Bab 3. Orang Ketiga?

1524 Kata
"Selamat pagi, Sayang!" sapa Leonor dalam bahasa lokal yang sedikit kaku, saat Andrea memasuki ruang makan. Andrea menganggukkan kepala membalas sapaan itu. Bibirnya melengkungkan senyum, meskipun sebenarnya dia berusaha keras untuk melakukan itu. Bagian bawahnya masih terasa perih setiap kali dia melangkah, sekuat tenaga dia menahannya agar dapat bergabung dengan mertuanya di meja makan untuk sarapan. Sementara itu, Damian, pria yang menikahinya kemarin, tak tampak batang hidungnya di meja makan. Ke mana perginya pria itu? "Damian tidak ikut sarapan?" tanya Leonor lagi. Alisnya berkerut tajam menatap ke arah tangga yang terlihat dari tempatnya duduk sekarang. Ruang makan dan ruang tengah hanya dibatasi dinding tanpa pintu. "Atau dia tidak ada?" Andrea menarik napas, mengembuskannya dengan pelan dan cepat melalui mulut. Dia sudah memikirkan alasan dan menyusun kata-kata jika Leonor atau Derreck bertanya. Sayangnya, semua kata itu menghilang entah ke mana saat dia memerlukannya. Seolah semuanya melarikan diri, takut dengan tatapan tajam mata amber Leonor. "Anak itu!" Leonor menggeram tertahan. "Apa kamu tahu ke mana dia pergi, Sayang?" tanyanya menatap suaminya yang langsung saja menggelengkan kepala. Mereka semua tidur nyenyak tadi malam akibat kelelahan setelah pesta. Entah bagaimana caranya Damian masih memiliki tenaga untuk kabur dari villa, padahal ia yang menjadi salah satu peran utama pesta. "Awas saja bila aku tahu Damian menemui perempuan itu!" Kedua tangan Leonor mengepal di atas meja. Wajah cantiknya yang angkuh, mengeras. Leonor tidak sadar, meskipun dia menggunakan bahasa dari negaranya, menantunya tetap akan mengerti apa yang tengah dirinya dan sang suami bicarakan. Andrea, meskipun tidak melanjutkan pendidikan ke universitas, dia tetap mengerti bahasa tersebut, belajar secara otodidak. Kedua tangan Andrea saling meremas di pangkuan. Dia berusaha keras untuk tidak menundukkan kepala hanya untuk menunjukkan jika dirinya baik-baik saja. Bahkan, memaksakan sepotong senyum manis dan mati-matian mempertahankannya agar tidak terlihat menyedihkan di depan kedua mertuanya. "Andrea, kamu nggak apa-apa, Sayang?" tanya Leonor menggenggam tangan menantunya. Rasa bersalahnya terhadap perempuan itu begitu besar. Dia yang memaksakan pernikahannya hanya untuk Damian. Leonor berharap, putra semata wayangnya berubah menjadi lebih baik setelah menikah, dan tidak lagi berhubungan dengan perempuan tidak tahu malu itu. Akan tetapi, nyatanya Damian pergi di saat seharusnya menghabiskan malam pertama bersama istrinya. Sungguh, dia tidak akan dapat memaafkan jika putranya justru menemui perempuan itu di saat seharusnya bersama istrinya. "Maafkan Mama karena sudah membuat kamu jadi seperti ini." Andrea tersenyum menggelengkan kepala. Sebenarnya, dia tidak merasakan apa-apa, hanya sedikit tidak enak saja di hatinya, apalagi melihat raut bersalah Leonor. "Kalau Damian pulang nanti, Mama akan hukum dia!" Mata amber Leonor berkilat. Andrea menggeleng. "Nggak apa-apa, Ma," katanya balas menggenggam tangan Leonor yang terasa sangat lembut di telapak tangannya. "Mungkin ada yang penting makanya Damian pergi...." "Nggak ada!" potong Leonor cepat. "Semua pekerjaan kantor Damian sudah diambil alih asisten pribadinya sama asisten pribadi saya. Dia pasti menemui perempuan tidak tahu malu itu!" geramnya tanpa sadar. "Ekhm!" Derreck berdeham, mencoba mengingatkan istrinya yang sudah keceplosan. Namun, Derreck terlambat. Andrea sudah mendengarnya. Mata perempuan itu melebar satu detik, napasnya memburu, jantung berdetak dua kali lebih cepat. Apa maksud perkataan Leonor? Apakah Damian memiliki kekasih yang tidak direstui oleh keluarganya? Apakah karena dirinya? Tak sadar, Andrea bergidik. Dia adalah orang ketiga dalam pernikahannya sendiri. *** "Tidak seperti itu!" bantah Leonor tegas. Mata ambernya menatap Andrea tajam, tetapi juga hangat di saat bersamaan. "Kamu bukan orang ketiga, Damian sudah memutuskan hubungan perempuan tidak tahu malu itu." Leonor tidak pernah menyebut nama perempuan yang menjadi kekasih putranya. Dia hanya menyebutnya dengan perempuan itu, tidak sudi menyebut namanya. "Saya nggak setuju Damian berhubungan dengan perempuan itu bukan tanpa alasan." Leonor menggelengkan kepala. "Saya sudah menyelidiki latar belakang perempuan itu dan semua yang berhubungan sama dia. Perempuan itu bukan dari keluarga baik-baik, keluarganya mata duitan, mereka hanya memanfaatkan Damian." Leonor menggebu-gebu. Dia tidak berbohong, apa yang dikatakannya semuanya fakta. Alasan dia menyembunyikannya dari Andrea karena tidak ingin menantunya salah paham. "Kalau saya memandang kedudukan dan harta untuk menantu saya, saya pasti nggak akan memilih kamu." Leonor menatap Andrea. Sinar matanya lebih lembut, begitu juga dengan nada suaranya. "Saya nggak memandang semua itu, Andrea. Yang penting bagi saya adalah menantu saya tulus dan sopan. Masalah harta dan kedudukan, saya sudah memilikinya, jadi saya nggak perlu lagi." Andrea tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepala. Dalam pikirannya terus menari-nari dirinya yang menjadi orang ketiga. Jika benar seperti itu, jika dirinya benar adalah orang ketiga dalam hubungan Damian dan kekasihnya, maka malang sekali nasibnya. Sudah menikah tanpa cinta, merusak hubungan orang lain pula. Dia pantas disebut sebagai perempuan jahat —pelakor— karena sudah merebut kebahagiaan orang lain. Tangan Andrea mengepal di pangkuannya, juga yang berada di genggaman Leonor. Dia melakukannya tanpa sadar akibat menahan perasaannya yang bergejolak. Di hari pertama pernikahannya, banyak sekali hal yang terjadi. Dia yang memang sudah mempersiapkan hati untuk segala kemungkinan terburuk, tetap saja merasa pertahanannya masih belum cukup. Andrea sudah menduga, Damian pasti memiliki perempuan yang dicintai di luar sana. Meskipun terlihat menurut, tetapi sinar mata pria itu penuh pemberontakan. Itu yang dilihatnya saat mereka bertatapan. "Andrea, maafkan saya!" Leonor mengeratkan genggaman. "Semua salah saya yang tidak memberi tahu kamu yang sebenarnya lebih dulu sebelum kamu menikah dengan Damian. Saya pikir, Damian sudah benar-benar memutuskan hubungan dengan perempuan itu...." "Perempuan siapa?" Pertanyaan itu memotong perkataan Leonor. Tiga pasang mata yang berada di ruang makan mengalihkan tatapan mereka ke arah suara secara bersamaan. "Damian?" Leonor membelalakkan mata. Dia berdiri, melepaskan genggaman tangannya pada Andrea. "Dari mana kamu?" tanyanya dengan nada suara penuh intimidasi. Damian mengabaikan pertanyaan itu. Ia melenggang dengan cuek menghampiri bangku di seberang Leonor dan mendudukinya. Bangku yang merupakan tempat duduknya seperti biasanya. "Dari mana?" Derreck ikut bertanya. Ia yang biasanya tidak pernah ikut campur dan bertanya, akhirnya melakukannya. "Dari ruang kerja," jawab Damian sambil memindahkan beberapa potong sosis goreng ke atas piringnya. "Aku memeriksa ulang laporan dari Pak Bramasta." Mata Leonor memicing, menatap Damian curiga. Tumben sekali putranya serajin itu memeriksa ulang laporan dari asisten. Hal yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya, Damian tidak serajin itu. "Terserah kalau Mama tidak percaya!" Damian mengedikkan bahu tidak peduli. Ia sudah berkata jujur, terserah mamanya ingin percaya atau tidak. Untuk saat ini, ia akan menuruti keinginan kedua orang tuanya. Setidaknya sampai mereka kembali ke tempat asal mereka di negara Raja Charles. "Tadi malam nggak bisa tidur, mungkin karena kebanyakan minum.Jadi, aku pikir, lebih baik menyelesaikan pekerjaan agar nggak terlalu banyak lagi saat aku kembali bekerja nanti." Damian menjelaskan dalam bahasa mamanya. "Rajin sekali!" sindir Leonor memutar bola mata jengah. "Sebaiknya, kau sering-sering saja seperti itu agar Mama dan Papa tidak perlu lagi turun tangan memantau perusahaanmu." Damian tidak menyahut, tidak juga menanggapi. Yang diinginkannya saat ini adalah kedua orang tuanya yang segera kembali ke negara mereka menetap. Ia sudah tidak sabar memberikan hadiah pernikahan lainnya pada istrinya tercinta. Tadi malam baru awal, masih banyak kejutan lain yang disiapkannya untuk Andrea. Siapa suruh perempuan itu mau saja dijodohkan dan menikah dengannya. Jangan salahkan dirinya jika memperlakukannya tidak semanis itu, salahkan Andrea yang mau saja diperalat Mama untuk mengekangnya. "Andrea, Sayang!" Leonor menggenggam tangan Andrea, lagi. "Kamu nggak perlu mempedulikan Damian, dia orangnya memang seperti itu," katanya tersenyum. Leonor lalu berpindah menatap putranya yang duduk tepat di seberangnya. Tatapannya menajam, penuh ancaman. "Bisakah kau bersikap lebih hangat dan lebih manis kepada istrimu, Damian Oliver?" Itu bukan pertanyaan, bukan juga permintaan. Lebih tepatnya, itu adalah perintah dari Nyonya Besar. Damian hanya mengangukkan kepala seadanya menjawab pertanyaan itu. Ia juga mendengarkannya sambil lalu, tidak serius. "Kau juga sudah harus bersikap lebih dewasa, tanggung jawabmu lebih besar sekarang. Kau sudah menikah, sudah memiliki istri. Jadi, jangan pernah keluyuran lagi di luar!" Damian berdecak tanpa suara, mengerang di dalam hati. Mama memperlakukannya seperti anak kecil lagi, kali ini bahkan di depan Andrea yang bahkab tidak pernah dianggapnya sebagai bagian dari keluarga Oliver. Ingin menjadi Nyonya Muda Oliver? Andrea benar-benar bermimpi di siang bolong. Hanya perempuan yang dicintainya yang akan menyandang status terhormat itu, dan perempuan itu bukanlah perempuan yang duduk di sebelah mamanya. "Aku nggak seperti itu, Mama!" bantah Damian. "Aku keluar mencari hiburan...." "Benarkah?" tanya Leonor memotong perkataan putranya. "Benarkah perempuan itu hanya hiburan? Jadi, menurutmu, pantas menghabiskan banyak uang untuk sebuah hiburan?" Andrea menahan napas. Selera makannya benar-benar hilang mendengar perdebatan antara suami dan Mama mertuanya. Padahal, dia berniat melanjutkan sarapannya, menghabiskan beberapa potong sosis goreng yang tersisa di piringnya. Namun, sekarang dia sudah tidak menginginkannya lagi. Semua sosis yang awalnya terlihat sangat menggiurkan, sekarang tidak lagi membuatnya benafsu ingin menyantapnya. Andrea mendorong pelan piringnya ke arah depan. Potongan-potongan sosis di atas piring ikut bergerak saat piring tersebut terdorong. Dengan tangan sedikit gemetar dia mengambil gelas air minum, menempelkannya ke bibirnya. Air yang melewati tenggorokannya lumayan melegakan, rasanya sejuk sampai ke lambung. Akan tetapi, tidak dapat membuatnya melupakan fakta jika suaminya ternyata sudah memiliki kekasih di luar sana, bahwa dirinya adalah orang ketiga dalam hubungan percintaan suaminya Meskipun Leonor mengatakan dirinya bukan orang ketiga, tetapi Andrea tetap merasa seperti itu. Dia sudah berada di antara Damian dan kekasihnya. Lalu, itu apa namanya jika bukan orang ketiga? Yang membuat Andrea benar-benar tidak berselera makan lagi adalah perkataan Leonor yang menyamakan kekasih Damian sebagai hiburan semata. Seburuk apa perempuan itu di mata Leonor sampai-sampai Mama mertuanya tidak memberikan restu dan malah memilihnya menjadi menantu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN