"Mampus gue."
Hanya itu. Badan Kezia langsung membeku ketika beberapa teman-teman dari kelasnya berlarian menghampirinya dan Aldo di tempat parkir.
"Kenapa lo ceroboh banget sih?" tanya Kezia pada Aldo.
"Lo lah yang ceroboh, kan lo yang keluar sembarangan nggak liat-liat keadaan dulu."
Apalagi Hira dan Sasi, kedua gadis itu langsung bergantian memegangi kening Kezia untuk memastikan ia baik-baik saja. Sementara tiga teman laki-laki Aldo juga menghampiri bosnya.
"Do, tumben banget akur sama Kezia?"
Pertanyaan itu langsung terdengar begitu tangan Aldo menyambut tangan Galih.
"Iya, tumben kalian akur. Pake berangkat bareng lagi, jangan-jangan ..."
"Jangan-jangan apaan?" Kezia segera menyentak prediksi Sasi. "Nggak usah ngaco, gue sama Aldo bareng cuma karena taksi yang gue naikin mogok."
Mungkin hanya itu alasan mentok yang bisa Kezia ungkapkan untuk meyakinkan kedua temannya yang super kepo. Namun seperti perkiraannya, kedua gadis itu masih ragu.
"Tumben naik taksi, mobil lo kemana?" tanya Hira.
"Lagian bukannya tukang ojek seliweran ya, kenapa nggak naik ojek aja?"
Mata Kezia dan Aldo saling berkomunikasi tanpa sepengetahuan teman-teman mereka. Sampai setidaknya dua gadis menghampiri Aldo dengan membawa bungkusan kado atau entah apa.
"Aldo, ini ada hadiah dari aku buat kamu. Di terima, ya?"
"Ini juga Aldo, dari aku. Semoga kamu suka."
Aldo hanya bisa menerima dua kado yang diberikan dua gadis itu, hingga mereka pergi dengan senyuman senang. Matanya melirik ke arah Kezia untuk pamer, tetapi justru ketiga temannya menganggap itu sebuah kode.
"Matanya mohon dijaga bosku," ucap Sergio.
Salah besar kalau mengira Kezia akan peduli, gadis itu justru memutar bola mata dengan malas dan berjalan pergi diikuti kedua teman-temannya.
"Kenapa buru-buru banget sih, Zi?" Sasi hampir saja ketinggalan oelh langkah kaki Kezia yang cepat dan diikuti Hira. "Lo cemburu ada yang ngasih kado ke Aldo? Kan itu hal wajar."
"What?! Lo bilang apa barusan?" Kezia ingin Sasi mengulangi kalimatnya. "Gue cemburu? Itu nggak wajar tau nggak. Udah i***t kali gue sampe cemburuin Aldo segala."
Langkah kaki yang tidak terasa terus berjalan sambil terus mengobrol random dengan kedua temannya. Seorang laki-laki dengan potongan lumayan gondrong, dengan tinggi di atas ideal untuk pria berjalan melewati ketiga gadis itu.
Kezia langsung terkesima. Kharisma dengan wangi badan yang khas, style casual yang sangat cocok untuk badannya membuatnya terkesan begitu menggoda.
"Kak Mahesa!"
Kezia langsung berlari, mengikuti laki-laki itu dari belakang. Laki-laki itu sama sekali tidak sadar jika ada yang mengikuti sampai setidaknya beberapa mahasiswa lain memperhatikannya heran hingga ia pun menoleh ke belakang.
Mahesa menyipitkan mata dan memiringkan kepalanya sampai kurang lebih 27 derajat.
"Kezia." Begitu tersadar akan siapa yang mengikutinya, Mahesa langsung diam dan memasang wajah dinginnya. "Kenapa ngikutin gue?"
"Zia mau nanya," ucap Kezia dengan manja.
"Nanya apa?"
"Nanti siang—"
"Tugas kelompok saya belum selesai, rekapan kegiatan Minggu lalu juga masih belum saya unggah, meeting soal karya wisata juga belum mencapai mufakat."
Mahesa langsung to the point tanpa ada sedikit pun yang berbelit-belit. Hingga tubuhnya dengan cepat berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Kezia yang belum sempat menyelesaikan pertanyaannya.
"—sibuk nggak, Kak?" Kezia menarik napas cukup dalam. "Belum juga selesai pertanyaannya, Kak."
"Aduh, lo itu kenapa sih Zi? Udah tau Kak Mahesa orangnya sibuk banget. Ambisius dari SMA lagi, nggak bosen terus berusaha deket sama dia tapi dianya aja makin hari makin dingin."
Kezia tidak menatap wajah Hira yang memberinya penjelasan. Matanya justru tertuju dengan kesal terhadap wajah menyebalkan laki-laki di seberang sana yang sedang dikerumuni dua gadis samping kiri dan kanan.
"Hira, Sasi, denger ya! Kalian tau nggak sih bedanya berlian sama batu kali? Pernah denger nggak?"
"Nggak sih," kedua temannya menggeleng.
"Nah. Walaupun nggak pernah denger perbedaannya, kalau kalian liat langsung antara berlian dan batu kali bagusan mana kelihatan nggak bedanya?"
"Kelihatan sih, kan udah jelas bisa dilihat dengan mata walau mungkin agak sulit dijelaskan."
"Iya, kelihatan banget walau nggak bisa didefinisikan."
Kezia mulai merasa menang dan menatap Aldo tanpa rasa malu. "Tepat banget jawaban kalian. Nyari batu kali 1000 lebih gampang daripada nyari satu berlian yang harganya ratusan juta karena langka."
Rahang Aldo mengeras tiba-tiba begitu Kezia tersenyum puas di jauh sana. Laki-laki bertindik sebelah itu yakin seyakin-yakinnya kalau ucapan Kezia barusan bertujuan mengejeknya dengan halus.
***
Kebiasaan Sasi ketika selesai kelas adalah membelikan minuman untuk Zia dan Hira ke cafetaria. Kedua gadis itu menunggu di dalam kelas sampai setidaknya kelas kosong baru Sasi selesai memesan dan membawa tiga minuman untuk mereka.
"Eh, maaf mau nanya."
Seorang gadis dengan gaya super modis menghampiri Sasi yang hampir kesulitan membawa tiga minuman boba.
"Iya, nanya apa?"
"Kamu anak kelas ekonomi, kan? Kenal—"
Gadis bergaya modis itu tiba-tiba berhenti bertanya ketika melihat seseorang bersama tiga temannya jauh di belakang sana. Sasi sama sekali tidak dihiraukan, sampai gadis itu berlari menghampiri seseorang yang dilihatnya.
Sasi menoleh ke belakang, Aldo dkk berdiri di belakang sana. Gadis yang baru saja berbicara dengannya, ternyata mencari playboy bermarga Raharja itu.
"Guys, guys, guys!" Sasi buru-buru berlari masuk ke dalam kelasnya. Dua gadis sudah menunggu cukup lama. "Barusan ..."
"Lama banget, abis ketiduran ya di kantin?"
"Ketiduran di kantin, yang bener aja lo."
"Heh, dengerin gue dulu." Sasi segera duduk di depan kedua temannya setelah dua minuman diambil masing-masing pemesannya. "Barusan gue liat, ada cewek gayanya modis banget— nyamperin Aldo."
"Oh, ya? Terus-terus?"
Kezia merasa topik pembicaraan kali ini sangat garing dan tidak sesuai dengan standar ghibahnya. "Apaan sih? Ngomongin yang lain apa kek. Aldo diomongin, kayak nggak ada topik lain, heran."
"Emang lo beneran nggak cemburu sama cewek-cewek yang deket sama Aldo?" Sasi bertanya dengan sangat serius pada Kezia. Yang ditanya justru lebih sibuk meminum boba daripada harus menjawab pertanyaan itu.
"Pertanyaan lo nggak ada yang lain apa, Sas?" Kezia meletakkan minuman bobanya di atas meja. "Kan tadi gue udah jawab jelas banget, gue i***t kali kalau sampek cemburu sama anak Om Algo itu."
Hira mengerjapkan beberapa kali kelopak matanya karena tidak percaya. "Zi, emang lo kenal sama bokapnya?"
Kezia tersenyum meremehkan. "Mana mungkin gue nggak kenal, orang bokapnya aja mer—"
Jawabannya belum selesai. Pertanyaan Hira serasa menggantung di udara. Dan kedua pasang mata itu serasa mengintai jawaban dari pergerakan mulut Kezia.
"—mer apaan. Maksud gue, bokapnya kan pengusaha sukses dan satu kampus juga tau kalau Aldo anak dari keluarga terpandang."
Hira dan Sasi manggut-manggut mengerti entah tidak. Sementara Kezia sendiri sedikit lega karena tidak jadi salah bicara.
"Ngomong-ngomong soal anak pengusaha, beberapa hari ini kan kayak ada rumor-rumor soal pernikahan anak CEO sama anak CEO lain, kalian ada yang denger nggak?" Hira tiba-tiba mengganti topik dengan jenis yang hampir sama. Ia saling pandang dengan Sasi, tetapi Kezia justru hampir saja tersedak oleh bobanya.
Sasi mukai berpikir untuk berusaha menerka. "Apa jangan-jangan anak CEO itu, Aldo?"
Bisa tidak bisa, mendesak atau longgar Kezia harus segera mungkin menghapus topik tentang Aldo di pembicaraan kali ini. Takut-takut kedua temannya akan menerka lebih hingga mencurigainya ada hubungan dengan Aldo.
"Guys! Mau anak CEO itu Aldo mau bukan, itu bukan urusan kita."
Sasi dan Hira saling pandang begitu Kezia tidak merespon topik ghibah mereka kali ini. Padahal biasanya, ia adalah pelopor yang paling julid dalam mengghibah.
"Lo kenapa nggak suka gitu sih, kalo kita bahas Aldo."
Kezia menghela napasnya sebelum berbicara. "Ya jelas nggak suka lah, sekali-kali bahas Kak Mahesa kek. Daripada Aldo, udah ngeselin, jelek, songong, sok pinter, sok ganteng, dan yang paling pasti adalah playboynya Pelita Harapan. Heh, gedek banget gue sama dia."
Hira dan Sasi seolah dibuat terpana oleh kejujuran Kezia.
"Waw, lengkap banget review Aldonya. Tapi beneran loh, gue nebak ini nggak ngasal. Kalo dilogika aja, perkiraan gue nggak terlalu curam buat dinalar."
"Lo bener, Sas." Hira juga memprediksi hal yang sama. "Anak CEO yang paling menonjol di kampus ini, ya cuman lo, Aldo dan Kak Mahesa doang. Kalo Kak Mahesa kan jelas nggak mungkin. Tau sendiri lah, gimana jijiknya Kak Mahesa sama cewek yang kegatelan."
"Lo nyindir gue? Gue kegatelan gitu?"
"Ya menurut lo sendiri aja gimana."
Sasi masih terfokus dengan topik anak CEO— Aldo. Wajahnya terus terlihat berpikir keras mengira-ngira tentang pembicaraan ini.
"Tapi kandidat terkuat cuma Aldo. Apa bener ya dia udah nikah?" tanya Sasi pada kedua temannya.
Hira manggut-manggut menyetujui. "Iya sih, gue juga mikir gitu. Terus ceweknya kira-kira siapa, ya? Kan satu-satunya cewek anak CEO yang terkenal cuma..."
Ketiganya saling tatap untuk mengintai jawaban dari pergerakan mimik. Untung saja Kezia cepat-cepat menarik tasnya ke punggung dan keluar dari kelas tanpa peduli apapun yang dibicarakan kedua temannya.
Di luar kelas, pemandangan membosankan kembali ia lihat dengan mata telanjang. Aldo bersama satu gadis— yang entah nomor berapa dan ketiga teman satu gengnya.
Kezia hanya geleng-geleng kepala ringan sambil menatap mereka dari ambang pintu. Baru setelah itu, ia mengeluarkan handphone dari tasnya saat teringat sesuatu.
Sementara itu Aldo segera membuka handphone-nya ketika ada notifikasi chat masuk. Wajahnya menampakkan ekspresi serius dan di cukup jauh sana, terlihat cara berjalan Kezia yang terkesan anggun ke arah tempat parkir.
"Sayang, kenapa?"
"Eh, ternyata hari ini Papa minta aku buat ikut meeting dia di kantor. Jadi maaf kita nggak jadi jalan ya, besok kalau aku nggak sibuk, aku bakal kabarin kamu dan kita have fun. Ok? Bye."
Aldo sesegera mungkin menghindari gadisnya dan pergi mengikuti Kezia tanpa sepengetahuan ketiga temannya.
***
Pintu mobil dibuka, di dalam sana sudah ada Kezia yang siap di antar pulang oleh supirnya ups— suaminya.
"Maksud lo apa ngirim pesan kayak barusan?"
Pertanyaan itu langsung diluncurkan oleh Aldo tanpa basa-basi apapun. Hanya tinggal menunggu jawaban saja, namun Kezia justru tersenyum licik.
"Jadi lo ngerasa b**o sampe ninggalin cewek lo gitu aja dan nyusul gue ke sini?"
Wajah Aldo yang awalnya kesal dan serius kini berubah menjadi ekspresi arogan dengan senyuman dewa. "Oh, jadi ceritanya lo mau kita pulang bareng? Apa karena lo cemburu gue mau jalan sama Rere?"
"Oh, namanya Rere."
"Ngaku aja deh, lo cemburu kan Zi?"
Pertanyaan Aldo justru mendapatkan balasan gelak tawa dari Kezia yang sudah tertahan sejak laki-laki itu masuk ke dalam mobil. Namun baru saat ini pecah ketika apa yang dikatakan pria itu hanya omong kosong belaka.
"Makanya otak ditaruh di tempat yang tepat. Jangan dibiarin jatuh ke dengkul cuman gara-gara kebanyakan main cinta."
"Lo nggak bisa to the point ya, Zi?"
"Mesra-mesraan pake otak. Orang tua kita bukan orang bodoh, apa lo nggak pernah kepikiran kalau mereka bakal kirim orang buat mata-matain kita di kampus?"
Aldo membisu seketika.
"Lo bebas pacaran sama siapapun. Lo bebas mau mesra-mesraan sama siapapun. Lo juga bebas mau gonta-ganti cewek. Gue nggak peduli."
Entah berdegup kencang karena apa, yang jelas Aldo bisa merasakan dadanya ada yang aneh. Degup-degup luar biasa yang tidak sembarang orang bisa merasakannya jika tidak dalam keadaan yang istimewa.
"Tapi kebebasan lo semua itu, jangan sampe orang rumah tau! Mereka bukan orang bodoh yang bisa kita kecoh dengan skenario ini."
Mata Kezia lurus-lurus menatap wajah Aldo yang sudah cukup tegang dibuatnya. Rasanya seperti ada yang ingin diungkapkan tetapi entah juga tertahan karena apa. Aldo hanya bisa diam saja.
Setelahnya laki-laki itu tiba-tiba tersenyum. "Tau dari mana lo soal itu semua?"
Kezia memasang wajah sombongnya untuk kali ini. Jari telunjuk tangan kirinya bergerak mengetuk-ngetuk pelipis mata kirinya.
"Lo punya otak, kan? Seharusnya lo bisa mikir sendiri. Tanpa kita tau apa rencana orang kita, seharusnya kita harus bisa hati-hati. Karena mereka bisa bayar siapapun untuk mata-matain kita."
Aldo memilih tidak menjawab ungkapan itu. Ia justru menatap fokus ke wajah Kezia yang terkesan serius pembicaraan hal ini.