Haris Ahmad Al-Faruq
Matahari condong di timur. Arakan awan menghiasi langit biru. Layaknya air yang terjatuh dari langit, dalam hitungan detik, sudah beribu butir air yang mengenai permukaan bumi.
Begitu pula mereka berdua, yang merajut cinta beratasnamakan Allah dalam setiap detiknya. Beribu nama Allah yang telah mereka ucapkan setiap embusan napas.
Waktu seakan cepat berlalu, seperti baru kemarin Linza duduk di atas pelaminan di temani oleh imam dunia akhiratnya, Haris.
Ia tersenyum, menatap wajahnya yang terpantul dari dalam cermin. Ia memandang gamisnya yang lebar, jilbabnya yang menjuntai sampai ke pinggang. Dua bulan lalu, tepat sebelum Haris melamarnya, ia menemukan jati dirinya lewat bantuan Bibi Latt.
Linza mulai memperagakan beberapa gaya di depan cermin layaknya seorang model. Baju seperti ini nggak kalah kok sama baju sekarang. Siapa yang bilang kalau baju ini ketinggalan zaman?
"Ada apa?" tanya seorang lelaki yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Lelaki itu menenggelamkan kepalanya di punggung Linza. Linza mendengus kesal. "Bisa tidak, sih jangan ngagetin. Nyebelin tau." Wanita itu melipat kedua tangannya di d**a, seolah memasang wajah cemberut.
Lelaki yang menggodanya tertawa renyah. "Nyebelin tapi kamu suka, kan?" Ia memainkan satu alisnya, lalu mengeratkan pelukan. Linza hampir saja sesak napas dibuatnya.
"Idih, siapa yang suka? Suka pengen nabok." Linza menepuk pipi Haris pelan. Haris manyun. "Halah, bilang saja. Sehari tidak bertemu denganku, kamu heboh mencariku sampai mendatangi kantorku. Masih belum mengaku."
Linza menatap sembarang arah seolah tak mendengar perkataan Haris barusan. Haris mencubit pipinya sayang. "Ya sudah, aku pergi jangan nyariin. Nggak usah kangen." Haris melepaskan pelukannya, memasang ekspresi marah, lalu pergi ke luar, meninggalkan Linza sendiri di kamar. Linza buru-buru menyusul langkah Haris yang kian menjauh.
"Baikan yuk," ucap Linza sembari menyejajarkan langkahnya dengan Haris. Haris cuek, menuruni anak tangga menuju dapur.
Linza menatap tingkah laku Haris yang seperti anak kecil itu menepuk dahinya pelan. Mendekati Haris yang sedang ingin membuat telur goreng, lalu memeluknya dari belakang.
"Jangan seperti ini." Linza merangkup tubuh Haris yang kekar itu. Yang dipeluk masih acuh, Linza mengeratkan pelukannya. "Ayolah, jangan seperti ini. Jangan tinggalkan aku. Aku minta maaf," ucapnya lirih.
Haris tertawa renyah mendengar perkataan Linza, melepaskan pelukan hangat dari istrinya itu, lalu tersenyum, menatap Linza yang cemberut.
Ia mengusap jilbab Linza penuh sayang. "Sampai kapan pun nanti, aku tidak akan meninggalkanmu. Hanya mautlah yang akan memisahkan kita berdua, Insya Allah." Haris lalu mencubit pipi Linza penuh sayang saat menyadari wanitanya itu tengah khawatir kepadanya. Takut-takut jika suatu saat meninggalkannya.
Linza mendongak ke arah Haris, menatap lekat-lekat Haris yang masih tersenyum kepadanya.
"Jangan," ucapnya pelan.
"Jangan apa?" Haris menatap istrinya bingung.
"Jangan tersenyum seperti ini dengan perempan selainku." Linza menatap Haris serius.
Haris hampir saja tertawa, tetapi tidak jadi. Ia malah mendekatkan kepalanya persis di depan kepala Linza, memasang senyum terindah yang pernah ia miliki. Linza yang wajahnya sudah memerah, mencoba menghindarinya dengan mundur.
Langkahnya terhenti saat badannya sudah terpentok dengan tembok. Haris memainkan satu alisnya, menggoda, sambil masih mendekati Linza.
Embusan napas Haris sudah bisa dirasakan Linza dari jarak sedekat ini.
Pipinya bersemu merah tatkala hidung miliknya menyentuh hidung mancungnya milik Haris.
Degupan jantungnya naik drastis, napasnya seperti tersengal, menatap mata elang milik Haris.
Haris mulai memiringkan kepalanya. Linza menggenggam jemarinya kuat-kuat, ia refleks menutup matanya.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik. Ia menunggunya.
Tetapi tak terjadi apa-apa padanya.
Perlahan ia membuka mata, mendapati Haris yang berdiri tidak jauh darinya, yang sedang menatapnya sambil tertawa puas. Sungguh menyebalkan! Linza mendengkus kesal.
"Kamu kenapa?" Haris masih menatap Linza sambil cengengesan. Linza malu ditambah sebal bukan main. Andai saja ia dapat menghilang, pasti sudah ia lakukan sekarang.
Kini lelaki di depannya sedang menertawainya, menatapnya sebagai wanita lucu yang berpipi merah layaknya kepiting rebus.
"Dua kali aku menang, ya!" Haris tertawa, memamerkan deretan gigi-gigi putihnya yang rajin. "Pertama, aku membuatmu memelukku. Kedua, aku membuat wajahmu memerah." Haris memainkan alisnya, menggoda Linza.
Linza menatap sembarang arah, seolah tak mendengar ocehan Haris. Haris menatap wajah istrinya yang memerah itu, ia tersenyum. Senang sekali menatap wajah istrinya itu saat sedang bersemu merah. Baginya itu adalah pemandangan yang lucu, dan tak boleh terlewat.
Perut Linza berbunyi, mereka berdua refleks menatap perut rata Linza. Haris tersenyum, mendekati Linza, lalu mengacak jilbab Linza.
"Aku akan membuatkanmu telur goreng." Ia memasang senyum manis.
"Aku saja yang memasakkan!" Linza bersungut-sungut ingin memasakkan Haris. Haris tersenyum, mengangguk remang.
Haris berjalan menuju sofa, duduk santai di depan tv.
Beberapa menit kemudian, terdengar teriakan Linza dari arah dapur. Haris cemas, buru-buru mendatangi Linza.
Linza mengibaskan tangan kanannya. Haris mengambil tangan Linza, menatap dengan teliti, "astaghfirullah." Haris dengan cekatan mengambilkan obat luka bakar, lalu mengobati Linza.
Linza meringis saat sebuah obat mengenai luka bakarnya. "Aku sudah sembuh kok," katanya berulang kali. Haris menggeleng. Untung saja kompor sudah dimatikan oleh Linza.
"Kamu lain kali hati-hati." Haris mewanti-wanti, saat sudah selesai mengoleskan obat. Linza mengangguk, lalu berjalan menuju dapur, menyiapkan telur gorengnya menuju meja makan.
"Maaf, aku hanya bisa memasak ini." Haris tersenyum, mengangguk. Lalu mulai memakan.
"Apakah enak?" Haris tersenyum lagi. Mata Linza berbinar, mendapat pujian tak langsung dari Haris. Ia menunggui Haris makan sambil masih berbinar.
"Kamu tidak makan?" Linza menggeleng.
"Aku akan makan setelahmu nanti." Linza tersenyum. "Jangan sampai lupa makan, ya." Linza mengangguk.
Setelah selesai, Haris berpamitan kepadanya untuk pergi bersama Zul dan Rizal. Sejak Haris menikah dengan Linza, Rizal tinggal di tempat Zul. Katanya tak enak dengan pengantin baru. Sedangkan keluarga Haris, setelah tiga hari pernikahan, mereka sudah pulang lebih dulu ke Indonesia.
"Aku harus pergi. Aku ada janji dengan Zul dan Rizal, Sayang." Haris merapikan bajunya. Linza menatap Haris tersenyum, walaupun berjuta kali ia menatap Haris, tetap saja ia merindu jika sehari saja tidak bertemu.
"Mau diskusi soal kembali ke Indonesia?" Haris tersenyum, lalu mendekati Linza yang duduk di meja makan. Ia mengecup lembut dahi Linza.
Setelah itu, Linza mencium punggung tangan Haris. "Assalamualaikum." Haris tersenyum.
"Waalaikumussalam." Linza membalas senyuman Haris. Menatap punggung Haris yang kian menjauh darinya, menuju ke rumah Zul.
Ia menatap jam dinding, pukul sepuluh pagi. Ia segera mengambil jatah makannya. Seenak apa, sampai Haris memujinya? Bibirnya kembali tersungging senyum ketika ingat Haris memuji masakannya walaupun tak langsung.
Satu suapan.
Satu kata yang bisa mendefinisikan makanan yang dibuatnya. ASIN!
Bagaimana bisa Haris memakannya sampai habis? Linza saja hampir muntah setelah mencicipinya.
Ia jadi teringat tatkala salah satu istri Rasulullah memasakkan beliau makanan. Rasulullah memakannya walaupun makanan itu tidak enak. Bahkan Beliau memujinya. Beliau hanya ingin menjaga hati sang pemasak.
Haris, kamu adalah seseorang yang mampu membuat hidupku lebih berwarna.