Setelah terburu-buru keluar kelas untuk menemui Bella di ruang kesehatan, Zeon tidak menyadari kenapa ia harus seperti ini. Jujur saja, ia merasa adrenalinnya terpacu dan ada rasa senang sedikit, apa karna ia akan mengantar Bella pulang, ya? Barangkali, iya.
Tapi, setibanya di depan pintu ruang kesehatan, Zeon malah tidak berani untuk membuka pintu. Tangannya terangkat di udara dan terhenti begitu saja saat hendak menggapai kenop pintu, ia jadi ragu. Semua rasa senangnya tak membantu ia berani untuk sekedar membuka pintu ruang kesehatan.
Sedangkan Bella, di dalam sana tampak bersiap-siap untuk pulang. Gadis itu berpamitan pada anggota PMR yang menemaninya, sebelum keluar ruang kesehatan. Saat membuka pintu ia langsung bersitatap dengan Zeon yang terlihat terkejut. Bella hanya menghela napas dan mengulurkan tangan meminta tasnya yang ada di bahu kiri cowok itu.
“Sini tas gue.” Bella mengulurkan tangannya meminta tas ransel pink miliknya.
Zeon melirik tas ransel warna pink milik Bella yang ia sandang, sebelum menjawab. “Biar gue yang bawain.”
“Gak usah, gue bisa sendiri.” Bella bergerak untuk meraih tasnya sendiri.
Namun, Zeon dengan gesit menghindar jangkauan tangan gadis itu. “Biar gue aja. Udah yuk pulang.” Lalu ia berjalan lebih dulu. Bella terpaksa mengikuti, dengan sebal ia menghentak-hentakkan kakinya dan cemberut.
Sesampainya di parkiran, Zeon membuka pintu untuk Bella dan menunggu gadis itu yang baru muncul di gang menuju tempat parkir dan terlihat sebal. Zeon refleks tersenyum mendapati Bella yang cemberut dan menggerutu sendiri, “Lucu banget,” ujarnya pelan.
“Apaan sih pake dibukain segala.” Bella berujar kesal seraya masuk mobil dan duduk di kursi penumpang.
“Kan lo lagi sakit. Cerewet banget sih.”
“Kalau gue cerewet emangnya kenapa?”
Zeon mendesah pelan, ia lalu menutup pintu mobil untuk Bella dan berlari kecil ke sisi kanan mobil dan duduk di balik setir. “Mau beli es krim dulu gak?” Zeon bertanya dan tidak mengindahkan pertanyaan Bella tadi.
“Kenapa malah nanya es krim?”
“Gue liat di internet, katanya cewek yang lagi pms suka makan-makanan manis, terutama coklat dan es krim. Jadi, lo mau es krim gak?”
Bella mendengus pelan tapi tak urung ia mengangguk juga.
Zeon tertawa kecil sebagai tanggapan dan melajukan mobilnya keluar lingkungan sekolah. Ia ingat kalau tidak salah ada kedai es krim yang selalu ia lewati tiap pergi dan pulang ke sekolah. Sepuluh menit menempuh perjalanan, Zeon melihat kedai es krim itu baru buka. Ia lalu menepikan mobil. “Lo suka rasa apa?” Zeon bertanya seraya melihat ke arah Bella.
“Biar gue aja.” Bella hendak turun dan Zeon dengan sigap menahan lengan gadis itu.
“Biar gue aja. Lo suka rasa coklat plus kacang kan?”
“Kok lo tau?”
“Kan lo tadi beli es krim rasa itu di minimarket depan sekolah.”
Bella hanya ber-oh ria lalu menurut saja saat Zeon keluar mobil dan masuk ke dalam kedai es krim. Tak butuh waktu lama, kira-kira hanya lima menit, Zeon kembali dengan satu corn es krim rasa coklat dan butiran kacang di atasnya. Mau tak mau Bella meneguk liur tergoda.
“Nih es krim lo.”
“Makasih.” Bella menyahut senang dan dengan segera memakan es krimnya. “Enak banget,” ujar gadis itu lagi.
Zeon balas tertawa, ia merasa senang kalau Bella juga senang. Lalu, ia kembali melajukan mobilnya ke alamat rumah Bella. Sebelumnya, Bella juga sudah bilang kalau rumahnya lumayan jauh dari sekolah. Tapi, Zeon tak masalah dengan itu.
Di kursi penumpang Bella sedang asik memakan es krimnya saat mobil memasuki hutan dengan pepohonan yang jarang. Jarak tumbuhnya kira-kira sepuluh meter lebih dan dominan dengan rwrumputan hijau, sepertinya itu tempat pengembala sering membawa hewan ternaknya.
Zeon kira ia tersesat, namun Bella menyuruh lurus saja dan kalau sudah tiba di persimpangan lalu belok kiri. Zeon tak banyak tanya lagi, ia melajukan mobilnya dalam hening.
Pohon-pohon yang tadinya tumbuh dengan jarak yang jauh antar satu pohon dengan pohon lainnya, kini semakin rapat. Di sisi kiri dan kanan pohon-pohon berbatang besar dengan daun-daun rimbun yang menutupi sinar matahari membuat udara semakin sejuk dan di sisi lain membuat Zeon merasa ada getaran aneh di dadanya. Semacam perasaan klise tiap pulang ke rumah.
Zeon memerhatikan jalanan dengan seksama, namun rasanya ia tidak familiar dengan jalan ini. Lalu, kenapa ia merasa seperti pulang ke rumah?
Setelah belok kiri, Bella bilang rumahnya tidak jauh lagi. Ada satu rumah tingkat dua dengan gaya minimalis yang mereka lewati, kata Bella rumah itu milik salah satu aktor terkenal, tapi ia belum pernah melihatnya. Lalu sekitar seratus meter dari rumah minimalis tadi, rumah kayu cantik dua lantai yang Bella bilang kalau itu rumahnya membuat Zeon menepikan mobil.
Bella segera turun dan Zeon mengikutinya. Ia memandang ke segala arah dan tempat itu sama sekali tidak memicu rasa familiarnya. Ia lalu menoleh pada Bella yang sudah turun dari mobil dan tersenyum. “Rumah lo cantik, gue gak nyangka lo tinggal di sini.”
Bella tertawa kecil, baru kali ini ia terlihat lebih ramah di depan Zeon. Zeon terpana dan melongo untuk beberapa saat. “Lo kalau ketawa cantik juga.”
“Apaan sih lo!” Bella tengsin lagi.
Zeon tergelak lalu masuk ke mobil dan kembali melaju ke jalanan yang tadi ia lalui. Tiba di persimpangan rasa familiar itu kembali ada. Ia menatap lurus ke jalanan dan memutuskan untuk terus melaju daripada berbelok ke jalanan sebelumnya.
Menyusuri jalanan beraspal tipis dan berbatu, agaknya karna tidak ada rumah orang lain di sini, jadi pembangunan jalan beraspal tidak di lanjutkan. Sekarang jalanan sudah tanah sepenuhnya, tumbuhan semakin rapat, semak belukar di mana-mana. Zeon menghentikan mobilnya saat jalanan tanah sudah tidak ada lagi. Hanya ada semak belukar dengan pepohonan tinggi berdaun lebar.
Zeon berjalan memasuki hutan dengan insting familiar yang semakin kuat. Ia jalan terus hingga menemukan rumah pohon dengan lampu kuning yang menyala di bagian luar. Lalu, tiba-tiba saja angin berhembus kencang dan rasa dingin menyelimuti tubuhnya. Zeon merasa kulitnya mulai membeku.
Dari semak belukar muncul sesosok dengan pusaran angin di seluruh tubuhnya. Sosok itu terpaku melihat Zeon. Zeon pun sama terpakunya. Sosok itu yang mengambang beberapa meter di atas tanah, perlahan turun hingga kedua kakinya menjejak ke tanah. Ia lalu melangkah mendekati Zeon dengan ekspresi tak percaya, lalu berujar, “Adik?”
**
Sesudah memastikan Caca masuk ke dalam rumah, Qeenan melajukan mobilnya untuk pulang ke rumah juga seraya memikirkan siapa keluarga Larasfa yang ada di sekitar Caca. Selama ia bersama Caca, orang-orang yang berada didekat gadis itu tidak ada satu pun dari mereka adalah keturunan Larasfa, karna keluarga itu sudah menghilang dari peredaran selama delapan dekade ini.
Ataukah mereka hanya muncul di dekat Caca ya? Atau benar kata Caca kalau dirinyalah yang bodoh dan tidak tahu sama sekali perkara hal ini. Ah, sudahlah. Qeenan pusing.
Tapi, jujur saja. Ia mengenali sosok dingin itu yang mendatangi Caca di sekolah tadi. Karena ia sering berkunjung ke kastil Kakeknya dan bertemu orang-orang yang tinggal di sana, serta sering melihat latihan mereka dan perubahan wujud beberapa keluarga Larasfa yang ada di sana.
Benar, ada sekitar lima orang keluarga Larasfa yang tinggal di kastil. Qeenan tidak tahu kenapa mereka bisa ada di sana. Tapi, satu yang Qeenan tahu mereka tidak bisa keluar dari kastil tanpa seizin Moran. Kalau pun memang berniat keluar, mereka diberi waktu sebentar dan harus dalam wujud lain, bukan wujud aslinya. Dan salah satu dari mereka adalah sosok dingin tadi.
Mereka agaknya punya semacam kontrak dengan Moran. Makanya, sosok dingin tadi menatap Qeenan marah, mungkin dia dendam terhadap keuturunan Moran. Isi kontraknya hanya untuk memuaskan keserakahan Moran, terutama untuk mencelakai Caca. Karna, sejak awal Caca yang dipilih untuk menjadi pewaris semua kekuatan, Moran sudah menabuh genderang perang. Keluarga Moran dan Tanbarch bermusuhan.
Lalu kenapa Qeenan masih dekat dengan Caca? Karena Qeenan bukanlah keturunan langsung dari Moran. Sebab anak-anak Moran hanyalah anak-anak angkatnya dan mereka semua terikat kontak keluarga. Agak rumit memang, tapi selama hidupnya Moran tak pernah memiliki keluarga kandung. Setahu Qeenan begitu.
Orang tua Qeenan dulu diangkat karena, banyak membantu Moran selama hidup mereka dan Qeenan tahu itu semua sejak dua tahun lalu. Mereka dibolehkan pindah ke Bumi dan dibebaskan untuk melakukan apa pun. Seperti mendapat hak istimewa. Namun, Qeenan tentunya tahu kalau yang dimaksud “bebas melakukan apa pun” tak sebebas yang ia pikirkan.
Sebenarnya, dulu sekali. Saat Qeenan dan Caca masih kecil. Mereka berteman, sering saling mengunjungi satu sama lain di kastil milik Kakeknya. Moran dan Tanbarch juga berteman dekat. Namun, ya karena takdir menjelaskan kalau Caca lah yang akan menjadi pewaris kekuatan yang ada di dunia mereka, Moran pun murka. Ia merasa tekrhianati dengan pengabdiannya selama ini yang malah tak dianggap apa-apa.
Namun, terkadang kedekatan Qeenan dan Caca sering menarik orang-orang suruhan Moran untuk mematai mereka. Makanya, Qeenan jarang sekali mengajak Caca pergi hanya berdua saja. Qeenan takut kalau-kalau saat hanya berdua dan mereka malah dibawa paksa untuk menemui Moran. Karna Qeenan tahu kontrak yang berlaku antara Moran dan ke dua orang tuanya itu mutlak tak bisa diganggu gugat.
Karena sebab-sebab itulah, Qeenan sering merasa tertekan. Bahkan ia sampai tidak percaya diri lagi untuk menemui Caca.
Sesampainya di rumah, rumah sepi seperti biasa. Ke dua orang tua Qeenan bekerja dan akan pulang malam hari. Ia lalu masuk ke dalam kamarnya dan mencari-cari buku sejarah dari kastil Moran yang sempat ia bawa serta saat kepindahan keluarganya ke Bumi.
Buku itu tebal, besar dan berat. Warna sampulnya kecoklatan dengan warna kertas menguning dimakan usia. Qeenan lalu membuka halaman yang telah dirobek, dua halaman yang hilang tepat di tengah-tengah buku. Ia lalu mencari sesuatu di dalam leci nakas samping tempat tidurnya dan mengambil dua lembar kertas kosong yang serupa dengan kertas buku itu.
Qeenan menempatkannya hati-hati dibagian bekas robekan itu, dengan akurat Qeenan membuat sisi dalam kertas agak bergerigi seperti hasil sobekan agar sesuai dengan bekas sobekan yang ada di buku. Lalu ia memejamkan mata seraya memfokuskan pikiran pada lembara kertas itu di bawah telapak tangannya.
Perlahan cahaya muncul, rasa panas lalu menjalar dari lembaran kertas di bawah telapak tangan Qeenan hingga ke jari-jarinya, kemudian naik ke pergelangan tangannya, terus naik hampir ke sikunya hingga ia tak tahan lagi dan melepaskan tangannya dari lembaran kertas itu. Qeenan menggoyangkan tangannya yang memerah dan panas, supaya rasa panas itu bisa segera hilang.
Kertas itu meninggalkan jejak hitam tangan Qeenan di sana, lalu cahaya putih muncul di sekeliling jejak telapak tangan, cahaya itu pun menutupi jejak hitam dengan cahaya putih lalu desisan terdengar. Qeenan melebarkan mata menatap lurus ke kertas itu, ia penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya.
Lalu perlahan-lahan huruf muncul, letaknya sesuai dengan jejak telapak tangan Qeenan. Qeenan terperangah, ia menganga takjub dan bersorak kesenangan seraya menciumi tangannya sendiri.
“Yeay!!!!!!” soraknya senang.
Ada beberapa kata yang tak Qeenan mengerti karena beberapa huruf yang muncul. Namun ada satu kalimat yang terbentuk, yaitu. Mereka selalu ada bersama badai, hujan, dan petir.
**
Caca bersenandung kecil, rambut coklat gelapnya bergoyang seiring ia melangkah sembari melihat pucuk-pucuk pohon terbias cahaya matahari senja. Dengan bungkusan plastik putih di tangannya yang berisi dua es krim, dua mie kuah instant dan dua telur yang ia beli di minimarket ujung jalan komplek perumahannya.
Setengah jalan menuju rumah, Caca melihat motor Mario lewat dan sepertinya cowok itu membonceng seseorang. Mario masih mengenakan seragam sekolah, agaknya cowok itu baru pulang sekolah sore hari ini. Dengan rasa penasaran tingkat tinggi Caca mempercepat langkah dan melihat orang yang diboncengi Mario turun di depan rumah cowok itu.
Caca mengerjapkan mata tak percaya. Ternyata ada gadis lain yang naik motor Mario. Setahunya selama ini Mario hanya kenal satu-satunya gadis yaitu dirinya. Sedikit merasa terkhianati Caca bersedekap d**a dan menggembungkan pipi melihat Mario membantu gadis itu turun dari motor dan melepaskan helm yang ia kenakan.
Mario tampak tertawa dan terlihat akrab dengan gadis itu. Rambutnya coklat kemerahan dan Caca rasa gadis itu sengaja mewarnainya. Tingginya hanya sebahu Mario tapi lesung pipinya sungguh manis dan Caca tidak bisa berbohong kalau memang gadis itu dan Mario tampak cocok bersama.
Sejak tadi Caca menonton aksi bak drama ftv itu di depannya dan tampak tidak ingin beranjak, hingga Mario menoleh dan telihat sedikit terkejut dengan kehadirannya di sana. Lama Mario saling tatap dengan Caca, dan sebelum Caca rasa darahnya mendidih sampai kepala ia langsung balik kanan masuk ke dalam rumah.
Mario menyuruh gadis yang diboncenginya tadi untuk lebih dulu masuk menunggu di kursi teras depan sedangkan ia mengejar Caca dan menahan lengan gadis itu.
"Abis darimana?" Mario melirik ke kantong plastik di tangan Caca.
"Dari minimarket komplek." Caca melirik sebentar gadis yang duduk di kursi teras depan rumah Mario. "Itu siapa? Gebetan baru? Or bad news, she is your girlfriend?"
Mario terkekeh kecil, berjalan mendekat dan sedikit menunduk. Ia berhenti sebentar di kening Caca dan meniup ponis gadis itu, kemudian menatap tepat di ke dua manik matanya. "Jealous, ya?"
"Dih, apaan!" Caca berdecih.
Mario kembali tertawa. "Yaudah sana gih masuk."
"Orang juga tadi mau masuk!"
"Gak usah ngegas dong."
"Siapa yang ngegas?"
Dan Mario hanya menatap punggung Caca yang menghilang di balik pintu rumah gadis itu yang sengaja ditutup kuat-kuat, ia hanya bisa tergelak karnanya.
**