bc

Sepenggal Kisah Di masa SMA

book_age16+
0
IKUTI
1K
BACA
family
detective
like
intro-logo
Uraian

Nayara, gadis remaja yang melalui berbagai problem dalam keluarganya, membuatnya tumbuh dengan pemikiran dewasa diatas usianya. Dia pun melewati kisah cinta yang tak mudah hingga lulus sekolah, kisah cinta yang membuatnya patah hati dan trauma. Bagaimanakah kisah hidup Nayara?

chap-preview
Pratinjau gratis
Sebuah Luka
Namaku Nayara Putri Permadi, orang-orang biasa memanggilku Naya. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamaku bernama Nayla Putri Permadi dan kakak keduaku laki-laki, bernama Nino Putra Permadi. Yup, ayahku bernama Permadi seperti nama belakang kami bertiga anak-anaknya, sedangkan ibuku bernama Aini. Kehidupanku sebagai anak bungsu tak seindah bayangan dan khayalan ataupun kisah-kisah tentang betapa di manja dan di sayangnya anak bungsu itu. Karena pada kenyataannya kisahku berbeda, ya setidaknya itu yang selama ini aku rasakan. Aku hidup di tengah keluarga yang baik-baik saja sebenarnya. Hanya saja aku merasa, Nino kakakku yang kedua lebih di sayangi dan di utamakan oleh ayah dan ibuku ketimbang aku. Sedangkan Nayla kakak sulungku, dia sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri, suaminya bernama Aditya. Hubunganku dengannya baik-baik saja, meskipun hubunganku dengan kak Nino juga baik-baik saja. Kami nyaris tak pernah terlibat pertengkaran yang berarti, justru kami sangat dekat. Sebagai sepasang adik kakak, kami sangat damai dan banyak orang yang ingin hubungan anak-anak mereka juga sedekat kami. Kak Nino saat ini masih kuliah di Universitas yang ada di provinsi sebelah, jaraknya dengan desa kami menempuh waktu perjalanan selama 7 jam, lebih dekat dari pada jarak ibukota provinsi kami dengan desa kami yang harus menempuh perjalanan panjang selama 18 jam. Oleh karena itu, kakakku lebih memilih kuliah di sana. Sedangkan aku, masih duduk di kelas 2 SMA. Aku tidak tau sejak kapan perasaan iriku terhadap kak Nino ini mulai aku rasakan, tapi seingatku semua berawal dari dia yang sejak kelas 2 SMA sudah di belikan laptop oleh ayah dan ibuku, sedangkan aku saat ini, jangankan laptop, sebuah ponsel android pun aku tak punya. Aku masih menggunakan ponsel jadul di saat teman-teman sekolahku sudah mulai curi-curi kesempatan membawa ponsel android mereka ke sekolah karena memang sekolahku tak membolehkan murid-muridnya membawa ponsel. Dan pada saat itu juga penggunaan ponsel untuk kebutuhan sekolah masih belum terlalu penting. Sejak saat itu, aku mulai membanding-bandingkan apa yang dulu di dapatkan oleh kak Nino selama SMA dengan apa yang aku punya. Aku yang saat itu tak memiliki ponsel android merasa malu untuk membawa ponsel jadulku ke sekolah, lagi pula untuk apa ponsel jadul itu di bawa sedangkan ponsel itu hanya bisa di gunakan untuk menelpon dan sms saja, untuk mengakses f*******: saja harus melalui website bukan pakai aplikasi seperti di ponsel android. Aku merasa sangat sedih saat itu, karena hanya bisa melihat ponsel milik teman-temanku tanpa bisa juga memilikinya. Dan kak Nino punya ponsel android, yaah wajar mungkin karena dia sudah kuliah dan butuh ponsel itu untuk kepentingan kuliahnya. Bukan aku tidak pernah meminta di belikan oleh ayah dan ibuku, aku pernah merengek ingin di belikan ponsel android juga tapi apa yang aku dapatkan? Yaa, aku di marahi oleh ayah dan ibu. "Kamu pikir harga ponsel android itu murah? Satu jutaan harganya Naya. Dari mana ibu dan ayah dapat uang itu sedangkan kamu tau kalau Nino yang sedang di tanah rantau bisa tiba-tiba butuh uang. Kami harus menyimpan uang untuk kebutuhan dadakan Nino, Nay. Kamu sabar saja dulu". Ucapan ibu kala itu, yang cukup menorehkan luka di hatiku yang rapuh. Tapi aku tak lagi membantah saat itu, aku memilih diam dan melanjutkan kegiatanku di kamar. Ayah dan ibu tidak pernah tau betapa aku terluka dengan ucapan dan sikap mereka yang selalu terkesan mengutamakan kak Nino di banding aku. Dan aku pun memilih untuk tidak menceritakan perasaanku pada mereka, karena aku rasa mereka juga tidak akan memberi kalimat penenang untukku tapi justru akan memarahi aku atau mengomeli aku dengan kata-kata yang lebih menyakitkan hatiku lagi. Jadi ya sudahlah, biar aku menahan semuanya sendiri. Dan aku akan berbagi cerita nanti besok saja pada sahabatku Meira saat di sekolah. Yaa, hanya Meira tempatku untuk membagi setiap ceritaku, entah cerita sedih ataupun cerita bahagia. Meira adalah sahabat yang juga sekampung denganku, tapi rumah kami lumayan jauh jaraknya. Sejak Sekolah Dasar sampai SMP, kami sekolah di sekolah yang sama karena sekolahnya masih berada di desa kami juga. Tapi saat lulus SMP, Meira memilih untuk sekolaj di SMA yang ada di kecamatan sebelah, dia tinggal di kos saat sekolah disana. Namun, saat memasuki sementer ke dua, Meira pada akhirnya di pindahkan orang tuanya ke sekolah yang sama denganku karena dia jatuh sakit dan harus melakukan medical chek up selama 6 bulan. Karena kondisinya yang lumayan serius itulah orang tua Meira memutuskan dia pindah saja, sebab tinggal di kos sendiri dalam kondisinya yang sakit terlalu beresiko. Aku bahagia saat tau kalau dia pindah ke sekolah yang sama denganku. Kami jadi bisa berangkat sekolah bersama. Dia selalu di antar oleh papanya saat ke sekolah, dan aku selalu di beri tumpangan. Sampai akhirnya Meira sudah bisa mengendarai motor sendiri, dia selalu menjemputku untuk berangkat bersama dengannya. Hari-hariku jadi berwarna bersama Meira, sebab padanya juga aku menceritakan setiap apa yang aku alami, padanya aku selalu bercerita lugas tanpa malu bahkan jika aku harus menangis sekalipun. Dia selalu ada untukku, dia selalu mendengarkan aku tanpa pernah sekalipun menyela ceritaku juga tak pernah sekalipun menyalahkanku ataupun menyudutkanku. Aku merasa beruntung memiliki Meira. Di saat semua orang rumah tak ada yang dapat ku jadikan tempat untuk berbagi perasaanku, Meira selalu ada untukku. Pada Meira aku juga sering bercerita tentang kisah asmaraku, asmara anak remaja pada umumnya. Tapi Meira itu tak pernah pacaran sekalipun, atau bahkan dekat dengan cowok pun dia tak pernah, selain pada tetangga samping rumahnya. Mungkin karena dia terlihat jutek jadinya cowok-cowok tidak ada yang berani mendekatinya. Beda dengan aku yang centil-centil manja, jadinya mudah dekat dan akrab dengan para cowok. "Mey, salah nggak ya, aku itu ngerasa iri sama kak Nino?" Tanyaku pada Meira saat kami sedang duduk sambil menyaksikan murid-murid yang sedang asyik main bola volli. Meira menengok ke arahku lalu kembali melihat ke arah lapangan volli, "Aku nggak tau juga, rasa irimu itu salah atau enggak Nay, karena aku nggak ada di posisimu. Aku nggak sembarangan bilang itu benar atau salah." Jawab Meira kemudian. Inilah hal yang ku sukai darinya, tak pernah sekalipun dia men-judge setiap tindakanku. "Aku sakit Mei sebenarnya dengan semua ini. Kadang aku tuh mikir, mungkin aku yang telalu memaksakan keadaan sedangkan ayah dan ibu memang mampunya harus mendahulukan kak Nino dulu. Tapi rasa sakit hati aku setiap kali ada penolakan atas keinginanku pun nggak bisa aku kendalikan Mei" balasku sendu. Ayah hanya bekerja sebagai pegawai administrasi di sekolah SD di desaku dengan gaji pas-pasan satu juta setengah setiap bulannya, sedangkan ibu hanya penjahit rumahan biasa yang akan dapat uang jika ada yang datang meminta di jahitkan pakaiannya, kalau tidak ada, ya berarti ibu tak ada pemasukan. Penghasilan ibu dari menjahit itulah yang di gunakan untuk biaya harian kami, seperti membeli ikan atau sayuran juga uang jajanku ke sekolah lima ribu rupiah setiap harinya. Meski uang itu tak cukup sampai nanti aku pulang sekolah, tapi selalu berusaha ku cukup-cukupkan dan kadang aku juga di traktir oleh Meira dan teman-teman lain. "Udahlah Nay, kamu nggak usah terlalu bersedih. Kan ada aku. Aku emang nggak bisa kasih solusi buat masalah kamu tapi seenggaknya kamu ada teman berbagi cerita. Jadinya kamu nggak akan semakin sakit dengan menanggung beban itu seorang diri. Udah ah, nggak usah sedih-sedih dulu, tuh lagi seru yang main volli tuh." Jawab Meira sambil menunjuk orang-orang yang sedang asyik main volli. "Iya Mei, makasih yah selalu ada buat aku" ucapku tulus pada Meira. "Sip lah, kan emang gitu gunanya sahabat" balas Meira sambil mengedip-ngedipkan matanya genit. Aku pun tertawa melihat tingkah lucunya itu. Setelah itu, bel tanda pulang sekolah berbunyi. Semua murid membubarkan diri dari lapangan volli dan bergerombol keluar dari pagar sekolah, begitupun aku dan Meira. Setelahnya Meira langsung tancap gas dengan aku yang duduk sebagai penumpangnya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
51.2K
bc

Pacar Pura-pura Bu Dokter

read
3.1K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.7K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
31.0K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

Desahan Sang Biduan

read
54.0K
bc

Silakan Menikah Lagi, Mas!

read
13.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook