Bab 9

1150 Kata
Dia tak menjelaskan apa yang menyebabkan ia bertemu dengan teman lama kakaknya itu. Hanya sebatas bertemu saja dan pria itu pun tampaknya juga mencoba menutupi. Perjalanan yang singkat itu akhirnya sampai juga. Tiga orang di dalam mobil tadi keluar. Mereka berjalan menuju lift. Setelah masuk, Dia merasa ingin segera sampai karena tak enak berjalan bersamaan dengan dua pria itu. Lelaki bernama Zayyan tadi berhenti. "Im, aku duluan ya." Senyum di bibirnya begitu manis. "Oke. Semoga ibu segera sehat lagi, ya. Salam buat ibu," balas Imran. "Iya. Nanti aku sampaikan." Sekilas Zayyan melirik pada Dia yang ikut berhenti lalu tersenyum dan masuk ke ruang rawat ibunya. Lantas Imran dan Dia kembali berjalan dan mereka menuju ruangan Aqila. Mereka menemui Halimah yang tengah menjaga cucunya. Tampak Aqila sudah lebih baik, sudah mau makan dan ketika Imran memeriksanya, kondisi gadis kecil itu semakin membaik. Hari berganti hari, Dia sudah jarang bertemu dengan suaminya lagi. Bahkan di rumah sakit itu pun, mereka tak lagi bertemu. Sepuluh hari berlalu, Aqila dinyatakan boleh pulang dengan catatan rawat jalan. Betapa lega hati Dia mendengar dokter memberitahu. Dia dan ibunya pulang bersama Aqila dengan taksi. Gadis kecil itu digendong oleh satpam jaga ketika mereka sampai di rumah. Mereka di dalam kamar Aqila sekarang. Dia menarik selimut untuk putrinya agar istirahat lagi. Namun, saat ingin berdiri, gadis kecil itu menarik tangan Dia. "Iya, Sayang." Dia mengusap rambut Aqila dengan senyuman. Ia tak boleh terlihat lemah di depan putrinya. "Papa mana, Ma? Kenapa papa tidak mau jenguk Aqila?" Dia menghela napas. "Papa lagi sibuk, Sayang. Aqila istirahat lagi aja. Nanti kalau sudah selesai, papa pasti datang." "Mah, Aqila mau ketemu papa. Aqila kangen sama papa. Papa kenapa lama sekali." Perih hati Diandra mendengarnya. Namun, ia bisa apa? Tak ada yang bisa ia lakukan. "Nanti Mama telpon papa, yah. Biar papa cepetan pulang." Dia mengajak putrinya tidur lagi. Berat rasanya ingin menghubungi Dani setelah tahu semuanya. Dia pun memutuskan untuk menghubungi Imran saja. Menceritakan semua yang terjadi saat di rumah sakit. Saat membaca pesan dari Dia, spontan Imran menggebrak meja yang ada di depannya. Pria itu meminta Dia untuk melepaskan Dani dan Dia memang menginginkan begitu. Imran keluar dari ruangannya membawa kemarahan, ia mencari hampir di semua ruangan rumah sakit. Namun sepertinya mustahil. Dani tak ada. Lelaki itu meminta Dia untuk menelpon Dani dan menyuruhnya berkumpul di rumah untuk membahas masalah yang sedang mereka hadapi. Dengan terpaksa, Dia mengiyakan dan mencoba mengumpulkan keluarganya di rumah itu malam ini. *** Malam yang dinantikan telah tiba, Dia memainkan tangannya yang dingin itu pada ujung jilbab. Sambil duduk menjaga Aqila yang kembali demam, wanita muda itu tak bisa tenang. Padahal di sebelahnya ada Halimah yang terus menenangkan bersama Mega. Deru suara mobil masuk ke halaman membuat Imran langsung mendongakkan kepalanya ketika ia duduk di ruang tengah rumah itu. Lelaki dengan kemeja merah itu berdiri. Lalu Diandra dan Halimah keluar dari kamar Aqila. Mereka bertiga terkejut melihat Dani datang bersama istri mudanya. Imran sampai menggeleng kepala. Di mana urat malu Dani. "Dia, Ibu, sini!" pinta Imran bersamaan ketika Dani melangkah ke ruang tengah itu. Ada Dewi yang selalu menggandeng tangan suaminya. Seolah mereka datang ke rumah orang asing. "Sorry, Dan. Kalau aku dan keluargaku ganggu kamu dan istri barunya." Setelah semua duduk, Imran membuka suara. Dani masih diam dan menunduk. Beberapa saat ia berpikir lalu setelah mantap dengan jawabannya, lelaki itu berkata, "Mas, maafkan aku. Aku menikah lagi atas permintaan mama." "Apa kurangnya Diandra, adikku, Dan?" tanya Imran dengan tegas. Ada Dia dan Halimah yang duduk di sebelah Imran. Wajah mereka berdua begitu pilu. Dia meminta Imran memberi keputusan dan menyampaikan pada Dani maksud mereka berkumpul di sana. "Dia wanita sempurna, Mas. Dia adalah istri terbaik yang pernah aku miliki." Mendengar suaminya bicara begitu, Dewi langsung berdecak. "Aku minta maaf, Dia." "Aku ingin pisah, Mas. Aku lebih baik hidup sendiri bersama Aqila. Jangan buat kami sakit hati setiap menatapmu." Diandra menyerobot. "Aku tau kamu sakit melihatku begini, Dia. Tapi ...." "Kamu menikah sudah selama itu, sampai punya anak juga. Jadi selama itu juga, kamu membohongiku. Apa kamu tidak bayangkan bagaimana perasaanku saat kamu menikmati malam pertamamu dengan wanita itu, Mas?" Dia menatap nyalang pada Dewi yang terus memegang lengan Dani. Dengan mata penuh rembesan air mata, Diandra menyaksikan kebimbangan Dani. Lelaki itu melepas tangan Dewi. Lalu berdiri dan berakhir berjongkok di depan Diandra. Kedua tangan Dani menggenggam tangan Dia. "Maafkan aku, Sayang. Demi anak kita, jangan minta aku melepasmu lagi. Aku yang salah. Aku minta maaf dan kamu boleh menuntutku apa saja. Semua hartaku, atau apa saja yang kamu minta. Akan aku berikan." "Mas! Bicara apa kamu itu!" Dewi berdiri penuh emosi. Dia menggeleng. "Aku bukan wanita yang mudah dibeli dengan harta. Cukup talak aku sekarang juga. Maka kita urus besok di pengadilan," kata Dia. Ia tak bisa berhenti menangis. "Tidak, Dia. Aku tidak mau kita bercerai." Dewi berdiri lalu menarik tangan Dani agar lelaki itu berdiri juga. "Kita pulang sekarang, Mas! Anakmu lagi sakit di rumah." Dani digeret dan diajak keluar. Lelaki itu tak menolak sedikit pun. Mereka menyaksikan kejadian itu. "Kita enggak boleh brutal, Dia. Ingin sekali aku menghajar Dani saat melihatnya begitu. Tapi, aku seorang dokter. Aku tidak bisa melakukannya." Imran menghela napas. Usai malam itu, Dani tak ada kabar lagi. Ia tak pulang bahkan dihubungi saja tak bisa. Dia hanya tinggal berdua saja dengan putrinya di rumah itu karena Imran dan dua wanita yang harus ia jaga harus pulang. Dua hari setelah itu, Aqila kembali demam. Sejak pulang dari rumah sakit, demamnya naik turun sampai Diandra terlihat semakin kurus memikirkan putrinya. Sementara Dani tak bisa dihubungi. Dani begitu tunduk dengan ucapan mamanya dan juga istri barunya. "Aqila sayang, kita ke rumah sakit, ya." Diandra panik melihat gadis kecil itu memegangi d**a dan tampak sesak napasnya. Karena bingung, Dia segera menelpon imran. Namun sayang, lelaki itu tidak mengangkat panggilan. Dia berpikir, kakaknya itu sibuk mengurus pasien. Diandra berlari keluar malam itu dan menemui satpam. "Pak, tolong carikan taksi. Aqila drob lagi, Pak." Melihat wajah gugup Dia, satpam jaga pun langsung mengiyakan. "Baik, Buk." Saat Dia kembali ke dalam untuk menggendong Aqila dan membawa tas, satpam yang terlihat bingung itu keluar pagar. Menatap kanan kiri berharap ada taksi yang lewat. Namun, sampai Diandra sampai di depan pagar pun, tak ada taksi yang lewat. "Aduh, Bu. Enggak ada taksi. Gimana ya? Saya adanya sepeda motor." Lelaki berseragam coklat itu tampak gelisah. "Aqila enggak boleh kena angin malam, Pak." Mereka sama-sama bingung. Kebetulan sekali, sebuah mobil keluar dari garasi sebelah rumah Dia. Satpam tadi berlari lalu menghadang mobil itu. "Pak, tolong, Pak! Anak majikan saya lagi sakit. Minta tolong antar ke rumah sakit bisa enggak?" "Ya udah, ayo!" kata lelaki di dalam mobil. Saat satpam tadi mengajak Diandra menghampiri mobil tetangga barunya, betapa terkejut Dia bertemu dengan lelaki itu. "Diandra, ya? Anak kamu sakit lagi?" tanya lelaki itu. "Iya, Pak Zayyan." Dia menunduk. "Ayo, saya antar ke rumah sakit. Kebetulan saya juga mau ke sana."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN