Alfin
Dua tahun yang lalu, ketika hari dimana pesta pertunangan Hanin dilaksanakan, Adam sengaja tidak hadir. Dia sudah sakit hati saat Hanin memberikan undangan kepadanya, dan dia tidak ingin nekat menembakkan pistol ke kepalanya sendiri saat melihat laki-laki lain menyematkan cincin kepada mantan kekasihnya tersebut.
Semenjak hari itu, Adam mulai bangkit dan memfokuskan diri untuk mengembangkan bisnisnya yang sebagian dana ia peroleh oleh sang Ayah. Hidup Adam seolah-olah sepenuhnya mengabdi kepada perusahaan yang sekarang ia kelola. Pagi hingga malam ia habiskan untuk bergulat dengan dokumen-dokumen perusahaan.
Jangan tanya apa yang membuat Adam jadi sangat sibuk seperti sekarang. Karena tujuannya hanya satu, yakni melupakan sosok Hanin Anaya.
Berdasarkan kabar yang ia terima dari Bundanya, ia tahu bahwa Hanin sekarang sedang menjadi koas di sebuah rumah sakit di Jakarta. Adam bersyukur bahwa perempuan itu berhasil mencapai cita-citanya, walaupun Hanin belum diangkat menjadi dokter tetap.
Hari ini tepat 2 tahun Adam tidak pernah bertemu dengan hanin setelah kejadian di kafe. Sekalipun rasa rindu masih suka bersemayam di hati Adam, ia tidak pernah berniat untuk menemui Hanin. Bukan karena Adam yang sudak tidak punya cinta, tapi karena ia cukup tahu diri untuk tidak mengganggu tunangan orang lain, atau sekarang sudah resmi menjadi istri orang? Adam tidak tahu.
Malam ini, Adam memiliki janji pertemuan penting dengan mitra kerjanya di hotel bintang lima di daerah Jakarta Pusat. Laki-laki yang kini tengah berjalan ke arah meja yang sudah dipesan oleh rekannya itu terlihat semakin menawan dengan setelan jas bak CEO muda seperti di film-film.
Adam menjabat tangan pria berumur didepannya. Kemudian duduk dan tanpa basa-basi, Adam dengan cakap menjelaskan maksud dan tujuan makan malam ini.
Satu jam mereka berdiskusi, Adam tersenyum puas dengan hasilnya. Pria didepan Adam mengangguk menyetujui perjanjian bisnis diantara kedua perusahaan mereka.
Adam menikmati minumannya dengan tenang. Matanya mengelilingi sepenjuru ruangan untuk mengusir rasa bosan. Hingga ia menangkap punggung seorang wanita dengan rambut kecoklatan yang sangat ia kenali. Perempuan yang tidak ia pernah temui selama dua tahun belakangan itu berjalan keluar restoran tergesa-gesa meninggalkan laki-laki yang ia yakini sedang menyimpan gurat emosi diwajahnya.
Adam yakin itu Hanin.
Walaupun Adam tidak tahu siapa laki-laki yang tetap bertahan di meja padahal sudah tahu perempuan tadi meninggalkannya dan apa hubungan lelaki itu dengan Hanin, tapi Adam tahu betul bahwa tadi itu Hanin.
Adam mengetukkan jari-jarinya ke meja sedikit lebih cepat, sedang berpikir keras apakah ia harus mengecek keadaan Hanin yang sepertinya tidak baik-baik saja itu ataukah bertahan di tempat duduknya karena Demi Tuhan, Adam sudah tidak ada hubungan apapun dengan Hanin.
Tapi lagi-lagi hatinya menolak untuk diam. Ia berpamitan kepada rekan bisnisnya dengan alasan ada kepentingan mendadak-- ya, tentu saja Hanin masih menjadi suatu 'kepentingan' untuk Adam, kan?
Adam berlari kecil untuk mencari kemana Hanin tadi pergi. Laki-laki itu berbelok ke arah lift, kemudian langkahnya memelan karena ia sudah menemukan punggung perempuan yang ia cari.Punggung itu berguncang. Apakah Hanin menangis?
Adam tetap berada di belakang Hanin tanpa berniat menunjukkan keberadaannya. Ia mengikuti Hanin yang berjalan ke arah lift. Didepannya, Hanin menunduk sambil sesekali mengusap pipinya. Mereka berdua berada di depan lift menunggu hingga lift terbuka.
Sesaat setelah Hanin mengusap pipinya yang kesekian kali, Hanin mendongak menatap lift. Kemudian perempuan itu melotot melihat bayangan laki-laki dibelakangnya. Hanin dengan cepat menoleh ke belakang dan menemukan Adam yang langsung melemparkan senyum kepadanya.
"Adam?"
Adam yang ingin menjawab sapaan tersebut sontak mengurungkan niatnya karena melihat pipi Hanin yang memerah. Bukan, Adam yakin merah di pipi Hanin bukan karena Hanin bersemu melihat Adam, tapi itu seperti.. bekas tamparan?
Adam maju selangkah mendekat pada Hanin. Tangannya terulur ke depan untuk memegang pipi tersebut, namun Hanin yang langsung mundur membuatnya menurunkan tangan lagi.
"Pipi kamu kenapa?" tanya Adam setelah menepiskan rasa kecewa karena Hanin menolak sentuhannya.
Hanin tersenyum, "gak papa. Kamu kok disini?"
Ya Tuhan, perempuan ini mengalihkan pembicaraan.
"Kamu habis kena tampar?" Adam mengacuhkan pertanyaan Hanin.
Hanin memalingkan wajah menghindari tatapan Adam, "Enggak."
Sialan, sekarang Adam yakin bahwa itu adalah bekas tamparan.
"Kamu habis ditampar sama cowok tadi?"
Hanin menoleh, "Enggak." Hanin menjawab pertanyaan Adam terlalu cepat, membuat Adam semakin yakin bahwa ada yang ditutup-tutupi dari perempuan didepannya. Adam sudah akan membuka mulutnya untuk bertanya lagi namun suara bariton yang terdengar mengerikan menginterupsi keduanya.
"Ayo pulang." ujar seorang laki-laki berjaket levis yang tiba-tiba menarik tangan Hanin.
Apa benar yang ini suami Hanin? Batin Adam bertanya-tanya.
"Mas, sebentar aku harus pamit—"
Tapi laki-laki itu tidak mendengarkan Hanin dan terus menyeret Hanin pergi meninggalkan Adam. Adam ingin diam namun ketika ia melihat Hanin yang merintih kesakitan karena tangannya dicengeram terlalu kuat oleh suaminya membuat Adam langsung berjalan dan menepis tangan laki-laki.
"Jangan kasar," tegas Adam dengan raut wajah tak suka. Matanya menunjukkan rasa tidak terima.
Hanin yang paham bahwa Adam akan kembali melanjutkan kalimatnya langsung memotong, "Mas Alfin, udah jangan diladenin. Ayo pulang."
Sekarang gantian Hanin yang berusaha menarik lengan laki-laki yang ia panggil 'Mas Alfin' itu untuk pergi. Namun terlambat. Sepertinya Alfin jadi terpancing emosi melihat Adam yang begitu lancangnya ikut campur urusan mereka. Alfin maju selangkah mendekati Adam. Alfin menyeringai melihat Adam, tatapan laki-laki itu terlihat seperti tatapan meremehkan.
"Siapa lo ikut campur urusan gue?" Alfin menelisik Adam dari atas ke bawah, "Siapa lo?"
"Lo gak tau gue?" Adam balik bertanya sambil melirik ke arah Hanin yang ketakutan. Apakah Hanin tidak pernah menceritakan tentang Adam kepada suaminya?
"Adam. Gue Adam." jawabnya tanpa mengeluarkan tangan dari saku celana.
Seringai dari bibir Alfin muncul lagi, "Adam? Oh, lo mantannya Hanin?" Alfin menoleh kepada Hanin yang berada disampingnya kemudian kembali menatap Adam, "Ada urusan apa sama Hanin? Berani-beraninya lo ngajak Hanin ngobrol berdua tanpa izin calon suaminya."
Adam langsung mengernyit. Calon suami?Mereka belum menikah? Bukannya pesta pertunangan sudah diadakan sejak 2 tahun yang lalu?
Hanin melihat Alfin mengepalkan tangannya, pertanda tak baik. Hanin langsung meju ke tengah-tengah di antara Alfin dan Adam. Ia mendongak menatap Alfin, "Mas, kita gak sengaja ketemu di lift—"
"Diem, jalang!"
Teriakan itu membuat suasana tiba-tiba sunyi dan mencekam. Jantung Adam bergejolak luar biasa mendengar panggilan yang laki-laki itu tujukan pada Hanin. Rahangnya mengeras, ia menoleh pada Hanin yang langsung menunduk tak berkutik.
Tak butuh waktu lama untuk Adam memutuskan, Adam maju dan memberikan pukulan pada Alfin. "Ngomong apa lo, anjing? Ngomong apa?!"
Tak berhenti disitu, Adam memberi pukulan bertubi-tubi di hidung dan rahang Alfin hingga Alfin kehilangan keseimbangan dan menabrak vas bunga di belakangnya.
Alfin yang jatuh di lantai membuat Adam semakin membabi-buta. Hanin berusaha mendorong Adam untuk menjauh dari Alfin namun tenaganya tidak mampu membuat Adam berhenti.
"Adam! Stop!"
Adam menoleh pada Hanin. Naas, tepat ketika itu, Alfin langsung balik menyerang Adam dan memberikan pukulan bertubi-tubi. Alfin berhasil berdiri dengan Adam yang berada di kaki Alfin.
"Stop! Stop! Alfin, stop!"
Hanin berlutut memegang kaki Alfin yang baru saja akan memberikan tendangan kepada perut Adam. Hanin menangis sejadi-jadinya. Detik berikutnya, 4 orang satpam dan beberapa orang dibelakang yang Hanin tidak tahu siapa mengerubungi mereka. Adam dan Alfin dibawa oleh para satpam meninggalkan Hanin yang sekarang menangis di pelukan seorang wanita yang memakai apron, sepertinya perempuan itu yang memanggil satpam.
Hanin terus menangis hingga tak lama kemudian..
Ia pingsan.