Bab 1. Menikah
Dengan diiringi suara piano yang manis khas pernikahan, Andrea Carolina Wijaya melangkahkan kakinya menuju altar. Seorang pria berambut brunette, mengenakan tuxedo berwarna putih senada dengan warna gaunnya, sudah menunggu di depan sana. Setiap langkahnya tegap, siap menyambut kehidupan barunya beberapa saat lagi.
Di sebelah Andrea, Andra Nareswara, adiknya, mengantarkannya sampai ke depan altar, menggantikan tugas ayah dan kakeknya yang telah tiada.
"Nggak usah gugup, Kak, aku di sini sama Kakak."
Kalimat penenang Andra terus terngiang di telinga Andrea. Kalimat yang benar-benar dapat menenangkannya di hari dan saat yang paling penting dalam hidupnya. Untuknya, menikah hanya satu kali meskipun tanpa cinta.
Dia bukan seorang yang percaya dengan istilah cinta bisa datang seiring waktu, bukan juga seorang perempuan yang mengagungkan cinta. Bagaimana cinta itu sendiri, Andrea belum pernah merasakannya. Dia hanya akan menunggu dan membiarkan semuanya berjalan seperti air yang mengalir.
Begitu juga terhadap Damian Oliver, pria yang sudah menunggunya di depan altar sana. Dia dan pria bermata sewarna emas itu hanya pernah bertemu satu kali seminggu sebelum pernikahan mereka.
Kesan pertama yang didapat Andrea dari Damian, pria itu dingin dan sangat irit bicara. Selama pertemuan itu yang juga merupakan makan malam keluarga, dia nyaris tidak mendengar Damian berbicara. Pun melihat senyumnya, sama sekali tidak tampak.
Andrea memejamkan mata beberapa saat sebelum tiba di depan altar, membuka matanya kembali begitu merasakan gerakan tangan Andra yang menggenggam tangannya, melayang di udara. Lalu, sebuah tangan besar yang dingin menyambut tanpa sepatah kata yang terucap.
Lalu, janji suci pernikahan terucap dari mulut mereka seiring dengan disahkannya mereka menjadi pasangan suami istri. Andrea mendesah lega tanpa suara, kembali memejamkan mata saat veil yang menutupi wajahnya dibuka.
Andrea menahan napas, kepalanya tertunduk. Matanya masih terpejam saat sebuah kecupan mendarat di keningnya. Hangat basah, tetapi terasa sedikit keterpaksaan dalam kecupan itu.
Andrea mendapatkan napasnya kembali beberapa detik kemudian. Dia mengembuskannya pelan-pelan melalui mulut agar tidak ada yang menyadarinya. Dia sudah tahu sejak awal, Damian Oliver tidak memiliki perasaan apa pun terhadapnya. Pria itu menikahinya hanya karena tak ingin dianggap sebagai anak durhaka yang menentang keinginan orang tua.
Alasan lainnya, Andrea masih belum tahu. Damian terlalu tertutup dan irit bicara. Wajah tampannya yang dingin, juga tatapannya membuatnya tidak berani menatapnya berlama-lama. Dia tidak ingin membeku kedinginan.
"Selamat, Kak!" Andra memeluk Andrea. Ia merebut pelukan pertama kakaknya setelah menjadi seorang istri. Mendahului Nyonya Leonor Oliver, ibu dari pria yang menikahi kakaknya, atau lebih tepatnya ibu mertua Andrea. "Kakak udah jadi istri sekarang, udah nggak sendirian lagi. Aku juga udah nggak khawatir lagi kalo harus ninggalin kakak kalo lembur."
Mata Andrea berkaca-kaca mendengarnya. Tidak hanya karena haru, tetapi juga rasa bersalah. Selama lebih dari tiga tahun terakhir hidupnya, dihabiskan hanya bersama adik laki-laki satu-satunya. Andra berusia satu tahun di bawahnya, tetapi pikirannya lebih dewasa dari usia sebenarnya.
Andra juga sudah bekerja di sebuah minimarket begitu lulus sekolah setahun yang lalu. Padahal, Andrea memintanya untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih, tetapi Andra menolak dengan alasan tidak ingin membebaninya lagi.
Sebelumnya, Andrea yang bekerja, bahkan sebelum kakek mengembuskan napas terakhir tiga tahun yang lalu. Dia memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan, seperti keputusan Andra setahun yang lalu, dan bekerja menggantikan kakek.
"Kamu ngomong apa, sih, Ndra?" Andrea memprotes seraya mengurai pelukan. "Yang khawatir itu malah kakak setiap kali kamu lembur."
"Sekarang udah nggak perlu khawatir lagi lah, Kak. Aku bisa jaga diri sendiri, kok." Andra tersenyum, mengusap bulir bening yang jatuh di pipi Andrea. "Kakak udah punya kehidupan sendiri sekarang. Moga bahagia terus, Kak Rea!"
Andrea tersenyum, kepalanya bergerak ke atas dan ke bawah beberapa kali yang membuat dua bulir air matanya kembali jatuh. Segera dia mengisapnya sebelum didahului lagi oleh Andra. "Kakak janji bakalan bahagia, asal kamu juga bahagia, Ndra!" katanya serak disela isak.
Andra mengangguk, lantas melepaskan pelukan. Ia tidak ingin mendapatkan protes dari ibu mertua kakaknya yang terkenal cerewet. Untungnya, perempuan berambut brunette dan memiliki warna sewarna mata kakak iparnya, sangat baik pada Kak Andrea dan sangat menyayanginya sehingga ia bisa tenang melepaskan kakaknya pada keluarga Oliver.
Leonor Oliver melangkah maju, langsung memeluk Andrea erat dan mencium pipinya kiri kanan. "Selamat datang di keluarga Oliver, Sayang!" katanya menyambut gembira Andrea, dalam bahasa Inggris.
Keluarga Oliver bukan sepenuhnya dari tanah air. Mereka malah tinggal di pusat kota di negara Raja Charles. Leonor Oliver adalah seorang berdarah biru di negara tersebut yang menikah dengan Derreck Oliver, seorang pria berdarah Perancis dan Indonesia.
Leonor tidak seperti suami dan putranya yang fasih berbahasa lokal. Bahasa Indonesianya masih kaku, lebih sering menggunakan bahasa dari negaranya sendiri untuk berkomunikasi.
Untungnya, Andrea mengerti bahasa itu sehingga mereka tidak kesulitan dalam berinteraksi. Andrea juga menjadi kesayangan Leonor yang sangat menginginkan anak perempuan.
"Akhirnya, kamu menjadi bagian dari keluarga kami!" Sekali lagi Leonor memeluk Andrea setelah mencium keningnya.
Air mata Andrea kembali tumpah. Kehangatan seorang ibu yang sudah lama tidak pernah dia rasakan, akhirnya dapat kembali dirasakannya dengan kehadiran Leonor.
"Jangan menangis!" Leonor mengusap air mata Andrea seperti yang dilakukan Andres. "Air mata perempuan sangat berharga, tidak boleh tumpah, apalagi untuk laki-laki," katanya seraya melirik putranya tajam.
Dia sudah tahu bagaimana kelakuan Damian. Mereka harus melalui perdebatan panjang lebih dulu sebelum berhasil membuatnya menyetujui perjodohan.
"Apa pun yang dilakukan Damian, kamu harus memberi tahu Mama!" kata Leonor. Kali ini terang-terangan menatap pria itu yang merupakan putra semata wayangnya. "Jangan biarkan pria itu seenaknya kepadamu. Jangan khawatir, Mama pasti akan membelamu, Sayang."
Lagi, Andrea mengangukkan kepala, tanpa sedikit pun menatap ke arah suaminya. Jangankan menatap terang-terangan seperti yang dilakukan ibu mertuanya, melirik pun dia tidak berani. Tatapan Damian seakan menguliti.
"I—iya, Mama," jawab Andrea terbata. Suaranya masih serak karena tangis yang masih belum reda.
Sambutan untuk Andrea tidak hanya dari kedua orang tua Damian, tetapi juga dari keluarga Oliver yang lain. Baik yang tinggal di tanah air maupun yang datang dari negara menara Eiffel.
Di antara semua keluarga Oliver yang menyambut Andrea, justru Damian si pengantin pria yang hanya diam saja. Tidak ada sambutan apa pun untuk pengantin wanitanya. Mulutnya tidak sekalipun terbuka selain untuk menyesap sampanye yang tersisa separuh bagian di gelasnya.
Itu adalah gelas yang ketiga, dan Damian masih belum mau berhenti, bahkan jika ada yang menghentikannya. Hanya tiga gelas sampanye tidak dapat membuatnya kehilangan kesadaran. Ia memerlukan lebih banyak lagi agar dapat melupakan peristiwa paling buruk di dalam hidupnya.
Entah di gelas ke berapa, Damian berhenti. Itu pun karena seseorang yang menghentikannya. Seseorang yang tidak dapat dibantahnya sama sekali. Mamanya tercinta, perempuan paling galak di dunia menurut versinya.
"Apa kamu sengaja mabuk agar lupa jika malam ini adalah malam pertama pernikahanmu?" tanya Leonor dalam bahasa negaranya. Dia selalu menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi dengan keluarganya.
Mata amber Leonor memicing tajam menatap Damian, dagu terangkat. Sebagai seorang bangsawan, dia memiliki keanggunan dan kharisma tersendiri yang membuat orang lain tidak dapat membantah perkataannya.
"Mama bercanda?" Damian balas menatap Leonor dengan tatapan mengejek. Sebelah alisnya terangkat. "Hanya beberapa gelas saja tidak akan bisa membuatku mabuk."
"Cih! Sombong sekali, Damian!" Leonor mengibaskan tangan kanannya. "Cepat kembali ke kamar pengantinmu dan Andrea jika masih menginginkan gelar Duke itu untukmu!" katanya mengancam sebelum meninggalkan taman belakang mansion keluarga Oliver yang dijadikan sebagai tempat pemberkatan dan resepsi pernikahan.
Damian hanya menatap saja punggung mamanya yang menjauh sambil memutar gelas sampanye di tangannya. Beberapa detik kemudian, ia meletakkan gelas yang sudah kosong tersebut di atas meja di sampingnya setelah menenggak sisa sampanye terakhir.
Damian mendengkus. Langkahnya lebar menuju pintu yang menghubungkan taman dengan ruang tengah mansion. Ia akan menuruti perkataan Mama, menemui pengantin wanitanya di kamar pengantin mereka.
Tidak akan ia melewatkan malam pertamanya, ia bukan pria bodoh yang mau menyia-nyiakan sesuatu yang indah dan menggairahkan. Damian berjanji di dalam hati, ia akan memberikan malam pertama paling berkesan kepada pengantinnya agar tidak terlupakan seumur hidup perempuan itu.
Sementara itu, di kamar pengantinnya, Andrea duduk menunggu di tempat tidur yang penuh dengan taburan kelopak bunga mawar merah. Kepalanya menunduk, kedua tangan saling meremas si pangkuan.
Andrea tidak pernah mengharapkan yang muluk-muluk dari pernikahannya dan Damian, tidak juga berharap pria itu bersikap manis kepadanya, apalagi bersikap romantis seperti di film-film yang pernah ditontonnya. Dia hanya berharap Damian menghargai pernikahan mereka. Tidak apa jika dia diabaikan, asalkan jangan pernah mengkhianati janji suci pernikahan.
Suara pintu terbuka membuat Andrea menahan napas. Yang datang pasti Damian, tidak mungkin yang lain. Leonor sudah memberi tahu akan memanggil Damian agar segera menyusulnya ke kamar pengantin mereka.
"Saya bukan orang yang suka meminta, Andrea, tapi saya lebih suka memerintah."
Suara itu terdengar dingin di indra pendengaran Andrea. Suara Damian yang didengarnya secara jelas untuk pertama kali. Tak sadar, dia menggigil.
"Kamu pasti tau apa yang biasa dilakukan suami istri di malam pertama mereka, kan?"
Andrea menahan napas, kepalanya secara refleks mengangguk meskipun dengan gerakan yang kaku. Ia bergerak sendiri tanpa diperintah.
Namun, bukan itu yang membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, melainkan arti dari perkataan Damian. Siapa pun tahu maksud dari malam pertama, remaja sekalipun. Apalagi, dirinya yang sudah berusia kepala dua. Hanya saja, apakah mereka benar akan melakukannya malam ini?
Kedua tangan Andrea menggenggam semakin erat di pangkuan. Keringat dingin mulai membasahi pelipis dan telapak tangannya.
"Kamu mau membuka baju kamu sendiri sekarang atau saya yang membukanya?"