Bab 11

1330 Kata
"Kamu siapa? Berani-beraninya bicara seperti itu!" Dani membusungkan dadanya. Menantang Zayyan yang terlihat santai saja menanggapi. "Anda punya istri baik, tapi menikah lagi. Itu pun dengan menyia-nyiakan dia. Anda sadar enggak, kalau Anda sudah tidak berlaku adil pada Dia sebagai istri Anda juga." Zayyan seolah tak takut dengan Dani yang siap melayangkan tinjunya di rumah sakit itu. "Apa? Jangan sok tau kamu!" Dani langsung emosi dan mendorong d**a bidang Zayyan. Dani yang menyerang lebih dulu lantas ditarik tubuhnya oleh Imran. Suasana depan kamar itu berubah mencengangkan. Imran memanggil dua perawat yang tak jauh darinya lalu meminta mereka membawa Dani turun ke bawah. Dani meronta tak mau dipegang. Ia langsung pergi tanpa dipaksa lagi. Setelah serangkaian kejadian itu, mereka pulang ke rumah dan menjalani prosesi pemakaman Aqila. Waktu berjalan dengan cepat, kini Dia dan keluarganya menabur bunga pada makam dengan tanah yang masih basah itu. Batu nisan putih tertulis nama Aqila diusap-usap berkali-kali, wanita muda itu menyesali setiap langkahnya yang lambat dalam membawa Aqila ke rumah sakit. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Sampai rasanya air mata itu kering terkuras, Dia tidak pergi dari sana. "Dia, hari sudah mau gelap, ayo kita pulang," ajak Halimah seraya menyentuh pundak Dia. "Aku enggak mau meninggalkan Aqila di sini sendirian, Bu. Nanti dia kedinginan." Semua orang yang tersisa di sana tercengang mendengarnya. Begitu juga dengan Zayyan yang berdiri di belakang tubuh Imran. Namun, ia sadar bukan siapa-siapa di sana. "Dia, jangan begitu, Dia. Sadarlah, semua ini ujian. Hidupmu harus berlanjut." Imran menarik tubuh Dia agar berdiri. . Oleh lelaki pertama di dalam keluarganya itu, Dia tak berani lagi membantah. Dia dan mereka semua langsung kembali pulang. Tiga hari setelah kepergian Aqila, Dia mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Lalu membawanya keluar rumah. Ia ingin pulang ke rumah ibunya. Mobil taksi yang ia pesan sudah siap, dan Dia memasukkan koper tadi ke dalam bagasi. Lalu tubuhnya masuk ke dalam dan meluncur ke rumah ibunya. Ia tak tahu kalau dari belakang, mobil Dani mengikutinya. Perjalanan yang membutuhkan waktu satu jam itu akhirnya sampai juga di rumah Halimah. Dia langsung turun dan menurunkan kopernya. Namun, sorot mata tajam dari dalam mobil hitam yang berhenti tak jauh dari rumah itu langsung menekan ponsel dan menelpon Dia. "Alhamdulillah, kamu udah datang. Ibu khawatir sekali, Dia." Halimah menyentuh punggung putrinya yang baru saja menurunkan koper dan hendak masuk ke dalam. "Keputusan Dia sudah bulat, Bu." "Enggak apa-apa, Dia. Kamu butuh tempat dan tempatmu memang di sini. Untuk apa di rumah sendiri, sementara suamimu aja enggak peduli," sahut Mega yang baru keluar dari rumah lantas memeluk iparnya itu. "Semoga aja aku kuat, Mbak. Aku enggak bisa dan enggak tau apa aja yang disiapkan untuk persidangan." Dia menunduk sedih. Ponsel dalam tas berbunyi, Dia langsung membuka dan meraihnya. Ia melihat kontak suaminya memanggil. Ibu dan iparnya masuk ke dalam sambil membawa koper Dia. Sementara Diandra sendiri duduk di teras seraya mengangkat panggilan itu karena ia sadar, Dani masih suaminya. "Assalamualaikum, ada apa, Mas?" "Kamu di mana?" Dani berpura-pura tanya. "Di rumah Ibu. Maaf, aku pergi tanpa pamit. Tapi aku sudah kirim pesan ke nomor Mas Dani." "Kamu tega, Dia." "Terserah mas mau bilang apa. Aku enggak kuat. Aku mau kita pisah secara baik-baik." "Enggak bisa, Dia. Aku enggak akan menceraikan kamu." "Mas, lepaskan aku dan hiduplah bahagia bersama wanita itu." "Kamu tau wanita yang meminta cerai lebih dulu itu bakal enggak masuk surga tanpa hisab?" Dia terdiam sesaat. "Tapi aku enggak kuat hidup sama kamu, Mas. Kamu sudah berubah. Kamu tidak lagi seperti dulu. Dan aku tidak sanggup melihat suamiku berada di sisi wanita lain." "Kamu tau dosa apa yang akan ditanggung seorang wanita yang keluar rumah tanpa izin suaminya?" Air mata Dia merembes lagi. Ia tahu, dosa itu teramat besar. Namun, ia harus bagaimana lagi jika Dani tidak adil dan lebih sering di rumah istri barunya. "Makanya, Mas. Aku ingin kita pisah." "Itu enggak akan terjadi, Dia. Jangan mimpi, Sayang. Kau akan tetap menjadi istriku!" "Semua barang yang Mas Dani berikan ada di rumah. Aku pulang ke rumah ibuku lagi, Mas. Asal Mas Dani tau, perceraian bukanlah aib. Ketika kamu menikah lagi, aku stres karena sholatku sering kelupaan rokaatnya. Aku sering melamun dan tanpa sadar melukai diriku sendiri. Hidupku tak tenang dan satu lagi yang membuatku sangat kecewa dengan Mas, yaitu ketika Aqila ingin bertemu dengan papanya sendiri saat dia sekarat, kamu enggak mau datang, Mas! Di mana hatimu sebagai seorang ayah!" Dia segera mengusap wajahnya setelah panggilan ia akhiri. Napasnya tersengal, Dia mencoba mengatur dirinya. Di dalam mobil itu, Dani termenung. Ia memukul setir mobilnya sendiri. Lalu pergilah dari sana dengan kemarahan yang memuncak. *** Satu persatu surat yang Dia butuhkan sudah ia dapatkan. Saat ini ia menghela napas panjang sambil menatap setiap larik dari tulisan yang ia baca dalam hati. "Dia, gimana? Apa yang kurang?" tanya Halimah lalu duduk di sebelah putrinya. Sebenarnya ia tak tega melihat Dia stres seperti itu. "Udah semua, Buk. Tinggal ajukan aja. Cuman, nunggu kapan Mas Imran bisa, kan? Sekarang dia lagi sibuk di rumah sakit. Baru besok katanya bisa mengantar Dia ke pengadilan." Dia menarik napas dalam-dalam. Sebuah mobil masuk ke halaman rumah sederhana milik Halimah. Dua wanita yang duduk di ruang tengah itu langsung menatap ke luar pintu yang terbuka lebar. Dani keluar dari mobilnya lalu berjalan masuk. "Dia," ucapnya langsung. Dia tak mau berdiri. Ia tetap duduk dan tak menanggapi. Dani pun tak segan-segan langsung masuk dan bersimpuh di kaki istrinya. "Aku akan memperbaiki semuanya. Kembalilah ke rumah dan kita mulai dari awal." Dia menatapnya. "Sejak aku tau kalau Mas menikah lagi, kurasa aku semakin jauh dengan Tuhanku. Aku sering mengeluh dan memprotes kenapa hidup ini tidak adil. Bahkan kamu sendiri saja tidak lagi pernah tidur di rumah sejak Aqila kambuh." "Aqila sudah tenang, Sayang. Dia tidak akan sakit lagi. Dia pasti ingin kita bersatu lagi." Dani terus membujuk. "Kasih aku satu kali lagi kesempatan untuk berubah. Aku juga tidak bisa menolak keinginan mama. Sebagai menantu yang baik, kau pasti tidak akan tega dengan mama, kan?" "Mama yang tega denganku, Mas. Sehingga aku pun memilih mundur." Tak enak dengan dua orang yang tengah berusaha menyelesaikan masalahnya itu, Halimah pergi dari sana. Ia masuk ke kamar sambil berharap putrinya menemukan jalan. "Anggaplah Dewi sebagai adikmu sendiri. Dia itu sebenarnya baik," kata Dani lagi. Ia tak mau duduk di kursi. Terus berjongkok ke depan Diandra. "Mas enggak akan pernah tau bagaimana rasanya menjadi istri pertama. Aku tersiksa melihat kalian bersama." Dani mengusap wajah istrinya yang basah karena air mata. "Dia, aku tidak berselingkuh. Aku menikahi dia karena takdir." "Takdir yang kau pilih sendiri, Mas? Aku sudah lelah, Mas. Aku ingin menyerah." "Dia ...." Ponsel Dani tiba-tiba berbunyi. Pria itu segera meraihnya dari dalam saku lalu beralih pada kursi sebelah Diandra. Dia bisa mendengar suara mendayu dari wanita itu. Memang begitu lembut. Namun, dirinya selama ini juga selalu berkata lembut. Masih menjadi misteri kenapa Dani begitu patuh padanya. "Sayang, mau kan kamu kembali bersamaku? Aku janji, aku akan berlaku adil. Tetaplah di sisiku." Dani meraih kepala Dia dan membenamkannya ke dalam pelukan. Sebuah keputusan mencoba diambil oleh Diandra, ia berpamitan pada Halimah dan Mega untuk ikut bersama Dani. Entah kenapa saat ini ia begitu lemah rasanya. "Maafkan Dia, Buk. Dia akan mencoba memperbaiki yang sudah terjadi." Mereka berpelukan. "Selesaikan urusan kalian. Ibu tidak bisa dan tidak akan ikut campur. Kalau ada apa-apa, datanglah ke sini." Halimah menepuk pundak Dia. "Hati-hati, Di. Jaga diri baik-baik. Terus waspada dan jangan mau ditinggal lagi," bisik Mega sedikit kesal karena menganggap Dia lemah. "Doakan aku, Mbak." Dia masuk ke dalam mobil bersama Dani lalu mobil melaju kencang membelah jalanan yang padat. Sebelum sampai di rumah, Dani mengajak Dia berbelanja. Makanan dan kebutuhan dapur semua Dani penuhi. Niatnya untuk membujuk istrinya begitu besar. "Kenapa Mas Dani jadi lembut begini lagi? Seolah dia lupa dengan istri barunya. Tapi, terkadang lupa juga denganku saat di sana." Dia bergumam dalam hati. Sesampainya di rumah, mereka turun dari mobil. Betapa terkejut Dia melihat ada Dewi yang tengah menggendong bayinya di depan pintu sambil menatap ke arahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN