Bab 10

1129 Kata
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di tengah jalanan, dan ketika sampai, Zayyan langsung membantu Diandra menggendong putrinya. Pria itu membawa masuk dengan berlari. Tepat saat itu Imran ada di sana dan melihat keponakan dalam gendongan Zayyan. "Kenapa dengan Aqila?" Melihat Diandra datang bersama Zayyan, Imran panik. Ia langsung menghampiri. "Sesak napas," balas Zayyan cepat. Lalu putri kecil itu dibawa ke ruangan gawat darurat. Keadaan Aqila semakin memburuk. Ketika Imran memeriksa, detak jantung Aqila melemah. Zayyan dan Diandra diminta untuk menunggu di luar ruangan. Keadaan rumah sakit yang tampak sepi itu membuat keduanya duduk tanpa kata. Zayyan tak enak hati ingin bertanya pada wanita yang duduk di sebelahnya itu. Sejak tadi Diandra menangis. Pria gagah itu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Lalu mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya pada Dia. Diandra yang masih sesenggukan itu menerima uluran tangan Zayyan. Sapu tangan itu langsung digunakan untuk mengusap wajah yang sembab. Beberapa detik berlalu tanpa sepatah kata pun. Sampai Zayyan lupa kalau tujuan utamanya ke rumah sakit itu untuk menjaga ibunya yang sedang sakit juga. "Makasih banyak, Pak Zayyan. Saya tidak tau apa yang akan terjadi tadi jika tidak ada yang menolong," lirih Dia setelah lebih baikan. "Enggak usah panggil Pak. Enggak enak saya jadinya. Panggil Zayyan saja. Kebetulan saya juga mau ke rumah sakit. Jaga ibu saya yang sakit di lantai dua kamarnya." Dia sungkan menatap wajah tampan yang kini malah menatap dirinya itu. "Oh begitu. Bapak ke sana saja. Saya sudah tidak apa-apa. Anak saya juga sudah mendapat pertolongan di dalam. Kalau Bapak mau ke ruangan ibunya, silakan. Terima kasih banyak sudah menolong kami." "Udah dibilang, jangan panggil Bapak lagi." "Tapi ... enggak enak kalau manggil nama saja." "Panggil Mas atau Abang. Terserah kamu deh. Yang penting jangan Bapak lagi. Saya kan bukan bapak kamu." Lelaki itu tersenyum. "Iya, Mas. Eh, Abang. Abang atau Mas?" "Loh, kok jadi bingung?" "Enggak tau," balas Diandra lagi dengan wajah tak mau ditatap. "Abang aja deh. Ya udah, kalau ketemu lagi panggil Abang aja. Aku ke kamar ibuku dulu ya, semoga Aqila cepat sehat lagi." "Makasih, Bang." Zayyan tersenyum lalu meninggalkan Diandra sendirian di sana. Tak lama Imran pun keluar memberitahukan kepada Diandra bahwa Aqila kritis lagi dan kali ini lebih mengkhawatirkan. Diandra gemetaran mendengar penuturan kakaknya. "Jadi gimana, Mas?" "Telpon Dani! Suruh dia ke sini buat jagain anaknya. Aqila itu juga anaknya. Aku enggak mau kamu lelah sendirian. Dia itu papanya, harus merasakan juga bagaimana jadi kamu yang berjuang sendirian." "Tapi, Mas ... aku enggak mungkin telpon dia. Percuma. Karena mama pasti melarang Mas Dani ke sini." "Udah Dia, ikuti apa kata Mas. Oke." Imran menatap jam tangannya. "Sebentar lagi Aqila harus dioperasi. Maka dari itu Dani harus ada di sini. Dia harus tandatangan beberapa berkas jika anaknya mau ditolong. Kita enggak banyak waktu lagi, Di. Cepat telpon Dani!" Suara napas yang keluar dari mulut Imran semakin membuat Diandra panik. Wanita berkerudung biru muda itu menekan ponsel dengan nama suaminya. "Hallo, Sayang? Ada apa? Aku senang kamu mau menelponku." "Mas, tolong datang ke rumah sakit. Aqila kritis." "Aku ... aku lagi jagain Alfa, Di." Diandra mengusap air matanya. Berat napasnya menarik udara masuk ke dalam. "Oke. Maaf ya, udah ganggu. Jangan cari kami lagi." Diandra terisak hebat malam itu. Ia duduk sambil menyandar dinding. "Ya Allah, sakit banget." Sapu tangan Zayyan ia gunakan sampai basah semua. Imran keluar dari ruangan lagi untuk menanyakan soal Dani. "Gimana, Di?" Lelaki yang tampak mengenakan scrub warna hijau itu menyentuh pundak Diandra. "Biar aku yang tandatangan, Mas." Imran menghela napas panjang. Lalu menyerahkan keputusan pada adiknya. Diandra telah menandatangani berkas untuk operasi putrinya. Kini ia menunggu di depan ruangan mengerikan itu. Sambil terus merapal doa, Diandra mengetik pesan pada Mega agar mendoakan Aqila. Memberi kabar bahwa Aqila di rumah sakit lagi. Terkantuk-kantuk Dia menunggu di sana. Tak lama seorang pria tampak datang menghampiri. Lalu duduk di sebelahnya seraya menatap rolex di tangan kirinya. Pukul sebelas malam, Dia merasa ada seseorang di sampingnya. "Abang," lirih Dia. Lelaki itu tersenyum. Lalu melepas jaket hitamnya dan memberikan pada Dia. "Pakai nih! Dingin di sini. Kamu pucat banget. Aku bawa air minum." Malaikat dari mana yang datang malam itu? Diandra serasa bertemu dengan orang yang tepat. Tenggorokannya memang kering. Ia langsung menerima botol air mineral dari Zayyan. Juga memakai jaket yang Zayyan berikan. Hampir tandas satu botol, tersisa sedikit, air mineral itu telah menyegarkan seluruh tubuh rasanya. "Makasih banyak, Abang. Saya banyak ditolong. Enggak bisa balas kebaikan Abang." "Cuman air aja. Enggak masalah." Zayyan tersenyum. "Abang dari mana tau kalau saya di sini?" "Tadi tanya sama suster. Katanya anak kamu operasi. Saya tanyakan saja di mana ruangannya." Dia mengangguk. Satu jam mereka menunggu di sana. Akhirnya Imran dan beberapa dokter keluar dari ruangan itu. Tampak tangan Imran lembab, mungkin baru saja ia mencucinya. Dia dan Zayyan langsung berdiri. "Gimana, Mas?" Dia bertanya. "Kami tim dokter sudah berusaha, Di. Kamu jangan sedih. Aqila udah enggak akan merasakan sakit lagi. Dia enggak akan sesak napasnya lagi." Imran memeluk adiknya dengan berlinang air mata. Mulut Dia sudah tak bisa berkata-kata lagi. Kepalanya berdenyut nyeri ditambah gelap gulita ketika kepalanya mendongak ke atas. Dia tak sadarkan diri. "Zayyan, tolong!" pinta Imran saat panik adiknya pingsan. Dengan cepat lelaki di depan Imran itu menangkap tubuh Dia yang luruh ke bawah. Imran meminta seorang perawat menunjukkan di mana Dia bisa dibaringkan. *** Pagi itu, semua anggota keluarga Diandra berkumpul di depan ruangan. Mereka duduk di sana dan sebagian di dalam. Yaitu Halimah dan Mega. Dia terbatuk-batuk setelah bisa membuka mata. Ia merasa badannya lemas dan matanya susah untuk dibuka karena lelah menangis semalaman. Begitu menoleh ke samping, ada Halimah yang tersenyum dengan mata merah bekas menangis rupanya. Istri Imran tersenyum seraya mengelus pundak Diandra. "Udah bangun?" tanya Mega. Dia langsung ingat dengan kejadian semalam. Ia terisak lagi. Lalu bangun dengan cepat dan tak memedulikan keadaannya. Dilibasnya selimut yang tadi menutupi sebagian tubuhnya, lalu keluar dari kamar itu. Sampai di luar, ada tiga laki-laki di sana berdiri sambil membicarakan sesuatu. Mereka semua terkejut melihat Dia keluar. "Mas Imran, di mana Aqila?" "Aqila masih di kamar jenazah, Di. Kamu yang sabar ya." Imran mendekat. "Ya Allah. Anakku udah pergi, Mas? Mas Imran pasti bohong, kan?" "Sabar, Di." Kali ini Zayyan mendekat. Tatapan Diandra beralih pada sesosok yang sejak tadi diam saja. Di sana ada Dani juga yang datang setelah Subuh tadi. "Semua gara-gara kamu, Mas! Aqila ingin bertemu kamu sebentar saja, kamu enggak mau. Kamu lebih mementingkan istri barumu. Kamu jahat, Mas! Sebagai suami, kamu enggak adil. Sudah lihat bukan, Aqila sudah pergi. Udah enggak ada lagi yang harus dipertahankan. Ceraikan aku sekarang!" "Dia ... jangan begitu. Aku enggak bisa menceraikan kamu. Siapa yang akan jaga kamu nanti?" Dani memelas di depan istri pertamanya. Saat Dia lemas, lelaki bernama Zayyan itu menjawab pertanyaan Dani. "Biar aku yang jaga Diandra."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN