bc

KETIKA TUAN AROGAN JATUH CINTA

book_age16+
25
IKUTI
1K
BACA
HE
opposites attract
arrogant
heir/heiress
drama
bxg
small town
like
intro-logo
Uraian

Agni Khirania, usianya menjelang 30 tahun, menjalani takdir yang dipilihkan Tuhan padanya sebagai tenaga pendidik yang mengabdi di kampung kelahiran Ayahnya.

Agni seolah menemukan lanjaran untuk pergi sejauh mungkin dari kenangan bersama Dimas, mantan suami yang membersamainya selama 5 tahun.

Pernikahannya kandas karena orangtua Dimas memilih seorang perempuan yang lebih muda untuk menggantikan posisinya. Agni di cap mandul karena belum bisa memberikan seorang anak. Agni memilih menjadi pecundang ketimbang berbagi kasih sayang sang suami.

Di tempat baru. Seorang laki-laki yang terikat sepanjang waktu di kursi roda membuat hari-hari Agni menjadi buruk. Dia Albarra Darlian, seorang tuan muda yang tengah terpuruk dan dikuasai dendam setelah kecelakaan maut yang dialaminya dan mengubah hidupnya berbalik 180⁰. Tuan Barra menjalani pengobatan medis sembari bersembunyi di kampung sunyi itu. Seseorang di masa lalu selalu mencari cara untuk mencelakakannya.

Bagi Agni, Tuan Barra laki-laki menyebalkan yang selalu menyudutkannya dengan sikap arogan, angkuh, sombong, bermulut pedas dan berbuat seenaknya. Ia simpati namun juga antipati.

Sedangkan, Tuan Barra merasa terganggu dengan kehadiran Agni dan keluarganya. Perempuan cengeng, lambat dan selalu memandangnya dengan rasa iba. Perlahan tuan muda itu merasa hidupnya menjadi lebih rumit. Iya, rumit karena hatinya terjebak dalam perasaan yang tak mungkin bisa ia perjuangkan. Waktunya habis untuk amarah dan balas dendam, ia tak punya waktu untuk mencintai atau dicintai.

Adakah hal baik yang menghampiri Agni setelah semua kesakitan dan lara yang ia dapati?

chap-preview
Pratinjau gratis
Status Baru
Bab 1 Tok! Tok! Tok! Hakim Ketua bangkit setelah mengetukkan palu putusan sidang diikuti dua Hakim Anggota. Aku memejamkan mata, meredam berbagai rasa yang membuncah. Ruang sidang yang ramai berbanding terbalik dengan hatiku yang terasa kosong dan hampa. Helaan panjang terdengar, aku membuka mata lalu menemukan laki-laki yang membersamaiku sekian lama tertunduk dalam di kursinya. Aku menguatkan hati untuk hari ini. Hari dimana kami kembali menjadi orang asing setelah puluhan purnama bersama. Kami saling pandang dengan perasaan masing-masing. Laki-laki yang kini resmi menjadi mantan suami menatap sendu. Aku berdiri. Seulas senyum aku paksakan. Mas Dimas kembali termangu menatap lantai. “Aku pamit, Mas.” Lirihku, menahan gejolak di d**a. Melangkah keluar. Tak sengaja menemukan perempuan paruh baya yang selama ini kusapa Mama. Aku tersenyum kaku. Sorot mata itu dengan nyata menunjukkan rasa puas atas ketuk palu Hakim yang mengesahkan perceraianku dan dengan anak laki-lakinya. Seorang gadis dengan senyum mengembang mengapit lengan Mama. Ah ya, aku lupa, dia bukan mertuaku lagi. Rupanya dia cukup percaya diri untuk hadir di putusan sidang ini. Aku nelangsa dalam hati. Bukan kaleng-kaleng wanita yang dipilih keluarga Mas Dimas menggantikan posisiku. Aku mengangguk sopan kemudian mengayunkan kaki seraya menguatkan hati. Jangan sampai aku jatuh pingsan di sini. “Dek, tunggu!” “Maaf, tak bisa menepati janji. Tolong pahami semua ini, Mas tetap mencin ....” “Mas, tak perlu di ulang-ulang. Ini yang terbaik, aku ikhlas.” Aku memotong ucapan laki-laki yang berdiri dengan wajah kuyu. Mas Dimas diam, tangannya berulangkali menyugar rambut ke beIakang. Setelah memastikan tak ada lagi pembicaraan aku berjalan tanpa menoleh lagi. Hari ini, status janda tersemat padaku. Keluar dari kantor Pengadilan Agama Kota Bandar Lampung, matahari menyambut dengan garang, seolah membakar ulang hatiku. Aku bergegas masuk ke taksi online yang sudah kupesan. Mobil melaju, sesak di d**a yang sedari tadi tertahan terurai menjadi bulir bening yang menghangat. ‘Semoga kamu bahagia, Mas’ ucapku dalam hati. Kemudian tangan sibuk menyusut airmata yang tak pernah kering selama 6 bulan terakhir. Cinta yang kami miliki tak cukup menjadi alasan untuk terus bersama. Entahlah, apa cintanya yang sudah memudar atau aku yang kelelahan bertahan. Ketidakmampuanku memberikan keturunan selama lima tahun pernikahan membuat Mas Dimas goyah. Laki-laki yang berjanji menemani hingga akhir itu menyetujui desakan keluarga untuk menikah kembali. Sekian lama berperang apakah menerima dan berbagi kasih sayang Mas Dimas, akhirnya, aku Agni Khirania mundur. Memilih menjadi pecundang. * Sejak memutuskan berpisah aku pulang ke rumah Ibu. Meski mediasi dari Mas Dimas gencar di lakukan, aku tak berniat memberinya celah untuk membuatku kembali goyah. Meninggalkan rumah yang selama ini kami tempati bersama diiringi wajah sedih dari laki-laki yang berdalih ingin berbakti pada orangtua. Aku cukup tahu diri, meski laki-laki itu berujar rumah itu merupakan hakku. Aku bertaruh nasib ketika memutuskan berpisah dengan Mas Dimas, selama ini semua kebutuhan Ibu dan adikku tercukupi baik. Kuakui, Mas Dimas sangat memperhatikan keluargaku yang kehilangan tulang punggung setelah Ayah tiada. Selalu ada hal baik setelah yang buruk menghampiri. Aku mempercayai itu. Tuhan seolah memberikan obat atas rasa sakit dan kecewa yang kurasakan. Dua bulan berkabung setelah menerima salinan putusan cerai dari Pengadilan agama Kota Bandar Lampung aku sangat bersyukur ketika dinyatakan lulus test seleksi CPNS. Mungkin ini takdir yang dipilih Tuhan untuk menyemangatiku. Dia begitu baik setelah memberikan ujian teramat besar. Sesuai formasi yang kupilih, SK penempatanku di Kabupaten paling selatan Provinsi Lampung. Bukan tanpa alasan aku memilih di sana. Anggap saja aku pulang ke kampung halaman Ayah. Alasan terbesarku melarikan diri dari segenap kenangan dengan Mas Dimas. Aku harus menjauh, terlebih tiga bulan setelah perceraian laki-laki itu menikah dengan perempuan muda yang hadir di sidang perceraian kami. Sekarang, disinilah aku. Rumah panggung peninggalan Datuk jauh lebih rapih dari sebelumnya. Dua minggu yang lalu aku meminta Wak Idok, adik sepupu Ayah, membersihkan dan menebas rumput liar yang tumbuh memenuhi halaman. Pintu dan jendela yang rusak sudah diganti. Rumah panggung ini sangat besar untuk kami bertiga. Di atas ada lima kamar dengan luas 3 kali kamarku sebelumnya. Bagian bawah difungsikan sebagai dapur, kamar mandi dan gudang, juga garasi. Sepertinya kami harus terbiasa mengunjungi kamar mandi dengan naik turun tangga, mengingat kami terbiasa kamar mandi satu paket di dalam kamar. Pelan-pelan saja, rumah ini harus dibuat senyaman mungkin. Aku menyisir halaman hingga ke belakang. Semerbak bunga kopi membuatku betah berlama-lama. Halaman belakang ditanami pohon kopi yang mulai berbunga. Sepertinya aku akan meminta Wak Idok membuatkan pagar bambu karena mengkhawatirkan kondisi Rio. Selama satu tahun rumah tau ini tak berpenghuni. Wak Idok sesekali saja datang memastikan lampu tetap menyala. Waris, anak Wak Idok yang sebelumnya menempati memutuskan pindah ke Magelang, kampung halaman istrinya. Sebenarnya Ayah pernah berpesan kepada Ibu untuk menjual kebun dan rumah jika membutuhkan biaya untuk pengobatannya selama sakit. Aku bersyukur rumah ini tidak jadi dijual, ternyata takdir menuntunku untuk menetap di tanah kelahiran Ayah. Ah, aku kembali mengingat Mas Dimas jika terkenang almarhum Ayah. Mantan suamiku itu yang melunasi semua biaya perawatan Ayah yang tak sedikit. Aku menggigit bibir, perih terasa menjalari hati. Aku masih sangat terluka. Beberapa Saudara Ayah datang dan berbincang seraya membantu memasukkan barang-barang yang diturunkan dari truk pengangkut. Mereka menyambut kami dengan gembira, akhirnya ada keturunan Datuk yang mau merawat rumah tua ini, ujar salah satu dari mereka. Ketika semua barang tertata cukup rapih satu persatu undur diri. Rasa lelah begitu merajai ketika matahari meredup di ufuk barat. Ibu yang kecapaian berusaha mengikuti kemauan Rio. Adikku yang berusia 15 tahun itu sedikit rewel, mungkin merasa asing dengan suasana baru. Ario, adik kesayanganku merupakan Anak Berkebutuhan Khusus, penyandang tunagrahita. Di usia remaja pola pikir dan sikapnya tak ubah anak berumur 5 tahun. Aku urung menutup jendela kamar ketika menyadari sesuatu. Dua pohon mangga yang rimbun menutup rumah sebelah kini terpangkas habis. Wak Idok menyisakan batang yang gundul tanpa dahan. Mataku membesar melihat pemandangan di depan mata. Rumah panggung disebelah terlihat begitu kokoh tegak, kenapa aku tidak memperhatikan jika ada rumah sebagus ini di sini. Dari jendela berdaun lebar aku mengamati deretan palem dan cemara tertata begitu apik di taman. Entah kenapa pagar bata yang bersebelahan dengan rumah Datuk ini rendah, tak seperti pagar besi di depan yang tinggi dan tertutup rapat. Aku mengagumi semua ornamen dan keadaannya yang sangat terawat, papan yang menjadi penutup tiap sudut terlihat mengkilat, coklat kehitaman. Dulu, semua rumah di kampung ini adalah rumah panggung. Seiring waktu rumah panggung diganti rumah berdinding bata berbalut semen dengan cat warna warni. Tiba-tiba sebuah mobil masuk dan berhenti. Aku berdecak saat mobil mewah itu terparkir. Orang kaya yang tinggal di tempat seperti ini pasti butuh ketenangan. Mungkin penghuninya pasangan tua yang sudah kenyang dengan hiruk pikuk kota lantas membangun hunian senyaman ini di kampung Sosok laki-laki paruh baya keluar dengan terburu-buru, kembali dengan kursi roda menuju mobil. Setua apa pemilik rumah? Apa sudah tak bisa berjalan? “Hei! Siapa kau, apa yang kau tonton di sini?!” Aku terkejut. Seorang laki-laki dengan mantel tebal menatapku tajam. Ia memelihara cambang lebat di wajah. Kedua kakinya terjuntai. Laki-laki yang mendorong kursi roda turut menoleh. Merasa tak enak hati, aku mencoba tersenyum ramah. “Dasar tak sopan! Apa yang kau lihat? Hah?!” Ia melotot marah dengan mata membesar. Wajah itu terlihat begitu menakutkan. Aku gugup, beberapa saat kemudian merasa tak terima dengan sikap laki-laki bermantel tebal itu. Laki-laki paruh baya yang membawa kursi roda nampak kesulitan. Sosok bermantel itu meringis menahan sakit saat berhasil duduk di kursi roda. Kulit nya putih untuk ukuran laki-laki, hidung tinggi, dengan alis hitam tebal. Owh .... Ia cacat. Menyadari aku masih memperhatikan aktifitasnya. Laki-laki itu menatap nyalang dengan tangan terkepal. Segera aku menutup jendela dengan cepat. Jantungku berdegup kencang. Wajahnya yang lumayan tampan menjadi menyeramkan. “Lihat, rumah buruk itu sekarang ada yang menghuni! Kenapa kau tak turuti yang kukatakan. Dasar tidak berguna! Kalau mereka tak mau menjualnya, usir mereka secepatnya !!” “Besok akan saya urus, Tuan. Sekarang masuk dulu, anginnya kencang.” Aku mendengar jelas. Apa katanya? Mengusir kami? Penghuni rumah sebelah ternyata laki-laki arogan, cacat dan gila! Bersambung.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.5K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

TERNODA

read
198.6K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
57.1K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook