Bab 12

1373 Kata
"Kenapa dia ada di sini, Mas?" Dia berdiri mematung tak mau melangkah maju. "Sayang, kita masuk dulu. Kau akan tau apa yang akan terjadi nanti." Tangan Dani menyentuh pinggang Dia lalu menariknya agar ikut dengannya. Tak punya pilihan lain selain mengikuti apa kata Dani. Diandra berjalan dan tak mau menatap Dewi yang segera menghadang mereka. Tampak gelang yang sempat dilihat oleh Dia saat itu di koper suaminya, kini gelang itu ada di tangan Dewi. Dia merasa menyesal telah ikut suaminya pulang. Luka yang belum kering itu serasa kembali mengoyak batinnya. "Mas, kenapa kamu lama sekali? Anak kamu nangis terus ini loh!" Dani menghela napas panjang. "Maaf, Wi. Lain kali aku akan lebih cepat." Wanita berwajah muram itu menghentakkan kakinya ke lantai seraya masuk ke dalam rumah. Seharusnya Dia yang masuk lebih dulu karena dahulu kata Dani, rumah itu adalah untuknya. Baru sehari ditinggal, Dewi yang pindah ke sana langsung bersikap layaknya tuan rumah. Dani menggandeng tangan Dia dan mereka masuk. Sampai di ruang tengah, ternyata di sana ada Eni tengah menikmati buah yang ada di atas piring. Kakinya menopang dengan sepatu tinggi menjadi alas. Meskipun usia sudah tak lagi muda, wanita itu tak mau kalah soal fashion. Jauh daripada penampilan Diandra. "Mas, ada apa ini? Tolong, jelaskan padaku!" Dia berhenti di tengah jalan. Akan tetapi, Dani tetap menarik tangannya. Lelaki itu mengajak Dia duduk di depan Eni dan Dewi. Dani menghela napas lagi. "Dia, aku di sini akan membagi harta untuk kamu dan Dewi. Kalian mendapatkan harta yang sama dariku. Nafkah batin yang sama juga." Dani menatap silih berganti pada dua istrinya. "Enggak bisa gitu, Dani. Kamu masih punya anak. Dewi jauh lebih unggul dari Dia. Karena anak Dia sudah meninggal dan dia tidak lagi punya tanggungan," sahut wanita tua itu. "Tapi Dia yang menemani Mas Dani dari nol, Mah. Sebelum Mas Dani menjadi manajer seperti sekarang." Dia mencoba menghadapi mertuanya dengan elegan. "Kamu tau diri lah, Dia! Dewi kan habis melahirkan. Belum juga setahun." Eni menjawab lagi. "Dari situ saja sudah jelas tidak adil. Seolah Dewi yang istri baru, yang datang belakangan, bisa dapat lebih banyak. Lebih baik saya tidak dapat apa-apa, tapi Mas Dani melepaskan saya. Bukan begitu, Mas?" Dia menoleh pada Dani yang tampak pusing memikirkan keluarganya. "Enggak, Dia. Enggak ada yang boleh keluar dari rumah ini tanpa seizinku. Sekarang kita semua akan tinggal di sini, Dia. Anggaplah Dewi itu adik kamu sendiri." "Maaf, Mas. Lebih baik aku pulang dan hidup bersama ibu di rumahku sendiri." "Dia!" bentak Dani karena ia merasa masalah semakin banyak menimpanya. "Kamu masih menjadi istriku, maka patuhilah suami kamu. Jangan membantah lagi!" Dewi dan Eni terlihat menarik satu sudut bibir mereka karena puas melihat Dani memarahi Diandra. Mereka diam karena sudah merencanakan semuanya. "Tolong, jangan ada yang membuatku marah hari ini. Karena aku sedang banyak masalah di kantor. Gajiku dipotong karena melakukan suatu kesalahan. Jangan sampai jabatan manajer juga turun karena aku melakukan kesalahan lagi." Suasana siang itu tampak sepi setelah Dani menyatakan ingin tidur siang sebelum ia kembali bekerja besok hari. Dewi dan mertuanya sudah masuk ke kamar masing-masing. Tinggal Dia di samping rumah sambil menatap air kolam yang bergerak tersapu angin. Sebuah pesan masuk pada ponsel wanita itu, Dia langsung membukanya. Sebuah pesan dari nomor yang sebelumnya ia tak kenal. "Assalamualaikum, Dia. Gimana kabarnya?" "Oh ya, maaf ya. Aku minta nomor kamu sama Imran." "Sekarang, enggak usah sedih lagi. Kalau kamu mau mencari kesibukan, bisa hubungi nomor aku ini." Dia tersenyum. "Memangnya mau dikasih kesibukan apa, Bang?" Pesan terkirim dalam waktu dua detik. Bersama itu pula, suara panggilan terdengar dari belakang Diandra. "Dia!" Wanita cantik itu menoleh. "Iya, Mas." "Kamu ngapain di sini?" Dani berjalan mendekat. "Lantas aku harus di mana? Di sini hanya ada tiga kamar. Dan semuanya sudah kalian pakai." Dia malas menjawabnya. Melihat tampang Dani saja rasanya teringat Dewi lagi. Serta sikapnya yang sombong itu. "Maafkan Mas, Dia. Belum bisa kasih kamu rumah." Dani ikut duduk di sebelah Dia. Pada kursi kayu dengan samping kanan kiri tanaman hias. "Bukannya dulu rumah ini adalah hadiah pernikahan kita? Kamu sendiri yang memberikannya padaku, Mas. Bahkan rumah ini atas berdiri atas namaku. Beberapa bisnis yang sekarang kamu kelola pun, atas namaku. Atau Mas mau ubah atas nama Mas?" "Enggak, Dia. Itu milikmu. Cuman akhir-akhir ini pengeluaranku sedang banyak sekali. Sampai terkuras rasanya tabunganku." "Mas, aku mau kerja. Aku tidak bisa di rumah terus bersama Dewi atau mama." "Jangan, Dia! Cobalah dulu tinggal beberapa hari bersama Dewi. Jangan berpikiran buruk terus terhadapnya." Dia tak bisa menjawab lagi karena ia rasa memberikan solusi pada lelaki itu hanya membuang-buang waktu saja. Dani tetap bersikeras inginkan Dia satu rumah dengan mertua dan madunya. *** Malam itu, mereka berempat makan di meja yang sama. Tak ada yang bicara di sana. Apalagi Dani lebih sering memikirkan pekerjaannya saat ini. "Dia, tolong ambilkan Mama minum!" pinta wanita tua di kursi sebelah putranya. Dia terkejut. Namun, ia tahu mengambilkan minuman saja tak akan jadi masalah baginya. Ia segera menuangkan air dalam gelas, lalu menyerahkan pada Eni. "Aku juga dong, Mbak sekalian. Tanganku enggak nyampe," ucap Dewi dengan mata menyindir dan hidung mekarnya yang ditindik. "Kamu bisa ambil sendiri, Wi." Dua wanita di dekat Dani itu tampak geram. Eni pun langsung turun tangan. "Ambilkan dong, Di! Kamu kan yang lebih dekat dengan air minumnya." "Dewi juga lebih dekat, Ma." Dia menjawab lagi. Namun, tak mau menatap wajah mertuanya. "Kamu kan tau sendiri, Di. Dewi itu masih lemah. Anaknya baru aja enakan, enggak ada salahnya kan kamu bantuin. Apa kamu enggak punya rasa empati?" "Cukup, Ma!" Dia kesal. "Aku juga capek, habis masak untuk kalian semua. Setidaknya hargailah susah payahku. Dewi itu bisa jalan-jalan sampai rumah sakit dan seharian dia juga hanya di kamar main ponselnya. Dia melihat Dewi bisa ngapai-ngapain sendiri, bahkan saat anaknya menangis tadi, Dia juga bantuin." "STOP!" Dani akhirnya membentak lagi. Emosinya meluap-luap karena tadi ia mencoba menahannya. "Kalian ini udah kayak anak kecil saja! Perkara kecil saja dibesar-besarkan. Kamu ambilkan aja Dewi minum juga enggak ada salahnya, Di. Enggak akan bikin kamu kehilangan apa pun." Mendengar ucapan Dani, Dia benar-benar menyesal telah kembali. Ia langsung menuangkan air putih pada gelas bening di dekatnya. Lalu meletakkannya di dekat Dewi. Tak lama mereka selesai makan, Dia juga yang membereskan meja makan itu. Tak ada yang membantunya. Sementara Dani sibuk menatap laptop di ruang tamu untuk mengerjakan sisa pekerjaannya. "Mas, aku pulang aja." Dia mendekat. "Loh, kenapa? Di sini rumah kamu, Dia sayang." Dani menghentikan tangannya mengetik. Ia menarik tangan Dia agar duduk di sebelahnya. "Aku enggak ada tempat tidur, Mas," bohong Dia. Padahal semua itu hanya alasannya karena sudah tak tahan lagi. "Tidur di kamar kita. Tidur denganku." Dani tersenyum. "Aku enggak enak sama Dewi, Mas." Dani terdiam. "Mas! "Mas Dani!" "Mas, sini, Mas!" Suara Dewi yang kencang, memecah keheningan sesaat itu membuat mereka berdua yang duduk langsung terperanjat. "Dewi," pekik Dani. Lalu lelaki itu berlari menuju kamar. Dani melihat Dewi ketakutan karena bayinya muntah-muntah. Keluar cairan putih dari mulut bayi itu. Eni pun ikut datang ke kamar itu menyaksikan bagaimana Alfa terpejam tetapi mulut terus mengeluarkan cairan. "Pasti semua gara-gara Dia, Mas!" Dewi menunjuk wajah Dia dengan tatapan nyalang. "Kenapa aku? Bukannya kamu yang bersama anakmu sejak tadi di kamar?" Dia menjawab. "Kamu masukkan apa ke dalam sup asparagusku? Aku kan tadi yang memintamu membuatkannya untukku!" Dewi melotot, ia terus menuduh Diandra. "Di, apa yang sudah terjadi? Jelaskan!" Dani ikut menuduh kali ini. "Demi Allah, aku tidak memasukkan apa pun ke dalam makanan yang dimakan Dewi, Mas. Kalau pun ada racun, pasti Dewi duluan yang bakal kena efeknya." "Dani, kamu enggak usah percaya sama Dia! Lagian Alfa tadi juga sempat diajak oleh Dia. Pasti dia sudah ngapa-ngapain Alfa." Begitu keji mertua Diandra menuduh. Sampai hati wanita itu berniat memisahkan Dia dengan putranya. "Alfa tadi juga minum s**u formula buatan Dia, kan? Udahlah, Dia. Ngaku aja!" "Sudah-sudah! Aku enggak mau tau, sekarang juga kita bawa Alfa ke rumah sakit, Wi!" Dani meminta Dewi siap-siap. "Dan untukmu, Dia. Maaf, kali ini kesalahanmu sangat fatal. Aku tidak bisa mempertahankanmu lagi, pulanglah ke rumahmu. Besok kita bertemu di pengadilan." Gemetar seluruh tubuh Diandra mendapat tuduhan dari semua orang di sana. Dani meninggalkannya seorang diri di rumah itu. Ia dan dua wanita tadi pergi ke rumah sakit membawa bayi kecil yang diduga keracunan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN