Apa Perlu Aku Patahkan Kakimu?

1699 Kata
“Apa kamu yakin wanita itu ada di rumah sakit ini?” Alverno menyusul langkah Jamie yang cepat memasuki ruangan instalasi gawat darurat. “Ehm, aku yakin itu.” Pandangan Jamie seraya beredar untuk menemukan wanitanya. “Orang ku mengabarkan kalau Janetha ada di Berlin. Dia ada di rumah sakit ini dan mengalami pendarahan,” ujarnya. Setelah menjawab pertanyaan sahabatnya, Jamie berjalan menuju meja perawat. Alverno hembuskan nafasnya seraya memandangi punggung tegap Jamie yang tengah berbicara dengan suster. “Adakah?” Jamie berikan gelengan kepala. “Nggak ada pasien bernama Janetha datang ke instalasi gawat darurat dengan perdarahan. Tapi suster itu menyarankan untuk ke poli kandungan.” Jamie dan Alverno meninggalkan ruangan instalasi gawat darurat dan menuju ruangan yang dituju. Satu tangan Alverno lekas meraih ponsel—menghubungi orang kepercayaan, Lucas untuk menghandle semua pekerjaan pentingnya. “Kalau kamu sibuk. Pergilah, Al. Aku nggak akan menahanmu disini. Aku bisa sendiri,” ujar Jamie, saat ujung anak matanya menangkap sahabatnya yang terlihat sibuk berbicara dengan seseorang di panggilan telephonenya. “Setelah kamu bertemu dengan Janetha maka aku akan tinggalkan kamu di sini, Jam. Pergi pun aku nggak akan tenang nantinya,” jawab Alverno kembali memasukan ponselnya ke dalam saku jasnya. Baginya, lebih baik memastikan sahabatnya lebih dulu bertemu dengan kekasihnya daripada nanti Jamie berbuat onar di negara lain di tengah hatinya sedang tidak baik-baik saja. Ya, diantara Kim Woo dan Julian Jacob yang tahu masalah pribadi Jamie hanya dia seorang, Kim Woo yang dekat pun tidak tahu jika lelaki yang dikenal introvert itu memiliki kekasih. “Excuse me. Dimana ruangan kandungan, Sus?” “Oh, ujung lorong ini, Sir,” jawab Suster yang langsung dibalas ucapan terima kasih oleh Jamie. Di tengah lorong tersebut nampak Gilly baru keluar dari ruangan Dokter Gina. Wajah Gilly terlihat sedih dengan tubuh yang terasa lemas. “Tunggulah disini, Nyonya. Saya akan menebus obat lebih dulu dan juga hasil laboratorium anda.” Gilly mengangguk lemah, disandarkannya punggungnya dengan pikiran yang penuh. Pandangan Gilly tertuju pada dua bodyguard Gabriel yang berjaga ketat. Harapan Gilly begitu besar pada Dokter Gina mau menolongnya keluar dari rumah sakit ini. Sayangnya, Dokter Gina pun tidak berani karena konsekuensinya tentu akan membahayakannya dan juga keluarganya. Bodohnya lagi, Gilly terlalu meremehkan Gabriel. Diam-diam Gabriel sudah memasang kamera cctv di ruangan Dokter Gina dan memperhatikan gerak geriknya dari jarak jauh. “Nyonya Bachmeier. Ayo, kita pulang.” Suara Faruk yang cukup keras menyadarkan Gilly dari lamunannya. Dengan patuh tanpa berdebat lagi, Gilly bangun untuk lekas jalan. Entah kenapa sejak tahu jika Gabriel mengintainya, tubuh Gilly seolah tidak punya tenaga lagi, Gilly pun tak focus hingga terkejut saat seseorang dari arah depan menabraknya. Tubuh Gilly terhuyung, bola matanya mendelik dengan bayangan tubuhnya pasti akan remuk terjatuh di lantai dingin. Sayangnya, bayangan itu sama sekali tidak terjadi saat seseorang itu bergerak cepat menopang tubuhnya. Sontak hal itu membuat dua bodyguard Gabriel lekas mengambil tindakan. “Sorry, saya nggak hati-hati jalan!” “Ehm. It’s oke,” jawab Gilly seraya menatap lelaki yang menabraknya. Manik mata abu-abu keemasan itu tersenyum manis. Dia—Alverno lelaki yang menabraknya—ikut membantu memposisikan tubuh Gilly berdiri dengan tegak. Setelah mengucapkan kalimat maaf lagi, Alverno pun berlalu pergi menyusul langkah Jamie yang sudah menjauh. Faruk berjalan mendekat. “Anda tidak apa-apa, Nyonya?” tanyanya seraya memeriksa keadaan nyonya Bachmeier. “It’s okay,” jawab Gilly diring dengusan pelan. “Ah, ya. Aku mau ke toilet.” “Apa anda tidak bisa menahannya sebentar sampai rumah?” Gilly melongo, hidungnya kembang kempis pandangi Faruk yang amat menyebalkan. “Apa kau gila meminta Nyonyamu ini menunggu sampai 45 menit tiba di rumah?” seru Gilly, menggeleng kepala. Gilly menghembuskan nafasnya serentak dengan gigi yang bergemeretak saking kesal dengan tingkah orang kepercayaan Gabriel. “Apa kamu ingin saya buang air kecil di sini?” sambung Gilly, geregetan. “Toilet di sini tidak higienis, Nyonya,” ujar Faruk memberikan alasan. Namun, bukan itu alasan sesungguhnya melainkan Faruk takut jika Nyonyanya akan kembali melarikan diri dengan beralasan ingin pergi ke toilet. Gilly manggut-manggut paham. “Ah, baiklah kalau begitu. Saya sudah nggak tahan lagi ingin buang air kecil, mungkin di sini saja tak apa daripada saya harus menahannya sampai 45 menit sampai rumah.” Dengan sigap, Gilly memegangi roknya setelah memberikan tasnya pada salah satu bodyguardnya. “Takutnya jadi penyakit menahan ingin ke toilet jika terlalu lama menahannya.” Faruk menahan tangan Gilly yang hendak membuka celana dallamnya di depan banyak pasang mata. “Baiklah, Nyonya. Silahkan anda ke toilet,” ucap Faruk, mengalah. Pria paruh baya itu membungkukkan tubuhnya seraya mempersilahkan Nyonya nya untuk berjalan lebih dulu ke toilet. Dalam hati, Gilly bersorak senang diizinkan Faruk untuk pergi. Niatnya, dia memang ingin melarikan diri dari penjagaan ketat bodyguard sang suami. “Ah, sialan. Kenapa dia sangat menyebalkan sekali? Kenapa lelaki itu tidak bisa sedikit saja tidak menjaganya dengan ketat. Jika seperti ini bagaimana?” gerutu Gilly dalam hati. Toilet tersebut tidak ventilasi udara luar dan ruangan itu semuanya tertutup. Di saat Gilly mengampitkan kedua tangannya merapal doa meminta pertolongan. Seseorang dari belakang menepuk pundak Gilly hingga reflex kedua orang tersebut terperanjat kaget. “Are you okay?” tanya. Gilly mengusap d**a pelan, lalu berikan senyuman pada seseorang di depannya. “It’s okay. Sorry, aku mengejutkanmu. Aku pikir Faruk menghampiriku—” “No problem.” Seseorang yang tak lain wanita mendekat, lalu mencuci kedua tangannya. “Harusnya aku yang minta maaf karena aku sudah mengejutkanmu,” ucapnya. Gilly ikut mencuci tangan dan merapikan riasanya di cermin depan. “Apa kamu sedang diawasi?” tanya si wanita itu lagi. “Ehm, ya. Begitulah,” jawab Gilly pandangi wanita berwajah pucat yang tadi mengejutkannya. “Hai, apa kamu sakit? Wajahmu pucat.” Wanita itu berikan senyuman tipis sebagai jawaban, kepalanya mulai berdenyut pandangannya pun mendadak kabur. Tubuh wanita itu oleng, dengan sigap Gilly menopang agar wanita itu tidak jatuh. “Mau aku antar kamu ke depan untuk diperiksa dokter?” Gilly menawarkan bantuan, wanita itu pun menggeleng lemah tidak ingin ke depan apalagi di periksa oleh dokter. “Aku hanya sedikit pusing aja nanti juga sembuh. Aku sudah bawa obatnya kok, tenang aja,” ujarnya. Wanita itu mengambil sesuatu di dalam tasnya lalu tersenyum pada Gilly setelah menunjukkan bungkusan obatnya. “Tapi wajahmu sangat pucat, aku hanya cemas saja dan ingin membantumu.” Wanita itu mengusap lembut pipi Gilly. “Terima kasih sudah mencemaskanku. “Aku habis aborsi. Aku kira pendarahanya cuman sehari, tapi sampai detik ini masih terus keluar darah banyak,” ujar si wanita. Ekspresinya masih terlihat santai namun, berbeda dengan Gilly yang tampak terkejut sambil mengatupkan mulutnya rapat-rapat. “Ja-jadi wajah pucat mu seperti orang mati ini—” Gilly menjeda, bola matanya melotot pada si wanita. “Kamu Aboris? Tapi kenapa?” Wanita itu menarik nafasnya pelan. “Kekasihku tidak menginginkan anak dari rahimku. Jadi dengan terpaksa aku harus menggugurkannya. Aku dari Seattle.” “Lelaki berengsek kalau begitu!” umpat Gilly. Wanita itu kembali berikan senyuman lemah. “Tapi kenapa kamu jauh-jauh dari Seattle ke Berlin?” “Ceritanya panjang. Intinya aku datang kesini untuk menghindari dia, tapi tidak disangka dia nekat mengejarku sampai jauh seperti ini,” jawabnya. Gilly mengepalkan kedua tangannya. “Lelaki memang berengsek. “Aku pun diperlakukan tidak baik dan seperti tahanan kemana-mana harus diawasi oleh bodyguard suamiku,” ungkap Gilly seraya hembuskan nafas lelah. “Bukankah seharusnya kamu senang jika suamimu menjagamu dengan ketat. Mungkin dia mencemaskanmu?” Gilly mengangkat lengan panjangnya lalu menunjukkan bekas luka lebam di tangannya dan juga bagian tubuh lainya. Si lawan bicara pun terkejut seraya menatap iba. “Suamimu KDRT?” Gilly manggut-manggut membenarkan. Kedua wanita itu duduk di lantai dingin seraya kompak menghembuskan nafas berat dengan mata menatap langit-langit toilet meratapi nasibnya yang sama namun, beda versi. “Aku belum memperkenalkan diri. Aku Janetha.” Janetha mengulurkan tangannya dan disambut dengan ramah oleh Gilly yang menjabat tangan lemah itu. “Gilly.” Kening janetha berkerut lalu menatap Gilly sejenak. Nama itu seolah tidak asing di dengar. “Why?” “Namamu seperti tidak asing sering dibicarakan oleh teman-temanku akhir-akhir ini. “Apa kamu Gilly Kohler pianis berbakat itu?” tebak Janetha yang dianggukan ya oleh Gilly. “Ah, suatu kebanggaan aku bisa bertemu denganmu. Temanku sangat menyukai permainan pianomu,” sambung Jantha. “Terima kasih.” “Kalau begitu, ayo kita pergi dari tempat ini tanpa diketahui oleh kekasihku dan juga bodyguard?” ajak Janeta seraya bangun dari duduknya. “Tapi gimana caranya?” Janetha nampak berpikir, tak lama senyuman wanita cantik berwajah pucat itu mengembang saat melihat bantuan yang baru tiba. Gilly dan Janetha mengganti pakaian yang diberikan oleh kelima wanita tersebut setelah Janetha meminta bantuan. “Jangan takut, rencana kita pasti berhasil,” ujar Janetha memberikan semangat pada Gilly tak lupa memberikan senyuman hangat pada wanita muda di depannya. Kelima wanita tersebut membantu Gilly dan Janetha agar bisa keluar dari penjagaan bodyguardnya, dari kejauhan Faruk menatap curiga dengan kelima wanita dengan dua wanita diantaranya membawa dua buah koper besar. Faruk berbicara—meminta membuka koper tersebut sementara kedua wanita itu keluar dan lekas menjauhi toilet tersebut. Akhirnya Gilly dan Janetha lolos, keduanya pun berada di persimpangan jalan. “Aku senang bertemu denganmu, Gilly. Oh, ya. Berapa nomor ponselmu? Jika kamu bisa kabur dari suami dan ada waktu senggang, bolehkah kita bertemu lagi?” pinta Janetha yang dianggukan oleh Gilly. Keduanya punya bertukar nomor ponsel dan pada akhirnya mereka berpisah di persimpangan jalan. Gilly kembali melanjutkan jalannya agar lekas keluar dari gedung rumah sakit tersebut. Sialnya, bola mata Gilly menangkap keberadaan Faruk di belakang tengah mencari dirinya. “Oke, Gilly atur nafas dan jangan panik. Kamu pasti bisa keluar dari sini tanpa Faruk curiga,” gumam Gilly dalam hati dan kembali melanjutkan jalannya. Saat Gilly kembali menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan Faruk yang sudah tidak mengejarnya lagi. Baru saja Gilly menarik nafasnya lega tubuh Gilly terjatuh dan mendarat keras di lantai dingin saat tidak sengaja menabrak bidang d**a seseorang yang lebih tegap dan kuat. “Aw….” Gumam Gilly merintih, pelan. Satu tangannya terulur mengusap pantatnya yang kesakitan. Sepasang sepatu pantofel hitam yang menabraknya itu pun selangkah mendekat. Gilly menaikan pandanganya lalu berkata, “I’m So—” “Apa perlu aku patahkan kedua kakimu, hm?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN