George mendesah kesal. Kami yang berada di belakangnya juga tidak habis pikir pada apa yang kami semua lihat dan rasakan dari depan ambang pintu.
Kelas tidak sesejuk yang kami semua bayangkan dan harapkan. Bahkan setelah kami semua berkumpul di dalamnya, hawa panas dan pengap mulai terasa di dalam ruangan. Membuat kepala yang sudah panas, menjadi semakin panas dan muak.
"Kenapa di buka jendelanya? Untuk apa kau nangkring di jendela begitu, seperti maling?" Tanya Tito kepada Jacob dengan kesal. Kedua telapak tangannya sudah mengepal menahan marah.
Jacob menengok ke belakang, ke arah kami semua yang tengah berdiri di dalam kelas sambil menatapnya dengan heran. Ada yang kesal, ada yang bingung, bahkan juga ada yang tidak tau apa-apa karena baru saja memasuki kelas sehabis mampir dahulu ke kantin untuk membeli minum.
Namun Jacob hanya diam dan menutup jendela yang tadi ia buka lebar-lebar itu, lalu kembali duduk di kursinya dengan wajah datar. Gila! Dia mengacangi seluruh anak kelas. Layaknya ia tidak membuat sedikit pun kesalahan.
"Wahh! s****n juga anak ini!" Gumam Tito geram sambil melangkah menghampiri Jacob yang masih tidak memperdulikannya sama sekali.
"Wes!" "Woi!" "Shutt!" "Santai broh!" "Eit! Eit!" Beragam suara keluar dari bibir anak laki-laki kelas lain sambil menahan tubuh Tito. Gadis-gadis yang menyaksikan, termasuk aku, hanya bisa menahan napas sambil mengira-ngira di mata Jacob yang sebelah mana, Tito akan melayangkan tinjunya.
Jacob menengok ke arah Tito yang sudah berada kurang lebih setengah meter dari wajahnya, dan menatap tajam kedua mata marah laki-laki itu. Masih dengan wajah datar, Jacob malah sibuk dengan ponsel yang ada di dalam genggamannya.
Semua bingung, semua heran, beberapa kesal, dan satu orang marah atas sikap Jacob.
***
Bel istirahat akhirnya berbunyi. Seluruh murid di kelas, termasuk aku, langsung bergegas menuju ke kantin untuk mendapat asupan makanan. Setelah seluruh tenaga kami terkuras oleh kegiatan olahraga tadi. Ya, seluruh dari kami, kecuali Jacob tentunya. Terakhir aku lihat, ia masih hanya duduk di kursinya.
Rasa lapar memang sanggup mengalahkan rasa penasaran seorang manusia. Kali ini, aku sama sekali tidak perduli padanya. Yang aku perdulikan, hanyalah semangkuk penuh bakso telur panas dengan mie kuning dan sawi segar Pak Bejo dan segelas es teh manis.
Aku, Mirna, George, Tito, Jessen, Kevin, Natalie, dan si kembar Ratna dan Reno menempati sebuah meja panjang di kantin. Semua murid sekolah bagai sudah tau bahwa itu adalah meja yang biasa kami pakai, sehingga kami tidak lagi harus repot-repot mencari meja kosong.
"Bakso yang seperti biasa, Pak!" Seruku pada Pak Bejo, diikuti oleh Kevin dan Ratna. Pak Bejo mengacungkan jempolnya.
"Soto empat yah, Bude! Jangan lupa, pakai nasi! Ohya Bude, yang satu nasinya dua piring yah!" Seru Mirna pada Bude Lilin yang berjualan soto.
"Yowes!" Jawab sang ibu.
"Ketoprak dua Pak Joyo! Pedas semua!" Seru Tito pada pak Joyo si penjual ketoprak.
"Iya, den!" Jawabnya.
"Aku kasel sekali sama si freaky!" Gumam Tito geram. Air mukanya juga ikut mendukung pernyataannya itu.
"Freaky?" Ulangku dan Mirna bersamaan.
"Iya, si Jacob! Si anak baru aneh!" Terang Tito.
"Iya yah.. menuruku, dia itu tidak waras, alias sableng." Tambah Jessen membenarkan.
"Hus! Jangan asal ngomong kamu Sen, kita masih belum tau dia bisu atau tidak. Mungkin saja dia bisu, sehingga jadi bingung bagaimana cara berkomunikasi dengan kita." Omel Ratna.
"Em.. Dia tidak bisu, sih.." Jawabku pelan.
"Tidak?!" Tanya mereka semua hampir serempak, kecuali Kevin dan Natalie yang sedang sibuk dengan ponsel mereka.
"Kau tau dari mana, Han?" Tanya Kevin penasaran.
Kemudian, mulai aku menceritakan ulang apa yang aku alami di kelas bersama Jacob pagi tadi.
"Gila yah! Makin heran saja aku pada anak itu!" Ucap Tito, semakin marah.
"Kok aku juga jadi ikut kesal ya, setelah tau bahwa dia itu tidak bisu?!" Tambah Kevin.
"Hem.. Berarti, kemungkinan dia itu memang sombong sungguhan." Tambah Mirna yakin.
Astaga.. seharusnya aku tidak menceritakan kejadian itu pada teman-teman. Mereka semua jadi semakin membenci Jacob. Jika pada akhirnya Jacob menjadi sasaran bully di kelas, akulah yang akan merasa bersalah nantinya.
Apa yang harus aku lakukan? Aku juga tidak bisa membela Jacob. Bisa-bisa, mereka malah akan mengira bahwa aku menyukai Jacob, atau mengira bahwa aku juga anak aneh atau sebagainya.
"Em.. ki.. kita liat saja beberapa minggu lagi, sikap Jacob akan jadi seperti apa. Bukannya membela dia sih.. Tapi mungkin saja dia itu tipe yang sangat pemalu atau sulit bergaul. Jadi kita tidak seharusnya menilai dia terlalu cepat." Ucapku dengan jantung berdebar.
"Ya.. Hana ada benarnya juga sih.." Setuju George, diikuti oleh yang lain dengan anggukan.
"Kau itu memang sangat dewasa, ya Han.." Puji Tito sambil tersenyum lebar.
"Ah, tidak juga sih.." Jawabku malu.
“Huuuu.. Modus saja kau Tito! Hana itu sukanya sama anak yang pintar dan kaya. Wajahnya juga setidaknya harus mirip dengan Leonardo DiCaprio saat masih muda.” Ejek Mirna.
“Itu sih kau yang mau!” Sahut Tito dan George bersamaan.
"Ada yang mau minum?" Tiba-tiba Mbak Tini yang membuka kios minuman sudah berdiri di belakang kami, menghentikan keributan anak-anak itu.
"Oh! Mau dong, Mbak Tin! Aku es jeruk." Jawab Natalie langsung.
"Kalian apa?" Tanya Reno.
"Es teh manis" Jawab kami semua bersamaan.
"Hangat tidak?" Tanyanya lagi.
"No, Kau mau kepalamu aku jitak atau pites?" Tanya Tito geram.
Reno tertawa, "Es teh manis delapan ya Mbak Tin, ingat, tidak hangat." jelasnya pada mbak Tini yang tertawa mendengar leluconnya yang sama sekali tidak lucu.
***
Bel masuk sudah berbunyi sebanyak tiga kali. Seluruh teman-teman di kelas sudah berkumpul dengan wajah d***u akibat kekenyangan. Beberapa di antara kami melepas kail rok dan celana agar napas kami tidak sesak akibat perut yang mendadak terlalu besar.
Seperti biasa setelah istirahat, kelas ramai oleh perbincangan dan canda tawa murid-murid di dalamnya. Tiba-tiba kami semua merasakan getaran dan aura Ms Reni yang mendekati pintu kelas. Sekejap kami semua menertibkan diri dan menutup mulut masing-masing.
Pelajaran Ms Reni akan berlangsung selama dua jam. Cocok sekali dengan kedaan kami semua yang sedang kekenyangan setelah melewati jam makan siang. Hari ini, korban akan berjatuhan akibat tidak sanggup menahan rasa kantuk selama jam pelajaran matematika berlangsung.
Namun ada satu nasib seseorang yang lebih menakutkan dari itu semua. Tempat duduk Jacob si anak baru, masih terlihat kosong. Jacob belum kembali ke dalam kelas, bahkan setelah hampir sepuluh menit bel masuk terakhir berbunyi. Kemana anak itu pergi?