Bab 2. Malam Panas yang Dingin

1588 Kata
"Saya nggak akan mengulangi apa yang saya katakan sama kamu, Andrea, dan saya nggak berharap kamu tuli." Andrea memeluk tubuhnya sendiri tanpa sadar. Bukan hanya karena suara Damian dan rentetan kalimatnya yang dingin, juga karena perkataan pria itu yang bernada perintah, memintanya untuk melepaskan pakaian. Seumur hidup, Andrea tidak pernah melepaskan pakaian di depan orang lain. tidak juga di depan Andres, adiknya. Dia terlalu malu untuk melakukannya. Baiklah. Damian bukan orang lain, melainkan suaminya. Akan tetapi, tetap saja memalukan. Mereka baru dua kali bertemu dengan saat pemberkatan, dan ini adalah pertemuan ketiga. Bagaimana bisa dia membuka pakaiannya di depan pria yang baru bertemu sebanyak tiga kali saja dengannya? Suara sepatu Damian yang beradu dengan lantai saat pria itu melangkah ke arahnya terdengar nyaring di indra pendengaran Andrea. Kedua tangannya semakin meremas dengan kuat, tubuh tidak dapat bergerak. "Saya yakin, kamu pasti mendengar apa yang saya katakan, kan, Andrea?" Nada suara itu sangat dingin, tak sadar Andrea menggigil. Jerit tertahan meluncur dari mulutnya merasakan jambakan di rambutnya yang masih tertutup veil. Dia masih mengenakan gaun pengantin, lengkap dengan veil yang sudah disingkap sampai ke atas kepala. "Kamu mau membuka gaun pengantin kamu sendiri, atau...." "A—aku buka sendiri!" jawab Andrea tergagap. Sebenarnya, jambakan di rambutnya tidak kuat, dia hanya terlalu terkejut saja sampai-sampai menjerit. "Bagus!" Damian mengangukkan kepala, melepaskan rambut Andrea, lantas mundur satu langkah menjauhinya. "Saya ke kamar mandi dulu. Saya harap, gaun pengantin sialan itu sudah nggak kamu pakai lagi saat saya keluar nanti!" Andrea mengembuskan napas lega melalui mulut tanpa dia sadari setelah Damian menjauh ke kamar mandi. Sekarang yang harus dilakukannya adalah melepaskan gaun pengantinnya seperti yang diperintahkan Damian. Eh, perintah? Iya, itu adalah perintah. Seperti yang sudah diberitahukan Leonor kepadanya di pertemuan mereka pertama mereka, Damian tidak pernah meminta, hanya bisa memerintah saja. Andrea menghela napas. Ekor matanya melirik ke arah kamar mandi yang masih tertutup dengan was-was. Sebenarnya, dia tak ingin menuruti perkataan Damian, tetapi tubuhnya berkhianat. Tangannya bergerak sendiri menurunkan resleting gaun pengantinnya. Andrea mengerang dalam hati, menyesali dirinya yang terlalu penurut sampai-sampai untuk urusan seperti ini pun dia menuruti karena sudah terbiasa. Seumur hidupnya, dia hampir tidak pernah membantah. Tangan Andrea bergerak lambat menurunkan resleting, mengikuti pikirannya yang melayang ke mana-mana. Ini terlalu memalukan yang pernah dia lakukan. Konyolnya, dia melakukannya tanpa paksaan. Suara pintu yang dibuka membuat Andrea kembali menahan napas untuk yang kesekian kali. Cepat dia menundukkan kepala, tak ingin bertemu tatap dengan pria yang sudah menjadi suaminya sejak beberapa jam yang lalu. Andrea menoleh ke samping kanannya dengan cepat mendengar suara geraman rendah di dekat telinganya. Matanya melebar sempurna melihat wajah Damian yang hanya berjarak beberapa inchi darinya. Tampan. Untuk beberapa detik, Andrea terpesona menatapnya tanpa berkedip. Kesadarannya kembali saat merasakan embusan napas hangat menerpa wajahnya dengan sedikit kuat. Matanya berkedip beberapa kali, lantas membuang muka dengan cepat menghindari Damian. Pekikan Andrea yang terdengar sedetik kemudian bukan hanya karena kaget, melainkan juga karena takut. Damian mendorongnya, menjatuhkannya ke tempat tidur, dan menindihnya. Mata karamel Andrea melebar, tak berkedip menatap Damian beberapa saat. Seolah dia takut pria itu akan berubah menjadi menyeramkan seandainya dia mengedipkan mata. "Saya sudah menyuruh kamu untuk melepas gaun sialan ini, kenapa nggak kamu lakukan? Apakah itu artinya, kamu mau saya yang melepaskan?" Kalimat kaku Damian terdengar seperti terompet kematian di indra pendengaran Andrea. Sekuat tenaga dia berusaha menggerakkan kepala, tetapi tidak berhasil. Tulang lehernya seakan membeku setelah mendengar suara dingin Damian. "Saya bukan seorang yang lembut, apalagi romantis, Andrea. Jangan salahkan saya bila saya bertindak kasar sama kamu." Andrea tidak tahu apakah harus merasa lega atau sebaliknya saat dia bisa menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Meskipun dengan gerakan kaku, yang penting dia tidak lagi menjadi patung bernyawa. "Ja—jangan ...!" Andrea berusaha mendorong Damian yang ingin menarik gaun pengantinnya. Veil-nya sudah lebih dulu melayang saat Damian menjambak rambut ya beberapa saat yang lalu sebelum ke kamar mandi. Sekarang, dia tengah berusaha mempertahankan gaun pengantinnya. "Jangan?" Gerakan tangan Damian terhenti. Ia menaikkan sebelah alisnya menatap perempuan yang sudah menjadi istrinya. Perempuan itu terbaring di bawahnya, terlihat lemah dan tidak berdaya, tetapi juga keras kepala di saat bersamaan. "Saya suami kamu, Andrea. Kamu tidak mau melayani suami kamu?" Pertanyaan itu mencubit Andrea. Jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat, seolah berhenti tiba-tiba. Tubuhnya yang berkeringat, gemetar ketakutan di bawah tatapan intimidasi Damian. Andrea diam, tak bergerak di bawah kungkungan Damian. Pasrah dengan apa yang akan dilakukan pria itu terhadapnya. Dia menahan napas saat bibir Damian yang basah membungkam bibirnya, melumatnya kasar. Bahkan, di dalam hatinya, Andrea lupa untuk berteriak memprotes. Ini adalah ciuman pertamanya, dan tanpa kelembutan sama sekali. "Kamu nggak bisu, kan?" tanya Damian dengan tanpa menyembunyikan kekesalan dalam pertanyaannya. Mata ambernya memicing menatap Andrea yang tengah bernapas menggunakan mulutnya. Mulut mungil itu setengah terbuka, hangat menguar dari sana. Terlihat menggoda di matanya yang tertutup kabut gairah. Iya, Damian tidak mencintai Andrea, tidak menyetujui perjodohan mereka, dan menikahinya dengan terpaksa. Akan tetapi, ia juga pria normal yang hasratnya akan menggila melihat perempuan cantik di bawahnya. "Kamu bisa sebut nama saya!" kata Damian masih dengan nada perintah yang sama, datar, dingin. "Kamu masih perawan?" tanyanya frontal. "Kamu boleh mencakar atau menggigit saya bila sakit. Tapi, satu hal, saya nggak akan berhenti, Andrea, biarpun kamu meminta sampai menangis, kecuali saya yang mau berhenti." Tidak ada jawaban, tidak ada juga response, Andrea seperti boneka. Yang menandakan dia makhluk hidup yang bernapas adalah dadanya yang bergerak naik turun seiring embusan napasnya yang memberat. Bukan. Andrea tidak merasakan seperti halnya yang dirasakan Damian. Dia tidak terangsang, tetapi ketakutan. Matanya terpejam saat wajah tampan Damian mendekat. Bibirnya yang kenyal dan lembut jatuh di atas bibirnya. Damian kembali menciumnya seperti tadi. Panas, tanpa jeda, membuatnya kesulitan bernapas. Benda lunak yang kasar menerobos memasuki mulutnya, menari dengan sensual, meliuk menggoda langit-langitnya. Andrea merasa pusing tiba-tiba. Tubuhnya juga terasa seperti dialiri arus listrik ribuan volt, membuatnya merasa seperti terbakar. Bulu-bulu halus di tubuhnya bahkan rasanya berdiri semua. Damian memang seorang yang selalu menepati perkataannya. Ia tidak melepaskan mulut Andrea meskipun perempuan itu mendorong dan memukul bahunya. Pukulan kecil seperti gigitan semut, dan dorongan tak bertenaga kalah dorongan bocah. Namun, sekuat apa pun Damian, ia tetap menyerah dan kalah pada kebutuhan akan oksigen. Paru-parunya yang kosong memaksanya untuk melepaskan bibir manis Andrea. Lega. Andrea langsung menghirup udara rakus melalui mulutnya. Paru-parunya benar-benar mengerut karena stok oksigen yang semakin menipis. Mungkin, seandainya Damian masih saja tidak melepaskan bibirnya, dia akan pingsan karena kehabisan udara. Kelegaan yang hanya beberapa detik saja. Andrea kembali menahan napas merasakan basah yang juga panas menjalar di lehernya. Dia nyaris memekik saking kagetnya, tetapi tertahan dengan menggigit pipi dalamnya. "Da—Damian ... uh!" Andrea buru-buru menggigit bibir saat mulutnya dengan tidak tahu malu mendesah. Desahan tertahan yang bercampur dengan erangan dan sesekali menyebut nama pria yang berada di atasnya kala basah dan panas itu terasa di ujung dadanya. Mata Andrea terbuka, mengintip malu-malu melalui celah buku matanya yang lebat. Mata itu lantas melebar melihat indra pengecap Damian menari dengan lincah, menyapu dadanya yang sudah tidak lagi berpenutup. Tidak hanya dadanya saja, tetapi seluruh tubuhnya sudah polos. Entah kapan Damian menyingkir gaun pengantin yang selalu disebutnya sialan itu, dia tidak menyadarinya. Entah di mana juga sekarang gaun pengantin tersebut, Andrea tidak lagi melihatnya. Dia benar-benar polos, kecuali bagian bawahnya yang —sepertinya— masih tertutup. Lalu, semuanya terjadi begitu saja, bukan tanpa disadari Andrea. Dia merasakan semua rasa itu. Mulai dari geli yang membuat tubuhnya terasa semakin panas, lalu berubah menjadi kesakitan, nyeri yang teramat sangat seakan tubuhnya terbelah menjadi dua bagian. Kemudian, rasa sakit itu menghilang dan digantikan rasa asing yang dia tidak tahu namanya. Rasa asing yang membuat mulutnya tidak berhenti mengerang dan menyebut nama Damian. Perih dan nyeri masih ada, tetapi rasa asing yang enak itu lebih mendominasi. Entah berapa lama Damian baru berhenti, Andrea sudah tidak tahu lagi. Dia pingsan karena terlalu lelah, dan saat itu Damian masih terus bergerak di atas tubuhnya. Andrea terbangun keesokan hari, dan sudah tidak ada Damian lagi di sebelahnya. Sisi tempat tidurnya dingin saat dia meraba yang artinya Damian sudah cukup lama tidak ada. Tidak mungkin pria itu berada di kamar mandi, tidak terdengar apa pun dari sana meioun dia menajamkan indra pendengaran untuk mencuri dengar. Andrea meringis, bangun pelan-pelan. Tangan kanannya memegangi selimut di d**a, tangan kiri menumpu pada kasur. Dia masih belum mengenakan apa-apa di balik selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Miris sekali. Benar-benar tidak sama seperti yang dilihatnya di film atau drama. Sangat jauh berbeda dari ekspektasinya. Andrea berpikir, meskipun mereka menikah karena perjodohan, Damian tidak akan meninggalkannya setelah ritual malam pertama. Bisakah dia menyebut pria itu sebagai berengsek? Andrea mengembuskan napas melalui mulut dengan sedikit lebih kuat. Pelan-pelan dia menurunkan kaki, kembali meringis merasakan nyeri di bagian bawahnya. Kembali Andrea menarik napas. Kali ini mengembuskannya dengan lebih pelan. Dia harus ke kamar mandi, bukan hanya untuk membersihkan tubuh, juga untuk meredakan nyeri dan perih di antara kedua kakinya dengan berendam di air hangat. Andrea sudah mencari tahu semuanya di internet, masalah malam pertama itu dan cara meredakan nyeri di s**********n setelah berhubungan. Selain mencari tahu sendiri, Leonor juga sudah memberi tahu apa yang harus dilakukan untuk meredakan nyeri yang menyerang seluruh tubuhnya setelah menghabiskan malam pertama. Malang sekali nasibnya. Seharusnya, seperti yang sering ditontonnya di drama-drama, si pria membantu pasangannya ke kamar mandi dengan cara menggendongnya agar perihnya tidak lebih parah. Akan tetapi, Andrea harus melakukannya sendiri. Damian Oliver, suaminya, justru tidak terlihat lagi saat dia bangun tidur. Entah ke mana perginya pergi itu. Apa mungkin Damian sudah berada di bawah berkumpul bersama keluarganya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN