6

1056 Kata
“Na, hayu cepetan!”Ucap Utin sambil menarik tangan Raina yang baru menyimpan tas di kelas. “Ada apaan sih?" “Ada tanding basket anak IPA lawan IPS dan Satria ikut main." Raina mendengus. “Pantasan enggak sabaran," Raina dan Utin berjalan menuju gor sekolah yang terletak di gedung sebelah. Sesampainya di gor, ternyata banyak siswa maupun siswi yang sudah berada di tempat, bahkan teman sekelas Raina hampir keseluruhan datang untuk menonton. Utin menarik Raina untuk duduk di barisan paling depan. Beruntung, mereka masih mendapatkan tempat meskipun berdempetan. “Na, Itu Satria ganteng banget!”Pekik Utin menunjuk Satria yang tengah melakukan pemanasan. Raina mengangguk sambil memperhatikan Satria yang kini tengah berdiskusi dengan regu nya. “Satria semangat!”Teriak Utin, sedetik kemudian Utin memekik kegirangan melihat Satria yang kini menatap kearahnya. Raina menyenggol bahu Utin. “Penghianat lo! Kita kan anak IPS, harusnya lo support jurusan kita." Utin terkekeh. “Lupa gue, abis saking gantengnya ketos pake seragam basket, gue terkesima pisan! Ganteng cuy!" Raina tertawa melihat mimik wajah Utin yang kini terlihat lucu. Entahlah, mungkin setelah tahu sahabatnya ini sedang kasmaran, Raina mengamati jika semakin hari Utin terlihat cantik. Efek jatuh cinta kah? Pandangan Raina lebih tertarik pada Putri, wakil ketua osis sekaligus soulmate Satria. Gadis cantik itu pun memiliki aura yang sama seperti Utin, kasmaran. Terlihat dari tatapan mata Putri yang kini menatap Satria. Posisi Putri berada di belakang Satria. Tangannya menggenggam tempat minum dan handuk kecil, sepertinya milik Satria. Raina paham jika diusianya yang sekarang, ia dan teman-teman yang lain berada di tahap puber, yaitu ketertarikan terhadap lawan jenius. Raina juga tidak menampik jika ia sebenarnya tertarik pada Satria. Namun, Raina belajar untuk memprioritaskan tujuan hidupnya. Ia memiliki prinsip untuk belajar, dan mandiri selama masih sekolah. Raina lebih suka memikirkan bagaimana masa depan dirinya nanti, dibandingkan harus memikirkan lawan jenis yang belum tentu pasti memiliki perasaan terhadapnya. Raina memiliki pemikiran seperti itu karena ia memiliki alasannya sendiri. Berbeda dengan Utin yang hidup dalam keluarga berada dan anak tunggal. Raina tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang guru SD dan Ibunya seorang IRT serta memiliki warung nasi sederhana. Memiliki 3 anak perempuan yang masih menempuh jenjang pendidikan membuat kedua orangtuanya extra banting tulang, bahkan Bapa sampai membuka private demi mendapatkan uang tambahan. Karena kondisi keluarganya yang paling sederhana diantara keluarga besarnya, membuat keluarnganya seringkali di remehkan oleh sanak saudara. Bahkan tak jarang, Ibu nya disuruh-suruh layaknya pembantu oleh saudara-saudaranya ketika sedang berkumpul, contohnya saat lebaran. Maka, Raina bertekad untuk tidak akan merepotkan kedua orangtuanya lagi. Bahkan Raina tidak berniat untuk kuliah. Ia lebih memilih mencari uang dulu , baru jika ada rezekinya ia akan kuliah. Melihat pengeluaran biaya kuliah dan tugas kakak sulungnya, Teh Rahmi membuat Raina tidak tega untuk membebani kembali orangtuanya. Padahal Teh Rahmi ikut membantu meringankan biaya kuliahnya dengan berjualan pernak pernik yang ia buat sendiri, namun biaya kuliah jaman sekarang memang mahal sehingga penghasilan tambahan Teh Rahmi hanya menutupi setengah biaya tugasnya. “Na, kok ngelamun?”Tanya Utin menepuk punggung Raina. Raina mengerjapkan matanya dan nyengir pada Utin. “Ngantuk,”Jawabnya berbohong. “Lah tidur jam berapa?”belum sempat Raina menjawab terdengar suara peluit yang menandakan pertandingan sudah dimulai.”Ayo kita dukung Satria! GO ! GO! SATRIA!! “teriak Utin bersamaan dengan suara siswi lainnya. “Dasar penghianat,”Gumam Raina melihat Utin yang kini sudah berdiri sambil berteriak menyemangati Satria. “Go! GO! IPS!”Teriak Raina. Di sisi lain, Satria melirik suara familiar yang begitu lantang. Raina, gadis itu terlihat sangat bersemangat menyemangati teman jurusannya. Melihatnya, membuat Satria merasa cemburu. Ia juga ingin disemangati Raina. Satria melirik sinis ke arah tim lawannya, emosinya mulai meningkat. ... Raina mengerucutkan bibir melihat tim IPS yang kalah telak melawan tim IPA. Dipikirnya tim IPS akan menang, mengingat jurusannya memang terkenal unggul di bidang olahraga. Namun ketika dipertengahan jalan pertandingan, tim IPA yang dikomandoi Satria mendadak melakukan serangan balik, sehingga tim IPA meraih skor tertinggi dimana skot tersebut semua di raih oleh Satria. “Dia bukan manusia,”Gumam Raina menatap Satria dengan pandangan tidak percaya. “Kenapa, Na?" “Dia.. Gila." “Siapa?" “Gebetan lo. Mana ada manusia yang serba bisa kayak si Satria." Utin terkekeh mendengar pernyataan sahabat mungilnya itu. “Lo kebanyakan baca novel, Na." “Seriusan Tin. Itu laki segala bisa, jujur bikin gue ngeri." “Aya-aya wae kamu mah Na. Eh ke Satria dulu yuk!”Ajak Utin. “Ngapain? Langsung ke kelas aja, bentar lagi guru masuk." “Bentar aja, yuk!”Utin menarik tangan Raina. “Lo aja, gue tunggu disini." “Enggak ah ayo ikut.”Tarik Utin, lalu berjalan menghampiri Satria yang masih duduk di pinggir lapangan bersama tim nya, tidak lupa Putri yang selalu setia berada di sampingnya. “Hey, selamat ya menang!”Ucap Utin begitu berdiri di depan Satria. Satria tersenyum dan menatap Raina yang menatapnya tidak suka. Satria bingung, apakah ia melakukan kesalahan? “Jangan dipikirin Sat, sobat gue cuma kesel aja karena tim IPS kalah.”Ujar Utin memperhatikan Satria yang intens menatap sahabatnya. “Kamu kesal?”Tanya Satria menatap mata Raina. Raina yang terkejut di ajak bicara Satria menatap Satria bingung, lalu menggeleng. “Hayu ke kelas!”Ajak Raina. Utin mendengus kesal melihat sahabatnya yang merengek seperti anak kecil. “Iya hayu. Gue duluan ya Sat, Put." “Raina,”Panggil Satria ketika Raina hendak berbalik. “Nasi kuning buatan kamu enak." Raina tersenyum senang. “Makasih, ngelanggan ya." Satria tersenyum dan mengangguk. Utin yang melihat bagaimana Satria tersenyum pada Raina, memunculkan dugaan yang sebelumnya tidak ia percaya. Tapi melihat Satria yang selalu bertanya duluan pada Raina, bisakah ia membenarkan prasangkanya? Jika Satria menyukai sahabatnya. ... “Tumben,”Ujar Putri memperhatikan Satria yang tengah membenarkan tali sepatunya. “Kenapa?" “Enggak, heran aja lihat kamu ajak bicara perempuan pertama kali,”Putri mencondongkan tubuhnya menatap Satria. “Sat, lo enggak.." “Kamu kebanyakan mikir, ayo jalan ke kelas.”Ajak Satria yang sudah berdiri. “Sat, tunggu!”Putri mengejar Satria. “Besok jadi kan kita nonton." Satria mengangguk tanpa menatap Putri. “Ketemu langsung di sana?" Satria menghela napas. “Enggak usah, biar saya jemput kamu di rumah." Putri tersenyum lebar. “Oke, makasih ya.” Satria hanya tersenyum sekilas dan kembali menatap lurus ke depan. Sat, bisa enggak hati lo buat gue? Tanya Putri didalam hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN