MEET YOU (AGAIN) | 01
Air turun dari mobil dengan raut datar dan dingin. Langsung memasuki gedung kantor tak menghiraukan sapaan hormat dari para karyawannya seperti biasa.
Air melepaskan jas. Lalu menyampirkannya di sandaran kursi. Suara derit pintu dibuka membuat Air langsung mengalihkan tatapannya.
Air mendengus keras ketika sekretarisnya itu langsung nyelonong masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu. “Patah jari kamu?“ sindir Air seraya mendudukkan dirinya di atas kursi kebesarannya.
Sekretarisnya itu terlihat memutar kedua bola matanya malas dan melemparkan sebuah map ke atas meja Air. “Itu semua data-data calon sekretaris yang harus di interview hari ini.“
Sebelah alis Air naik. Tangan kanannya terulur meraih map itu. Air bersandar pada sandaran kursi.
“Harus dapat. Gak mau tahu, ya.“
Menopang dagu dengan ibu jari dan telunjuknya, Air mengusap-usap bibir bawahnya pelan dan dengan serius membaca satu per satu data yang ada di dalam map. Senyum lebarnya seketika terbit. Air langsung menutup map itu dan menegakkan duduknya. I got you!
-meetyou(again)-
Shaleta menatap papan nama besar bertuliskan ADINATA GROUP. Memasuki lobby perusahaan, Shaleta langsung disambut senyum ramah seorang resepsionis.
“Selamat pagi.“
“Selamat pagi.”
“Ada yang bisa saya bantu, Bu?”
“Saya ada interview. Ruangannya ada di sebelah mana ya, Bu?”
“Sebelumnya, untuk posisi apa kalau saya boleh tahu?”
“Sekretaris, Bu.”
“Oke. Silahkan Ibu ke lantai paling atas. Nanti ada Ibu Salvia yang akan mengantarkan ke ruangan atasan.”
Shaleta tersenyum simpul. “Terima kasih. Permisi.”
“Sama-sama. Semoga sukses interviewnya.”
Shaleta mengangguk. Langsung berlari kecil ketika melihat pintu lift mulai bergerak menutup. Shaleta masuk dan berdiri di sudut kanan lift. Mengangkat wajahnya menatap pantulan dirinya pada dinding kotak besi bergerak itu. Shaleta memperbaiki penampilannya yang sedikit berantakan karena sempat berlari tadi.
Mix wisten shirt sugar beet, bawahan lace ruffle skirt rose pink dengan tas senada dan stiletto membuat penampilan Shaleta terlihat santai, namun tidak menghilangkan kesan formal.
Ting!
Pintu lift terbuka. Shaleta keluar dan berjalan menghampiri satu-satunya wanita yang ada di sana dengan ragu dan sedikit gugup.
“Per-misi?”
Shaleta melihat wanita itu langsung menghentikan kegiatan mengetik di keyboard komputer. Tatapannya bertemu dengan mata wanita itu ketika wanita yang usianya tampak lebih muda darinya itu mengangkat kepala.
“Ya. Ada yang bisa saya bantu?”
Shaleta mengangguk kecil. “Saya ingin bertemu dengan Ibu Salvia. Ibu?”
Wanita itu berdiri dan mengulurkan tangannya. “Salvia Xena Adinata. Cukup, Via.”
Shaleta tersenyum manis menerima uluran tangan Via. “Saya Kennaya Shaleta Amabel.”
Via memperhatikan penampilan Shaleta. “Mau interview, ya?”
Shaleta mengangguk. “Iya, Bu.“
“Mari ikut saya.”
Shaleta mengangguk satu kali lagi dan mengikuti langkah Via yang sudah beberapa langkah di depannya.
Kedua alis Shaleta menaut ketika berhadapan dengan pintu kaca yang cukup besar. Bukan ke ruangan HRD, ya?
Via mendorong pintu kaca itu semakin lebar. “Silahkan masuk.” kata Via sambil mengayunkan tangan kanannya. Matanya tertuju pada Air yang sedang duduk membelakanginya.
Shaleta tercenung ketika menyadari tempat dimana dia berdiri. Oh my ... wow! Jadi ... maksud atasan tadi itu, C-E-O? God! Shaleta menelah salivanya susah payah.
“Permisi, Pak?” Via mengetuk permukaan meja Air dua kali. ”Sudah waktunya interview.”
Shaleta menatap papan nama kecil berbahan akrilik yang ada di ujung depan meja. Tertulis AIR NAKHLA ADINATA – CHIEF EXECUTIVE OFFICER. Air-Nakhla-Adinata? A-ir? Mungkinkah dia ... Air yang sama? Shaleta menggelengkan kepalanya cepat. Please, deh Leta. Yang namanya Air itu banyak, ya ... tidak hanya satu.
“Silahkan duduk.” kata Via dengan suara pelan.
Shaleta terkesiap. Langsung saja mengangguk dan duduk di kursi yang ditunjuk oleh Via.
“Kalau begitu, saya permisi.” Via membungkuk sopan dan berbalik keluar.
Shaleta berdehem pelan untuk membersihkan tenggorokannya yang mendadak kering. “Permisi, Pak?”
Diam. Laki-laki itu tak menjawab.
Shaleta memajukan tubuhnya sedikit. “Permisi, Pak?!” panggil Shaleta lagi mengeraskan suaranya. Masih tidak ada jawaban. Shaleta mengerutkan keningnya dalam. Ya, masa bu-dek? “Pa--" ucapannya terhenti ketika kursi itu berbalik padanya menampakan wajah sosok yang sejauh ini masih ingin dia hindari. Shaleta membulatkan matanya tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang.
Air tersenyum miring. “Long time no see, Shasa.”
Shaleta membeku. Lidahnya langsung menjadi kelu. Shaleta tidak bisa berkata apa-apa untuk menjawab. Batinnya, sedang berusaha mencerna keadaan yang tengah menimpanya. Meet you, again. Apa memang takdir? Atau hanya sebuah kebetulan?
“Ekhem! Shasa!” deheman dan panggilan Air sukses menyadarkan Shaleta yang pikirannya tengah melayang entah kemana.
“Eh! I-i-iya.”
“Masih ingat aku?”
“Hah?” Shaleta melongo. “O-o-oh ... ma-masih. Iya, masih.” jawab Shaleta gugup sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Air mengulum bibirnya menahan agar tidak tersenyum ketika melihat tingkah Shaleta yang tidak bisa menyembunyikan rasa gugup gadis itu. Gemesin ... “Good! Jadi, kamu akan jadi sekretaris aku.” Air mendorong sebuah map ke hadapan Shaleta. “Baca. Itu kontrak kerja kamu.”
“Hah? Eh? Bagaimana?” tanya Shaleta gelagapan.
“Kamu jadi sekretaris aku. Dengar? Bagian mananya yang kamu kurang jelas?”
Shaleta menggeleng pelan. “Saya dengar. Saya jadi sekretaris Bapak. Tapi saya, kan belum ada di wawancara sama Bapak.”
Air bersandar pada sandaran kursi. Menatap Shaleta tepat di manik mata gadis itu. “Yakin, kalau aku tanya kamu bisa jawabnya nanti?”
“Kalau pertanyaannya sesuai. Saya usahakan akan menjawab pertanyaan dari Bapak dengan sebaik mungkin.”
“Kamu bercanda.”
Kening Shaleta mengerut. “Maaf?”
“Apa maksud kamu dengan pertanyaan sesuai itu? Apa yang ada dipikiran kamu sekarang ini, Shasa?”
“Pekerjaan. Pertanyaan yang sesuai dengan pekerjaan. Mungkin?” jawab Shaleta lirih di ujung kalimatnya.
“Jadi kamu anggap, aku gak bisa bersikap profesional? Kamu pikir, pertanyaan aku pasti tentang masalah pribadi kita berdua gitu?”
Shaleta menggelengkan kepalanya cepat.
“Pertanyaan kayak, kamu kemana selama ini?”
“Buk--"
Air mengangkat satu tangannya untuk menghentikan ucapan Shaleta.
Mendadak suasana di antara keduanya berubah menjadi hening. Air terdiam berusaha meredakan emosinya. Sementara Shaleta terdiam karena merasa bersalah.
“Maaf.” cicit Shaleta sambil menundukan kepalanya dalam-dalam. “Tapi, sungguh. Bukan itu maksud ucapan saya.”
Air langsung menoleh menatap Shaleta. Menghela napasnya pelan. Selalu. Baik dulu maupun sekarang, dia selalu menjadi pihak yang kalah. Tidak bisa terlalu lama marah pada Shaleta.
“Oke.”
Shaleta langsung mengangkat kepalanya. Lalu berdehem pelan. “Saya jadi diterima, Pak?”
“Jadi.”
Shaleta tersenyum lebar. Wajah mendungnya langsung berubah menjadi cerah. “Serius?”
Air tercenung. Senyum itu ... kapan terakhir kali dia melihat senyum milik Shasa-nya? Ahh, iya. Delapan tahun yang lalu. Sudah selama itu tapi senyum milik gadis itu tetap sama.
“Iya, nanti aku seriusin.”
“Eh?”
Air mengedikan dagunya. “Udah, baca dulu itu kontrak kerja kamu. Sebelum aku berubah pikiran.”
Shaleta mengangguk mantap. “Baik, Pak.”
Sementara Shaleta yang sedang membaca poin-poin dalam kontrak dengan serius. Senyum Air tidak berhenti muncul di bibirnya. Matanya tak dapat lepas memandangi wajah Shaleta yang tampak lebih dewasa dari sebelas tahun yang lalu.
Air mengusap wajahnya kasar. Baru bertemu Shaleta beberapa menit, sudah berapa kali dia tersenyum? Bagaimana kalau bertemu setiap hari? Bisa-bisa diangkat jadi duta senyum Indonesia dia. Air tertawa dalam hati dan kembali memandangi wajah Shaleta lekat. Dia tidak akan membuang kesempatan yang ada di depannya. Shasa ... boleh, aku bilang kangen kamu? Pertanyaan itu hanya berani Air tanyakan dalam hati.
Tatapan Shaleta tidak sengaja bertemu dengan mata Air. Pandangan mereka berdua terkunci membuat keduanya terpaku selama beberapa menit.
Berdehem pelan. Shaleta perlahan menggerakkan bola matanya untuk menghindari tatapan Air yang sukses membuat wajahnya memerah.
“Udah kamu tanda tangani?” tanya Air ketika Shaleta mengembalikan map padanya.
“Sudah, Pak.”
Air mengangguk. “Good! Besok kamu udah bisa mulai kerja. Sisanya, nanti bisa kamu tanyakan sama Salvia.”
Shaleta mengangguk. “Baik, Pak. Terima kasih. Kalau begitu, saya permisi.” Shaleta beranjak berdiri dan dengan ragu mengulurkan tangannya.
Air menerima uluran tangan Shaleta. When I meet you again. Aku sudah membuat janji tidak akan pernah melepaskan kamu lagi. Selamanya.
Tbc.