mengejek. “Ya, istri. Apa kau pikir cuma kau seorang istriku, hm?”
Gabriel tersenyum menakutkan. Namun, perempuan di depannya itu bukan takut dengan senyuman seringaian itu melainkan bingung dan juga penasaran.
“Apa kau pikir cuma kau seorang istriku, hm?”
Gilly bukan takut dengan senyuman seringaian yang ditunjukan suaminya melainkan dia bingung dan juga butuh penjelasan di sini. Satu pertanyaan yang begitu saja muncul, kenapa salam ini tidak ada kabar apapun yang dia dengar dari seorang pebisnis sukses nan kaya raya asal Berlin-Jerman seperti Gabriel Jork Bachmeier yang pernah menikah. Bahkan pernikahan Gabriel tak tercium awak media.
“Aku sengaja mendekati—memaksamu bahkan mengancam mu untuk mau menikah denganku. Itu karena—”Gabriel berjalan mendekati lemari besinya lalu mengambil sesuatu yang harus Gilly ketahui.
“Dendam!”
Mata Gilly melotot, otaknya berpikir keras. Dendam apa yang membuat laki-laki itu dengan tega menyiksanya?
“Aku tahu kau pasti bingung bukan tapi aku sudah menyelidiki hal ini cukup lama. Meski kau tidak ada hubungan darah dengan dia. Namun, sebagai wujud luka ini aku melampiaskan rasa sakit hatiku atas dendam yang Lorenza torehkan padamu,” ucapnya.
Gabriel melempar beberapa foto ke muka Gilly. “Jadi kau bisa menjawab sendiri kenapa aku memperlakukanmu dengan buruk!” sambungnya.
Gabriel menangkap ekspresi kebingungan di wajah istrinya. “Melihat wajahmu saja sudah membuat darahku mendidih. Rasanya aku ingin menumpahkan semua luka ini padamu!”
Nafas Gilly cepat bersamaan bola matanya yang melotot ketika satu tangannya mengutip satu foto yang Gabriel lemparkan ke wajahnya tadi. Betapa tak percayanya ia melihat foto yang ada di depannya saat ini. Wajahnya sangat mirip dengan istri pertama Gabriel, Lorenza Carter.
“Kau terkejut, hm?” Gabriel kembali mendekat, bibir laki-laki itu tertarik membentuk senyuman menakutkan. “Dulu, ekspresiku sama sepertimu. Terkejut!”
Gabriel hela nafas. “Aku bahkan mengira Lorenza punya saudara kembar. Tapi, nyatanya….”
Gilly diam tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. “Tidak! Bahkan kau dan dia tidak sedarah!” sambungnya.
“Jika aku tidak sedarah dengannya. Lalu kenapa kamu meluapkan dendammu padaku, Gab? Kenapa kamu tidak membalas dendammu pada Lorenza?” tanya Gilly, terheran.
Laki-laki itu menatap tajam, tentunya jika bisa dia akan membalas lukanya ini pada si pembuatnya bukan pada Gilly, seperti yang pernah Gabriel katakan jika kesialan Gilly itu karena berwajah sama dengan Lorenza.
“Jika aku bisa sudah sejak dulu aku membalas dendam pada si pemilik luka ini. Tapi sayangnya….”
Laki-laki itu menjeda seraya menatap Gilly yang memohon jawaban. “Jika kau ingin menyalahkan kenapa nasibmu begitu malang di tanganku. Maka kau datangilah dan salahkan pada wanita yang serupa denganmu itu yang kini sudah abadi di neraka!”
Lagi, lagi Gilly menatap bingung. “Apa maksudmu?”
“Lorenza Carter mati bunuh diri!”
Persendian Gilly rasanya lemas sudah. Dia tidak punya tenaga lagi ketika mendengarkan jika si pembuat luka ternyata sudah meninggal. Gilly terdiam dengan wajah pilu bahkan hanya untuk menarik nafasnya saja memberi udara pada rongga parunya pun rasanya begitu berat dan terasa sulit.
Entahlah, ini memang nasib Gilly yang buruk atau takdirlah yang begitu jahat padanya mengantarkan dirinya bertemu pada laki-laki yang mendekatinya hanya untuk membalas dendam atas apa yang tidak dia lakukan sama sekali.
“Ck! Ternyata kamu sungguh iblis yang menyedihkan, Gabriel!”
Gabriel tersenyum sinis. “Hah, kau benar, honey. Tapi beginilah aku yang sebenarnya karena luka aku menjadi iblis yang mengerikan untukmu!” terangnya.
Gabriel mendekat lalu berjongkok mensejajarkan tubuhnya di mana Gilly duduk di lantai. “Untuk yang terakhir kalinya aku peringatkan mu, Honey. Jika kau masih berani melarikan diri lagi. Maka aku tidak segan-segan mematahkan kedua kakimu agar kamu tidak akan pernah lari dariku lagi dan nyawa ibumu akan jadi taruhan di sini!”
Gabriel berbalik badan—menjauh dari posisi Gilly yang menatap pilu. “Sampai kapan kamu akan memperlakukanku seperti musuhmu, Gabriel? Apa kamu tidak bisa berdamai karena aku bukan Lorenza?!”
“Jangan pernah kau mengingatkan hal itu,” bentak Gabriel. “Sampai kapanpun sikapku padamu akan seperti ini sebelum dendam ini hilang. Mau tidak mau kau harus menanggungnya atas perbuatan yang dulu pernah Lorenza lakukan padaku,” lanjutnya menatap bengis.
“Berdoalah pada Tuhan, agar bayangan Lorenza tidak akan muncul di ingatanku. Jika Lorenza tidak muncul berarti kau aman!”
Kejamnya, itulah Gabriel Jork Bachmeier suaminya setelah kalimat ancaman yang dilontarkan secara frontal itu di semangatkan. Dengan gontai laki-laki itu pergi meninggalkannya dengan keadaan mengenaskan.
Jangan ditanya lagi bagaimana keadaanya. Sakit, itu jelas. Tidak hanya luka fisik yang didapatkan namun, mentalnya pun benar-benar di serang dengan kenyataan yang menohok hatinya jika sakit yang di rasa ini karena bentuk ajang balas dendam dari seseorang yang tak pernah Gilly kenali sebelumnya.
“Ya Tuhan, Gilly. Bicaralah pelan dan jangan menangis seperti ini,” ucap Tissa di panggilan telephonenya.
Gilly menghubungi sahabatnya yang bernama Tissa, dia ingin mengungkapkan isi hatinya yang kembali terluka oleh sikap Gabriel yang memperlakukan hal ini karena dendam seseorang.
Belum sempat Gilly menceritakan semuanya, air matanya tak kunjung berhenti menangis hingga di seberang sana Tissa hanya mendengarkan isak tangis Gilly yang terdengar sakit. Melalui Tissa, Gilly menitipkan ibunya dan sahabatnya itulah yang sudi menunggu dan merawat ibunya yang mengalami penyakit demensia.
“Aku sudah tidak sanggup lagi, Tissa. Gabriel begitu kejam padaku. Selama ini dia menyiksaku karena hanya untuk membalas dendam,” ucap Gilly dengan isak tangis.
Bukan hal baru bagi Tissa terkejut, sahabatnya itu sudah cukup mendengarkan cerita malang yang dialami Gilly.
“Aku mohon padamu, Tissa. Jagalah ibuku.” Tissa mengernyit, bingung. “Maksudmu apa, Gill? Kamu tidak akan berbuat nekat kan, Gilly?
Hening, Tissa tidak mendengarkan apapun selain suara tangisan Gilly. Tissa mulai khawatir dengan kondisi sahabatnya.
Di tengah keputusasaan, perempuan itu mengambil pisau lipat lalu menyayat pergelangan tangannya. Darah berceceran, perempuan itu hanya tersenyum lebar.
Jeritan asisten pribadinya yang baru saja masuk untuk memanggilnya makan malam membuat mansion Bachmeier di hebohkan melihat aksi bunuh diri Nyonya Bachmeier.
Gabriel membawa tubuh kecil itu ke dalam gendongan. Lelaki itu berbisik di telinga Gilly dan berkata, “Jika kau pun ikut mati seperti dia. Maka aku akan mengejarmu sampai ke neraka, Gilly. Ingat itu!”