Sejujurnya aku tidak tahu mengapa aku bisa percaya pada kedua pria ini. Aku tak mengenal mereka sama sekali. Pertemuanku dengan reporter menyebalkan itu bahkan belum genap dua puluh empat jam. Sayangnya, keahlian pria Asia bernama Ishirou itu cukup menarik perhatianku. Meskipun aku masih kesal padanya karena kejadian di pesawat. Dan nampakya, dia tidak mengenalku sama sekali. Wajar saja, dia mabuk dan setengah sadar saat di pesawat.
Ishirou mengizinkan kami menginap di apartemennya yang terletak di belakang bengkel tempat kami bertemu. Rupanya pemilik bengkel itu adalah temannya dan dia datang karena ada urusan.
Aku berdiri di di belakang mereka berdua. Aku baru sadar kalau rambut Ishirou terlalu cepak. Seperti seseorang yang bsru saja masuk akademi militer. Hanya dia satu-satunya orang di antara kami bertiga yang memiliki rambut hitam. Aku mengalihkan pandangan, kemudian menatap ke arah layar monitor yang menampilkan bahasa pemrograman yang sama sekali tak kuketahui apa maksud dan kegunaannya. Sejujurnya, aku penasaran tapi lebih penasaran lagi dengan apa yang bisa pria itu lakukan untuk menemukan informan yang dicari Hayden.
“Kau bilang dia berada di sekitar stasiun semalam?” Ishirou bertanya.
“Ya, aku membuat janji dengannya semalam.” Jawaban Hayden terdengar lugas.
“Kau yakin dia datang?”
“Tentu, dia sendiri yang mengatur lokasi pertemuan kita.”
“Jam berapa?”
“Sekitar jam puluh malam. Aku menunggunya datang, sampai tengah malam.” Sama sepertiku rupanya.
“Oke. Aku akan mulai meretas cctv area stasiun. Di jam sepuluh, sebelas dan dua belas,” ujar pria Asia itu. Jemarinya menari di atas keyboard, dengan tatapan yang fokus ke arah layar monitor, hingga akhirnya, dia memasukan sebuah sandi lalu dia berhasil masuk ke sistem cctv stasiun. Bagus. Aku bisa sekaligus menggunakannya.
Beberapa rekaman cctv muncul di layar monitor, dan Isirou langsung merujuk ke lokasi yang ditentukan oleh Hayden, yaitu area parkiran. Ishirou membuka rekamannya, dan melompat sampai pada pukul sepuluh malam. Hayden memperhatikan dengan seksama, setiap orang yang lewat dan mencari sosok yang ia kenali.
Aku merasa jenuh setelah satu jam berlalu, tapi Hayden masih juga tak bisa menemukan orang yang dia cari. Aku curiga, kalau pria itu sebenarnya tidak datang, dan membuat Hayden hanya membuang waktu saja di sana. Karena lelah aku berlalu pergi ke dapur. Pemilik apartemen ini belum memberikan izin, tapi kesepakatan kalau aku boleh tinggal di sini sementara, membuatku berhak untuk menggunakan segala macam perabot yang ada di dalam apartemen ini. Tanpa terkecuali isi kulkas. Aku membuka pintu kulkas, dan hanya menemukan minuman. Tak ada makanan atau appaun yang bisa kugunakan untuk menghalau rasa jenuhku sekaligus mengisi perut. Aku meninggalkan kulkas, dan beralih pada lemari yang kemungkinan besar teradapat makanan instan, tapi ketika dibuka, tak ada apapun.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Sebuah suara mengegetkanku. Menoleh, dan mendapati Ishirou berada di belakangku. Bukankah tadi dia masih bersama Hayden? Kenapa tiba-tiba dia di sini?
“Apa kau robot?” tanyaku spontan.
“Hah? Maksudmu?”
“Kau tak makan makanan manusia?”
“Kau tak menemukan satupun makanan di sini?” Dia malah berbalik menanyaiku, dan aku hanya mengangguk menanggapi.
“Aku jarang menyimpan makanan, karena selalu memesan makanan. Jadi, sekali makan langsung habis.”
“Cemilan?”
“Juga tidak. Aku tidak terlalu suka makan cemilan,” jawabnya santai dengan di d**a.
“Dasar pelit!”
“Kenapa tidak minta belikan makanan pada pacarmu saja?” Aku mengepalkan tangan tanpa sadar. Berusaha menahan diri agar tidak memukulnya karena aku juga butuh pria ini untuk menemukan ibu dan mengakhiri pertemuan naasku dengan Hayden.
“Got it!” Suara Hayden membuatku terkejut bukan main. Aku menoleh ke arahnya dan wajah bahagia terlihat jelas saat ini.
Ishirou mendekat, kemudian memperhatikan sosok yang ditunjuk oleh Hayden. Pria bertopi hitam dengan kacamata yang menghiasi wajahnya. Dia memakai kemeja hitam berkerah dan menyingsing lengan bajunya. Celana yang juga hitam menutupi kaki jenjangnya. Kalau dilihat dari wajahnya, usianya mungkin pertengahan empat puluh.
“Pria ini yang kau cari?” Hayden mengangguk. Ishirou kemudian mengambil fotonya dan melakukan editing untuk memperjelas gambar yang ada.
“Ya. Dia datang ke parkiran pada pukul sebelas lebih dua menit, lalu menerima telepon, mengobrol beberapa saat dan meninggalkan lokasi dengan ragu. Menurutmu, apa yang terjadi padanya?” Hayden menoleh ke arah Ishirou yang tengah berkutik dengan mouse.
“Mana kutahu,” jawab Ishirou menyebalkan.
“Kau bisa menganalisis ucapan pria itu atau menbaca gerak bibirnya?”
“Tidak bisa.”
“Kenapa? Bukankah tak ada yang tak bisa kau lakukan?”
“Omong kosong!”
“Aku mohon, kau pasti bisa melakukan hal semacam itu,” kata Hayden.
“Aku tak bisa mengerjakannya dalam keadaan perut kosong.”
“Oke, aku akan pergi membeli makanan dan setelahnya kau bisa mengerjakannya.”
Ishirou mengangguk dan begitu Hayden pergi, dia menyeringai. “Tak banyak yang berubah darinya,” gumamnya. Sesuai dugaanku, mereka punya sejarah panjang.
“Kau juga lapar rupanya.”
“Hanya membukatikan kalau aku bukan robot.”
Aku tidak menanggapi. Membiarkan dia duduk di kursi putarnya, sementara aku di sofa menatap televisi mati. Tak ada yang bisa kulakukan saat ini. Ponselku dimatikan, dan enggan untuk kunyalakan kembali karena Gramps bisa melacak keberadaanku melalui ponsel itu. Sepertinya aku perlu membeli ponsel baru, atau ... meminjam ponsel pria itu. Kurasa bukan ide buruk.
“Hey!” Suaraku menggema di ruangan hening ini. Seharusnya pria itu memutar kursinya menghadapku, atau setidaknya menjawab panggilanku. “Hey!” Aku memnanggilnya kembali. Namun, responya tetap sama. Diam. Apa dia tidur?
“Ishirou!” Aku tak yakin penyebutanya benar, tapi dia memutar kursi dan menunjukan batang hidungnya.
“Kau harus belajar memanggil seseorang dengan nama, Miss!”
“Apa aku bisa menggunakan ponselmu sebentar?”
“Tentu. Kau bisa ambil salah satu ponsel di laci itu.” Dia menunjuk laci dengan telunjuk.
Aku langsung bangkit dari kursi, bergerak ke arah laci dan menariknya keluar. Ada banyak sekali ponsel lama di sini. Dengan berbagai merek dan kondisi yang tampak masih bagus.
“Apa ini masih berfungsi?”
“Tentu.”
“Aku pinjam satu, untuk menelpon seseorang.”
Tak ada jawaban, tapi kuanggap dia setuju.
Begitu selesai menyalakan ponsel, aku langsung mengetik nomor Nency. Mencoba melakukan panggilan, dan seperti sebelumnya, tak bisa dihubungi. Aku mencoba berkali-kali dan hasilnya sama.
“Kau menelpon siapa?”
“Yang jelas bukan 911.”
“Ahh ....” Dia menjentikan jari. “Aku baru ingat untuk bertanya padamu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Menurutmu?” Baik, kita lihat, apa dia memiliki ingatan yang bagus, atau sebaliknya.
“Aku tidak yakin, tapi kurasa kita pernah bertemu sebelum ini.” Dia berusaha mengingat-ingat. Kemudian menatapku dan mengembuskan napas. “Ah, lupakan! Wajahmu terlalu pasaran, jadi mungkin aku mengira orang lain adalah kau.” Dia berbalik, kemudian melanjutkan kegiatan.
Tenang, Alessia! Tenang! Kau tentu tidak mau, bukan, mengubur mayat setelah ini?
Aku memejamkan mata sebentar, mengatur napas agar bisa tenang, kemudian Hayden datang saat aku melebarkan jari-jari yang sebelumnya mengepal.
Hayden membawa banyak makanan di dalam dua bungkus plastik bsar. Aku benar-benar menyukainya. Maksudku, menyukai kebaikannya yang sudah membawakan makanan sebanyak ini. Perutku yang sudah merasa begitu lapar, tak lama lagi akan terisi.
“Bagaimana?” tanya Hayden merujuk pada foto yang berhasil ia temukan.
“Aku berusaha fokus pada ucapan pria bernama Daniel ini, tapi ada banyak suara di sana, sehingga ini cukup menyulitkanku.”
“Ayolah, kau bisa melakukannya. Kau adalah hacker terbaik.”
Ishirou melepaskan genggaman dari mouse dan beranjak dari kursi yang sudah tampak seperti singgasananya. “Akan kulanjutkan nanti.”
Pria itu berjalan ke arah meja makan, kemudian mengambil mie instan, dan membawanya ke dapur. Aku mengabaikan kegiatan Ishirou dan mulai tertarik dengan foto yang beberapa saat yang lalu dicetak olehnya. Aku mengambilnya kemudian mengamati dengan seksama. Entah kenapa, aku merasa familiar dengan wajah pria ini. Meskipun tidak yakin aku pernah bertemu sebelumnya.
“Kau pernah melihatnya?” Hayden bertanya. Mungkin penasaran karena aku tampak bergitu serius memandangi foto.
“Aku tak yakin, tapi .... kukira dia mirip seseorang.” Aku menoleh ke arahnya.