Keanehan Pertama

1063 Kata
Hari ini aku kesiangan lagi. Doaku pagi ini adalah semoga gerbang sekolah belum ditutup. Aku mengucapkannya berulang-ulang. Angkot merah yang aku tumpangi hanya bisa mengantarku sampai di depan g**g sekolah saja. Jadi hal itu memaksaku untuk melakukan olahraga pagi, yaitu berlari secepat mungkin dengan beban buku lima mata pelajaran di punggungku. "Tunggu pak! Please pak! Tunggu!" Teriakku kepada pak satpam yang sedang menutup pagar sekolah. Ia melihatku, tapi tidak mau berhenti menggeser pagar agar tertutup. Selama satu setengah tahun bersekolah di sini, tapi belum juga kuketahui siapa nama satpam sekolah itu. Entah mendramatisir atau memang memberikanku kesempatan secara tidak langsung, tapi pak satpam sengaja menutup pagar secara perlahan. Hal itu membuatku menambah kecepatan langkah kaki karena melihat adanya sebuah peluang. Akhirnya aku berhasil mencapai garis finish, yaitu melewati pagar yang akhirnya sudah tertutup rapat, satu menit setelah aku berhasil melewatinya. "Huahh!!" Jeritku sesak dan terengah-engah. Rasanya rongga pernapasanku menciut sehingga aku hanya bisa menarik napas sedikit-sedikit saja. Aku berjalan lemas melewati lapangan dengan lutut gemetar. "Hoi! Hana! Telat ya?! Buruan!" Teriak Mirna yang sudah berdiri di lapangan bersama teman-teman kelas lainnya dengan seragam olahraga putih abu-abu melekat di tubuh mereka. "Iya nih! Tungguin ya!" Jawabku lalu berjalan cepat menaiki tangga menuju ke kelas. Ternyata menaiki anak tangga hingga lantai tiga setelah berlari dengan beban tas berat cukup menyiksa. Sesampai di lantai tiga, napasku sudah lenyap rasanya. Tidak bisa kubayangkan harus ikut pelajaran olahraga lagi setelah ini. Keringat bercucuran di sekujur tubuhku dan hawa panas mulai kurasakan menggerayangi sekujur tubuhku. Sampai didepan pintu kelas, aku membukanya keras-keras hingga hawa sejuk AC membuai setiap inci kulitku yang sudah basah oleh keringat. "Surgaa.." Gumamku panjang sambil menutup mata, seperti cuplikan di iklan. Begitu aku membuka kedua kelopak mataku, betapa terkejutnya aku ketika melihat Jacob yang tengah memerhatikan tingkah konyolku, meski masih dengan wajah datarnya. Jacob sedang duduk di kursinya, dengan handsfree menyantol di kedua telinga. Aku menyeringai malu padanya, lalu berjalan masuk menuju kursiku. Jacob kembali fokus pada buku tulis yang sedang ia corat-coret. Entah apa yang digambar atau ditulisnya, menurutku itu tidak terlalu penting. Mungkin sama seperti Kevin dan Stefen yang adalah seorang anime lovers, mereka suka menggambar karakter animasi di buku tulis mereka. Berhubung tempat duduk Jacob ada di sebrang tempat dudukku, jadi aku bisa melihatnya dengan jelas dan menyadari ia tidak mengenakan seragam olahraga. "Em.. Jacob?" Panggilku ragu, namun ia hanya diam, tidak menengok sedikit pun. Kupikir lagu yang sedang ia dengar menghalangi pendengarannya, jadi aku mencoba menepuk pundaknya pelan "Hui, Jacob?!" Jacob langsung menengok dan menatap kedua mataku tajam. Jujur saja, saat ini aku merasa seperti ia akan membunuhku atau semacamnya. Rasa ngeri sekaligus bingung membuatku perlahan melangkah mundur. Jacob kembali pada aktivitasnya. Ada apa dengan anak itu? Apakah ia marah karna aku menepuk pundaknya barusan? Apakah ia merasa terganggu? Yah, meski pun iya, seharusnya dia tidak perlu berlebihan seperti itu, kan? Sambil mengambil seragam olahraga dari dalam ransel kuningku, mataku masih sambil terus memperhatikan Jacob. Entah mengapa hatiku tidak mau ikut pergi ke lapangan sebelum mencoba bertanya lagi padanya. Semoga Jacob tidak melakukan sesuatu yang buruk padaku. Tapi aku memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan padanya sekali lagi. "Apa kau sakit? Kok tidak ikut olahraga?" Jacob menatapku lagi, ternyata ia bisa mendengarku, lantas kenapa ia diam saja saat pertama aku memanggilnya tadi? "Tidak mau" Jawabnya singkat, lalu kembali pada buku yang ia corat-coret tidak jelas. Ternyata ia tidak bisu dan bisa berbicara dengan baik. "Ke.. kenapa? Kalau kau tidak sakit, sebaiknya kau ikut olahraga. Nanti nilaimu kosong, loh" Jelasku heran. Tentunya aku menjaga nada bicaraku selembut mungkin. Jacob hanya diam dengan wajah datarnya seakan ia tidak mendengarku. Aku menghela napas lalu berjalan pergi keluar kelas untuk mengganti baju. Aku tidak merasa marah atas sikapnya, justru rasa bingung dan heran yang menyelimuti kepalaku. Sebenarnya laki-laki itu kenapa? Selesai mengganti seragam di toilet, aku kembali ke kelas untuk menyimpan seragam putih abu-abuku. Kali ini aku tidak mendobrak pintu, melainkan membukanya perlahan, bisa dibilang aku seperti sedang menyusup. Tapi ada sesuatu yang aneh. Terdengar suara siulan yang mengalun merdu. Tidak salah lagi, itu adalah siulan Jacob, satu-satunya murid yang ada di dalam kelas. Ia sedang berdiri menghadap jendela yang ia buka lebar-lebar, membuat udara kelas tidak sesejuk tadi. Aku berjalan ke kursiku dan meletakkan seragam di atas meja. Aku tau Jacob menyadari kehadiranku, namun ia tidak menengok sama sekali dan tetap bersiul. Siulannya terdengar seperti sebuah lagu yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Aku tidak lagi berusaha mengajaknya bicara, melainkan segera keluar kelas menuju lapangan. "Kau kemana saja, Hana? Jika kau mau ikut kelas seenaknya, lebih baik kau saja yang jadi guru di sini." Oel Mr Darso, guru olahraga kami. "Maaf, Sir. Tadi saya terlambat datang." Jawabku sambil berlari ke dalam barisan teman-teman yang sedang melakukan pemanasan. "Kau kemana aja sih, Han? Lama sekali!" Tanya Mirna yang berdiri di depanku dalam satu baris. "Kan tadi aku terlambat. Memangnya kau tidak lihat?” Sahutku. “Eh, kok si Jacob tidak ikut olahraga sih?" Tanyaku penasaran. "Tidak tau tuh.. Anak itu aneh sekali. Padahal tadi sudah diajak turun sama Tito and the g**g. Eh.. dia malah nyuekin mereka. Si Tito sampai kelihatan sangat kesal." Cerita Mirna dengan wajah penuh ekspresi. Semakin lama Jacob bersikap seperti itu, bisa-bisa ia akan dibenci oleh teman-teman. Aku takut ketika Tito membencinya, ia akan memancing teman-teman yang lain untuk melakukan suatu hal yang buruk kepada Jacob. Aku ingin memberitahukan Jacob atas bahaya yang kemungkinan akan ia hadapi akibat sikapnya itu. Tapi bagaimana caranya? Dia sangat dingin dan tertutup. *** Olahraga kali ini sungguh melelahkan. Mr Darso menyuruh kami lari mengelilingi lapangan sebanyak tiga puluh kali dan setelah itu mengambil nilai skipping dan push-up. Ditambah terik matahari dan udara panas yang berkobar luar biasa akibat global warming, rasanya tenaga dan cairan tubuh kami habis terkuras. "Mengesalkan sekali sih.. Itu si Darso! Memberi tugas tidak kira-kira. Kita mau main bola aja sampai tidak sempat!" Keluh Tito kesal di dalam perjalanan kami menuju kelas. "Awas loh.. Nanti kedengaran sama dia, bisa-bisa kau dijitak, To." Ujarku sambil terkekeh. "Wah, aku mah tidak takut padanya, Han. Andaikan tadi dia berani mengomelimu lebih lagi, bisa aku cukur habis kumisnya itu" Sahut Tito sok jagoan, membuatku tertawa. "Panas banget! Masuk kelas enak, nih!" Gumam Mirna keras. "Betul! Adem-adem ayem.." Tambah George sambil membayangkan sejuknya suhu di kelas yang terus diterpa angin AC. George yang pertama mendobrak pintu kelas dengan semangat. Namun terlihat semangatnya itu berubah menjadi sebuah amarah akibat kekecewaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN