Ponsel Pemberian Nyonya Cindy
[Nyonya, makasih banyak Iphonenya. Saya sampai tidak bisa tidur karena saking senangnya!]
Aku reflek menjatuhkan ponsel suamiku setelah membaca pesan yang dikirimkannya pada Nyonya Cindy tiga puluh menit yang lalu. Nyonya Cindy membalas dengan emot love. Apa maksud semua ini? Mengapa Nyonya Cindy membalas dengan emot love? Mungkinkah mereka menjalin hubungan diam-diam di belakangku? Atau mungkin Nyonya Cindy hanya salah tekan saja?
"Sayang, kenapa kamu jatuhin ponselku. Nanti rusak, loh!"
Suamiku yang baru keluar dari toilet bergegas memungut ponselnya yang jatuh di atas lantai akibat ulahku. Aku tersenyum miris melihatnya yang lebih mengkhawatirkan ponselnya dibanding hancurnya perasaanku.
"Tuh, kan. Retak layarnya. Kamu ini kenapa. Suami kecapean mau istirahat malah buat gara-gara!"
Kulirik ponsel suamiku yang ternyata layarnya benar-benar retak. Pantas suamiku marah. Namun meskipun begitu aku sama sekali tak menyesal sudah menjatuhkannya.
"Bukannya kamu sudah dibelikan ponsel baru yang harganya berkali-kali lipat lebih mahal dari ponsel lamamu ini. Lalu, ngapain kamu marah-marah. Toh, ponsel burukmu cepat atau lambat bakal kamu buang juga, kan!" Ucapanku membuat suamiku terperanjat kaget. Mungkin dia baru sadar kalau dia lupa menghapus pesan yang dia kirimkan pada Nyonya Cindy.
"Kamu buka-buka ponselku?" suamiku terlihat marah dan tak terima karena aku membuka ponselnya tanpa sepengetahuannya.
"Kenapa tiba-tiba kamu keberatan aku buka ponselmu padahal sebelumnya kamu tidak pernah marah begini. Apa ini berarti ada yang kamu sembunyikan dariku? Kamu takut hubunganmu dan Nyonya Cindy yang baru dimulai ini terbongkar olehku?"
"Jangan asal tuduh, ya. Kami enggak ada hubungan apa-apa!"
Aku tersenyum miris mendengar jawaban suamiku. Asal tuduh dia bilang? Istri mana yang tak curiga kalau tiba-tiba suaminya dibelikan barang mahal oleh majikan wanitanya.
"Kalau begitu tolong jelaskan soal pesan yang tiga puluh menit lalu kamu kirimkan pada Nyonya Cindy!"
"Itu--"
Suamiku terlihat gelagapan, kalau tak ada apa-apa tidak mungkin dia bereaksi sepanik ini.
"Iphone harganya bukan murah. Kenapa Nyonya Cindy tiba-tiba membelikanmu kalau tidak ada sesuatu diantara kalian!" ucapku to the point. Hatiku sudah sangat panas. Di usia kehamilanku yang menginjak empat bulan ini harusnya dia lebih bisa menjaga perasaanku bukan malah membohongiku seperti ini.
"Kamu jangan salah paham, Nur. Aku bukan diberikan cuma-cuma Iphone itu. Tiap bulan Nyonya Cindy akan potong gajiku!"
"Aku enggak percaya, Mas. Kalau memang benar begitu kamu enggak mungkin sembunyikan hal ini dariku!"
Entah kenapa aku sama sekali tak percaya dengan alasan suamiku. Ponsel yang dibelinya sangat mahal sedangkan gaji dia sebagai sopir Nyonya Cindy tidak seberapa. Berapa lama dia harus melunasi hutangnya jika benar itu yang terjadi. Terlebih dia bekerja di rumah ini baru enam bulan. Tak wajar jika Nyonya Cindy percaya begitu saja pada orang yang belum bekerja lama untuknya dan suaminya.
"Kalau kamu enggak percaya kamu boleh tanya langsung sama Nyonya Cindy. Dia kasihan lihat ponsel aku yang sudah buruk jadi berinisiatif membelikannya. Kamu tolong jangan marah, karena bagaimanapun juga aku butuh ponsel yang lebih layak untuk pekerjaanku. Kamu tahu sendirilah kalau Nyonya Cindy dan Tuan Gibran sering memintaku mengantarkan mereka ke beberapa daerah yang sama sekali belum pernah ku kunjungi sebelumnya. Jadi, aku rasa ponsel yang dibelikannya akan sangat membantuku nanti!"
Suamiku lebih mendekatkan dirinya ke arahku. Satu tangannya memegang wajahku.
"Lepasin!"
Tiba-tiba aku merasa jijik dengan sentuhan tangan suamiku. Penjelasan darinya belum bisa membuatku percaya. Rasa marah dan cemburu membuatku gelap mata dan ingin menghajarnya.
"Sayang, kalau kamu tetap begini aku akan bawa kamu ke hadapan Nyonya Cindy. Kalau dia yang jelasin baru kamu akan percaya kalau kami benar-benar tak punya hubungan apa-apa!"
Suamiku hendak menarik tanganku, lagi-lagi dengan cekatan aku menghindar.
"Kalian pasti sudah sekongkol untuk merahasiakan hubungan kalian. Jadi menurutku enggak ada gunanya aku dengar penjelasannya!"
"Sekongkol? Nur, jangan keterlaluan kamu. Kamu pikir Nyonya Cindy serendah itu?"
"Wanita yang menggoda suami orang memang rendahan. Kamu bodoh atau hanya pura-pura bodoh saja?"
"Kamu--"
Tangan suamiku sudah terangkat ingin menamparku. Namun entah kenapa dia mengurungkannya.
"Tampar saja aku kalau berani. Kenapa enggak jadi?"
Mas Anwar menghela nafas panjang. Mencoba mengontrol emosinya.
"Baik, jika kamu tetap enggak percaya. Enggak ada cara lain selain menghubungi Tuan Gibran. Karena kata Nyonya Cindy, Tuan Gibran yang pertama kali mengusulkan soal Iphone yang kamu ributkan ini!"
"Tuan Gibran yang mengusulkan?" tanyaku kemudian. Suamiku mengangguk.
"Tuan Gibran minggu lalu sudah membahas soal Iphone ini. Hanya saja Nyonya Cindy baru sempat membelikanku hari ini. Kamu kalau masih enggak percaya ucapanku, biar aku hubungi Tuan Gibran sekarang juga!" ucap suamiku sembari menghidupkan kembali ponselnya yang sudah retak karena ulahku.
"Enggak perlu, Mas. Ini udah malam. Takutnya ganggu istirahat Tuan Gibran di luar kota!" Aku merebut ponsel suamiku. Majikan lelakiku sekarang tengah ada di luar kota untuk mengurus bisnisnya yang ada di sana jadi aku tak mau mengganggunya.
"Kamu mau kan percaya padaku, sayang. Aku benar-benar tak ada hubungan apa-apa dengan Nyonya Cindy. Aku cuma seorang sopir, mana mungkin Nyonya Cindy mau dengan lelaki miskin dan kampungan sepertiku. Aku jika dibandingkan dengan Tuan Gibran manalah sepadan. Enggak masuk akal jika Nyonya Cindy mengkhianati Tuan Gibran hanya untuk seorang lelaki kampungan dan tak punya apa-apa sepertiku!"
"Astaghfirullahal'adziim...!"
Aku beristighfar setelah menyadari kesalahanku. Benar kata suamiku, Nyonya Cindy tidak akan mungkin mau dengan suamiku karena seorang yang cantik dan kayaraya sepertinya tidak mungkin tertarik dengan lelaki miskin dan kampungan seperti suamiku. Terlebih Nyonya Cindy mempunyai suami yang tampan dan tentunya jauh lebih sempurna dibanding suamiku. Tak masuk akal jika dia tertarik pada suamiku sedangkan Tuan Gibran punya segala-galanya.
"Mas, maaf tadi aku sudah salah paham. Coba mas bilang dari awal mungkin aku tidak akan menuduh kalian yang bukan-bukan!" Aku meminta maaf setelah menyadari kesalahanku.
"Sebenarnya aku bukan bermaksud menyembunyikan hal ini padamu. Aku lagi cari cara buat jelasin ke kamu biar tidak marah. Aku takut kamu ngomel-ngomel karena aku ambil keputusan sebesar ini tanpa libatin kamu. Terlebih kamu lagi hamil, harusnya aku menabung buat biaya lahiran anak kita bukan malah ngutang Iphone sama Nyonya Cindy!" ucap suamiku dengan wajah menyesal.
"Karena sudah terlanjur ya sudah enggak apa-apa, Mas. Lain kali kalau mau ambil keputusan jangan gegabah seperti ini. Kita belum genap setahun menikah. Aku enggak mau pernikahan kita berakhir hanya karena salah paham."
"Iya-iya. Lain kali aku janji enggak akan ambil keputusan sendiri. Sekarang kita tidur, yuk. Aku udah ngantuk banget!" Suamiku menarik tanganku mendekat ke ranjang kami. Kami pun hendak berbaring, namun tiba-tiba kami dikejutkan dengan kedatangan Nyonya Cindy. Wanita cantik yang mengenakan baju tidur seksi itu langsung membuka pintu kamar kami yang lupa kami kunci sebelumnya.
"Anwar...Anwar...tolong saya. Di kamar saya ada tikus. Saya tak berani masuk kamar sebelum kamu tangkap tikusnya!"