"Tuan, semua sudah siap!"
Seorang pelayan laki-laki melapor kepada Damian yang duduk menunggu di ruang tengah. Hari ini, tepat sepuluh hari usia pernikahannya dan Andrea, mereka memutuskan untuk pindah dari mansion keluarga Oliver ke sebuah rumah yang lebih sederhana sesuai keinginan Andrea.
Damian menurut saja. Ia bukan seorang yang pemilih, tinggal di mana pun tidak masalah baginya asalkan bisa beristirahat dengan baik. Selama ia bisa melakukan apa pun yang diinginkannya, selama Andrea tidak ikut campur semua urusannya, ia benar-benar tidak mempermasalahkan.
"Kita bisa berangkat sekarang!" Pria pelayan itu membungkuk hormat.
Damian mengibaskan tangan mengusir si pelayan, sekalian memerintahkannya untuk mengawal mobil pindahan. Ia dan Andrea akan menyusul sebentara lagi, setelah ia menghubungi seseorang.
Damian merogoh saku kemejanya, mengambil ponsel yang disimpan di sana. Jari-jarinya dengan cekatan menyentuh nomor kontak yang sudah disematkan. Menempelkan alat komunikasi tersebut ke telinga kanan setelah menyentuh ikon gagang telepon.
"Kita ketemu malam ini," kata Damian pada seseorang di seberang sana. "Kamu tunggu saya di tempat biasa!"
Damian langsung memutuskan panggilan suara itu sepihak, seperti kebiasaannya selama ini. Ia mengembalikan ponsel ke tempat di mana ia menyimpannya semula, lalu bangkit dan melangkah lebar menuju teras. Andrea sudah menunggu di sana, siap berangkat ke rumah baru mereka.
Rumah dengan dua lantai yang tidak bisa disebut kecil ataupun sederhana. Andre baru pertama kali menginjakkan kaki ke sini, Damian tidak pernah mengajaknya melihat-lihat sebelum ini, hanya memberi tahu saja.
Itu pun hanya tentang rumah dan memberikan surat-suratnya, tidak memberi tahu yang lain, termasuk lokasi rumah tersebut berada. Jadi, wajar saja jika Andrea terpaku di tempat setelah turun dari mobil, menatap rumah yang akan mereka tinggali.
"Bu Andrea, ada apa?" Pak Trisno, sopir pribadi Damian yang mengantarkan mereka, bertanya. Majikan perempuannya diam saja menatap ke arah rumahnya, tanpa bergerak. "Ibu baik-baik aja, toh?"
Pertanyaan itu membawa kesadaran Andrea kembali. Cepat-cepat dia menggelengkan kepala agar tidak Pak Trisno dan siapa pun yang melihatnya, tidak curiga.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma kagum aja sama rumahnya," jawab Andrea jujur. "Saya pikir, Damian beneran beli rumah yang kecil, nggak taunya besar kayak gini." Dia tertawa kecil untuk menutupi kekagumannya.
Sejak kecil, Andrea tinggal bersama bersama kakek dan adiknya di rumah mereka yang sederhana. Sangat sederhana, bahkan kamar tidurnya bersama Damian di mansion keluarga Oliver masih jauh lebih besar dari ruang tamu yang digabung dengan ruang keluarga di rumahnya dan Andra.
Andrea menoleh ke sampingnya hanya untuk meyakinkan dirinya jika Damian sudah tidak berada di dalam mobil lagi. Dia mengembuskan napas melalui mulut dengan sedikit lebih kuat melihat mobil yang sudah kosong.
Apa yang dipikirkannya? Tidak mungkin Damian mau bersusah payah menunggunya. Bertegur sapa saja mereka jarang sehari-hari, apalagi menunggu dirinya yang tengah melamun karena mengagumi tempat tinggal barunya. Damian bukan orang romantis seperti itu..
"Tuan Damian udah duluan masuk, Bu," kata Pak Trisno memberi tahu. "Katanya, mau ngecek apa udah selesai belum barang-barangnya diberesin."
Andrea mengangguk. "Makasih, Pak," katanya tersenyum sebelum memasuki rumah.
Ruang tamu yang sangat luas. Ada dua set sofa berbahan kulit dipajang di sana, juga beberapa furniture lainnya. Di dindingnya yang dicat dengan warna putih, tidak terdapat apa-apa, dibiarkan polos begitu saja.
Tidak ada Damian di ruang tamu, Andrea sudah menduga sebelumya. Bukankah tadi Pak Trisno mengatakan bahwa Damian sibuk? Sekarang pastilah pria itu berada di ruang kerja yang entah berada di bagian mana dari rumah ini.
Andrea tidak terlalu memikirkan itu. Yang diinginkannya saat ini adalah mengetahui di mana kamar tidurnya dan Damian, dia perlu beristirahat. Ataukah, dia dan Damian tidur di kamar terpisah?
Tidak masalah baginya mereka tidur terpisah. Toh, mereka tidak pernah menghabiskan malam panas bersama lagi setelah malam pertama waktu itu. Damian tidak lagi menyentuhnya meskipun mereka tidur di satu ranjang yang sama.
Bukan berarti dia ingin pria itu memasukinya lagi seperti malam pertama mereka. Sungguh, Andrea tidak pernah berpikir ke arah sana lagi. Dia justru berharap sebaliknya. Sentuhan Damian menyakitkan, sama sekali berbeda dengan semua pendapat yang pernah didengar maupun dibacanya.
"Bik Wati!" Andrea berseru memanggil asisten rumah tangga yang dibawanya dari mansion keluarga Oliver. Dia melambaikan tangan memintanya mendekat. "Bibik tahu di mana kamar saya?" tanyanya malu-malu setelah Bik Wati berdiri di depannya. "Saya mau istirahat, Bi, tapi karoh belum tau di mana kamar saya."
Bik Wati mengangguk maklum. Dia sudah tahu, Tuan Damian belum pernah mengajak Bu Andrea ke rumah ini sebelumnya, wajar jika dia tidak tahu di mana kamarnya.
"Ayo, Bu, saya tunjukan di mana kamarnya!" Bik Wati meminta Andrea mengikutinya dengan isyarat tangan. Dia sudah mengetahui seluruh seluk beluk rumah ini.
Sebagai salah seorang pelayan yang akan dibawa pindah ke rumah baru, Bik Wati sudah dibawa ke rumah ini sebelumnya untuk mengingat semua tempat. Bukan Damian yang membawanya dan seorang pelayan lain ke sini, melainkan Pak Trisno, sopirnya.
Andrea mengikuti Bik Wati, berjalan di belakangnya sambil mengamati setiap sudut rumah yang dapat ditangkap indra penglihatannya. Dia perlu mengingat semuanya agar tidak tersesat. Sangat tidak lucu sekali bila dia tersesat di rumahnya sendiri.
"Bik Wati, ini kamar saya?" tanya Andrea saat mereka tiba di depan sebuah kamar dengan pintu ganda berwarna hitam.
Bik Wati mengangguk. "Iya, Bu," jawabnya sopan. "Tuan Damian yang memilih."
Alis Andrea berkerut. "Damian tidur di kamar ini juga?" tanyanya lagi tanpa menyembunyikan keterkejutan dalam nada pertanyaannya. "Kami ... tidur di kamar yang sama?"
Bik Wati ikut mengerutkan alisnya menatap Andra, meskipun takut-takut. "I—iya, Bu," jawabnya terbata karena terkejut bercampur heran.
Bik Wati tidak mengerti dengan maksud pertanyaan istri majikannya. Tuan Damian dan Bu Andrea adalah suami istri, tentu saja mereka tidur di satu kamar yang sama, kan?
Andrea menggigit pipi dalamnya. Dia baru menyadari jika sikapnya terlalu berlebihan. Hanya saja, dia berpikir, setelah pindah rumah dia dan Damian ajab tidur di kamar terpisah. Mereka tidur di kamar yang sama hanya untuk mengelabui Leonor dan Derreck saja.
"Maaf, Bik." Andrea tersenyum agar Bik Wati tidak curiga. "Saya tadi cuma kaget aja. Habisnya, Damian nggak keliatan sejak tadi," katanya beralasan, meskipun terdengar tidak masuk akal.
"Tuan Damian di ruang kerja, Bu," kata Bik Wati memberi tahu. Dia menunjuk ruangan yang dimaksud, yang berada di lantai dasar, menggunakan ibu jarinya.
Kamar tidur utama yang ditempati tuan dan nyonya rumah berada di lantai dua. Lantai dasar ada kamar tamu dan ruang kerja tuan.
Andrea mengangguk. "Makasih, Bik Wati," katanya, lantas membuka pintu.
Baru beberapa detik Andrea memasuki kamar, bahkan dia belum melihat isi kamar secara keseluruhan, pintu kamar terbuka dengan cukup kuat. Damian berdiri di ambang pintu sebelum memasuki kamar dengan langkah lebar.
Yang membuat Andrea terkejut, Damian menariknya, dan menjatuhkannya di tempat tidur. Bukan hanya itu saja, pria itu juga langsung menindihnya, mengunci kedua tangannya di atas kepala.
"Da—Damian, kamu ... kamu mau ngapain?"
Pertanyaan Andrea masih belum selesai, Damian sudah membungkam mulutnya dengan ciuman menuntut dan kasar. Mata perempuan itu melebar sempurna selama beberapa detik, terlalu terkejut membuatnya lupa untuk berkedip.
Kesadaran Andrea kembali beberapa menit kemudian, setelah dia merasakan dadanya sesak seolah ada yang mengganjal dan berat. Rasanya seperti terbakar, sangat panas. Sedetik berikutnya, dia baru tahu indra pengecap Damian yang sudah menghalangi jalan masuk oksigen ke paru-parunya. Pria itu tidak berhenti menciumnya, bahkan mungkin jika dia pingsan.
Dengan tenaga yang tersisa, Andrea memukul dan mendorong bahu Damian, berusaha untuk menjauhkan pria itu dari atasnya. Berhasil, Damian melepaskan mulutnya.
Namun, baru saja Andrea mengembuskan napas lega, dia kembali menahan napasnya. Rasa geli dari benda lunak yang menggeliat di lehernya membuatnya menjadi seperti patung beberapa detik.Mulutnya terbuka, mengerang dan mendesah tanpa disadarinya.
Buru-buru Andrea menutup mulutnya menggunakan tangan kanan, juga menggigit bibir agar suara-suara itu tidak lagi meluncur begitu saja dari mulutnya. Dia malu, padahal tidak menginginkannya, tetapi malah menikmati sampai-sampai mengeluarkan suara laknat itu.
"Jangan ditahan, saya suka mendengar suara desahan kamu."
Kalimat itu sukses membuat bulu-bulu halus di tubuh Andrea berdiri. Rasanya seperti tersengat aliran listrik ribuan volt. Tubuhnya bahkan kembali berkhianat, mulutnya kembali mengerang seperti permintaan Damian dengan tidak tahu malu, sementara tangannya meremas rambut brunette pria itu.
Tidak hanya meremas rambutnya saja, tetapi juga menekan kepala itu sesekali agar semakin terbenam di dadanya yang berkeringat. Entah sejak kapan tubuhnya sudah tidak lagi berpenutup, gaun termasuk pakaian dalamnya tergeletak di lantai dengan mengenaskan.
Andrea tersengal. Indra pengecap Damian menari di dadanya dengan lincah, melainkan puncaknya yang sudah berdiri tegak sempurna.
"Damian!" Andrea mengerang tertahan. Sentuhan pria itu terasa panas di tubuhnya, rasa panas yang membuai, membuatnya menginginkan lebih.
Andrea bahkan tidak sadar posisi tubuh Damian sudah kembali berubah. Masih di atasnya, masih menindihnya, tetapi sudah berpindah tempat di antara kedua kakinya yang terbuka lebar membentuk M letter.
Tangan Andrea refleks mencengkeram rambut Damian, menekan kepalanya, membenamkannya makin dalam di bagian bawahnya. Dia benar-benar sudah kehilangan kesadaran. Seluruh tubuhnya sudah mengkhianatinya, mereka menginginkan sentuhan Damian lebih.
Ketika benda lunak yang kasar dan panas itu bergerak keluar masuk di dalamnya, Andrea sudah benar-benar kehilangan dirinya. Dia bahkan mengangukkan kepala dengan tidak tahu malunya saat Damian bertanya apakah dia menikmati kegiatan panas mereka atau tidak.
Mata Andrea melebar, benda tumpul kebanggaan Damian kembali memasukinya. Rasa perihnya memang tidak sama seperti saat pertama kali Damian memasukinya, tetapi tetap saja terasa perih.
Yang membuat Andrea kembali kecewa adalah Damian yang langsung pergi begitu saja setelah percintaan mereka selesai tanpa berkata sepatah kata pun.