Hari ini, Adam menjadi topik hangat untuk para pegawai di kantornya. Adam yang dikenal sebagai pemimpin yang disiplin hari ini terlambat datang ke kantor. Tidak hanya itu, para pegawai dikejutkan dengan wajah tampan bosnya yang biru di beberapa bagian. Raut wajah yang biasanya menunjukkan aura tegas dan berwibawa pagi ini berjalan menuju ruang pribadinya dengan tampang seperti tak punya harapan hidup.
Adam duduk dikursinya sambil melamun. Kemarin setelah ia dan Alfin dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan, Adam tidak menjawab Hanin. Ia langsung pulang ke apartemennya yang ia beli didekat perusahaannya. Adam hanya tidak sengaja mendengar Alfin yang ditelpon mantan calon-ibu-mertuanya alias Mamanya Hanin yang menyuruh Alfin untuk ke rumah sakit karena Hanin pingsan.
Adam memijat pangkal hidungnya. Hanna dari semalam. Apa yang sebenarnya terjadi antara mantan kekasihnya dengan si Alfin-Alfin itu?
Emosi Adam kembali memuncak ingatkan Alfin pulang Hanin dengan sebutan jalang. Apa Alfin itu seorang psikopat atau apa? Bahkan Alfin berani menampar Hanin di restoran, di tempat umum.
Adam yakin ada yang tidak beres antara keduanya.
"Gue harus nemuin Hanin," Gumam Adam kemudian beranjak dari kursi kebanggaannya.
//
Adam sudah siap untuk mendengarkan semua hujat dan caci-makian yang akan ia dengar dari Papa dan Mama Hanin. Ia menghembuskan nafasnya sekali lagi, kemudian memberanikan diri memencet bel di samping pintu.
Tak lama, pintu dibuka dan menampilkan gambar wanita yang masih awet muda padahal usianya sudah mulai kepala empat.
Tidak pernah Adam duga sebelumnya, karena Anisa atau yang meminta Ica, Mama Hanin yang dikirim dengan ramah kepada Adam. Adam kira ia akan mendapatkan tatapan sinis karena Mama Hanin tau benar bahwa ia pernah menyakiti anak gadisnya itu.
"Adam? Sini masuk," ujar Anisa mempersilahkan.
Adam tersenyum gugup, namun tak urung melangkahkan kaki ke rumah yang dulu setiap hari ia kunjungi. Semuanya masih sama. Masuk ke rumah ini sama dengan mengembalikan semua kenangan manis antara Adam dan Hanin.
Adam tersenyum samar mengingat masa lalu mereka.
"Mau ketemu Hanin, ya, Dam?"
Adam kembali dari lamunannya, "Iya, Te. Hanin ada?"
"Kebetulan dia hari ini lagi hari libur koas. Sebentar Tante panggilin,"
Kalau dulu, dulu sekali ketika ia dan Hanin masih menjalin hubungan sebagai kekasih, sudah pasti Mama Hanin langsung mempersilahkan Adam untuk naik ke lantai atas dan membawa Hanin langsung ke kamarnya.
Adam mengedarkan pandangannya melihat dinding berwallpaper coklat s**u yang disetujui figura-figura. Mata Adam memicing melihat melihat satu foto baru yang terpasang di rumah mantan kekasihnya ini. Foto yang menunjukkan Hanin memakai gaun serba merah muda dan disampingnya ada Alfin yang memakai jas merah marun.
Cih, Adam jadi sebal lagi ingat preman satu itu.
Suara langkah kaki membuat Adam tersadar bahwa Hanin sudah berjalan mendekati arahnya.
Sudahkah Adam Dilihat selama 2 tahun Adam tidak bertemu dengan Hanin, sekarang Hanin tampak semakin cantik dan menawan?
Jika dipikir-pikir, Adam dan Hanin hanya bertemu satu kali setelah 3 tahun mereka berpisah karena Adam yang kuliah di Harvard, kemudian mereka kembali berpisah karena Hanin yang bertunangan dengan pria lain. Itu berarti mereka sudah berpisah 5 tahun lamanya. Pantas saja sekarang Hanin-nya bukan lagi Hanin yang terlihat manja dan menggemaskan. Hanin Anaya yang sekarang terlihat dewasa dan dapat dilihat, perempuan yang tampak menggiurkan karena berisi di tempat-tempat yang tepat.
Adam menggelengkan harapan mencoba fokus. Astaga, salahkan isi yang semakin bertambah tahun ini!
"Hai," sapa Adam setelah Hanin duduk diambil. "Kemarin kita belum sempet ngobrol banyak setelah bertambah-tahun gak ketemu. Kamu apa kabar?
Hanin tersenyum, "Baik. Aku denger kamu sekarang jadi CEO?"
"Denger dari siapa?"
"Bunda masih sering telfon aku."
Adam mengangguk-angguk, "Kamu sendiri sekarang koas, ya?"
"Iya. Hari ini lagi libur,"
Kemudian mereka larut dalam perbincangan tentang hal-hal kecil. Sesekali Adam menceritakan bagaimana kehidupannya yang suram sekali setelah mereka berpisah, membuat Hanin mati kutu tidak tahu harus menjawab seperti apa.
"Aku .." Adam berhenti sebentar, ia menggaruk tengkuknya yang tidak beres kemudian melanjutkan kalimatnya, "Aku bisa tau sesuatu tentang kejadian kemarin?"
Hanin diam. Tatapan perempuan itu tiba-tiba kosong membuat Adam jadi panik, "Nin?"
"Ya?" Hanin menoleh ke arah Adam dengan cepat. Seperti sadar bahwa ia baru saja melamun, "Maaf-maaf, aku ngelamun."
Adam tersenyum mengerti. Respon Hanin barusan membuat Adam semakin yakin ada sesuatu yang buruk yang terjadi pada Hanin.
Ia menatap Hanin yang sekarang sedang menunduk.
"Hanin, untuk semua yang dulu aku lakuin ke kamu, aku minta maaf."
"Aku udah maafin kamu dari lama."
Adam mengangguk mengerti, "Aku tau. Yang aku mau sekarang, apa yang bisa kita jadi teman?"
Adam harus menyusun strategi untuk membuat Hanin mau menceritakan apa yang dilakukan perempuan selama ia tidak bersama Adam. Untuk itu, hal yang paling mudah untuk dilepaskan aksinya adalah partisipasi yang diterbitkan sebelumnya. Gunanya teman saling berbagi kompilasi ada masalah, kan?
Hanin tersenyum, "Kita teman."
Jawaban Hanin membuat hati Adam tiba-tiba membuncah. Ini adalah awal yang baik baginya, mengingat bagaimana dulu Hanin sangat membenci Adam hingga akar-akarnya kemudian sekarang Hanin sudah mau menjadi temannya tentu adalah kemajuan pesat.
Hanin-nya memang berhati baik. Adam adalah b******n beruntung karena sempat memiliki gadis itu.
Sekarang, tujuan Adam adalah mengetahui semua tentang Hanin yang ia tidak ketahui. Karena bagaimanapun, gadis yang saat ini masih menempati posisi pertama di hatinya itu adalah prioritasnya. Adam tidak suka melihat Hanin terlihat menyedihkan seperti kemarin.
"Aku boleh tanya sesuatu ke kamu?"
"Apa?"
"Kamu sama Alfin belum nikah?"
Hanin menggeleng.
"Kenapa?"
Hanin mengedikkan bahunya, "Belum siap aja."
"Siapa yang belum siap?"
"Aku."
Kemudian hening. Adam harus memeras otaknya untuk mendapat jawaban. Hanin tidak siap menerima dengan Alfin. Apa karena Hanin masih mencintainya? Adam tiba-tiba tersenyum samar diselesaikan.
Adam berdeham, "Apa .. Kamu bahagia sama Alfin?" tanya Adam hati-hati.
Hanin tidak langsung menjawab. Gadis itu terlihat tertekan dengan pertanyaan Adam. Namun tak ayal Hanin berkata, "Aku bahagia."
Suara patahan terdengar dari dalam diri Adam. Memutuskan hati Adam baru saja patah.
"Kalau kamu bahagia, lalu kenapa di hotel kamu gak kelihatan senang sama dia?" tanya Adam memancing.
"Pertengkaran adalah hal yang biasa dalam suatu hubungan, kan? Aku sama kamu dulu juga sering berkelahi."
Benar juga.
Adam harus memberikan pertanyaan yang lebih spesifik lagi untuk membuat Hanin mau bercerita yang sebenarnya.
"Adam, jangan tanya apapun soal kejadian kemarin. Aku bener-bener gak pingin inget-inget itu."
Pernyataan dari Hanin membuat Adam sontak terdiam. Tapi Adam harus layak layaknya seorang teman. Jadi yang dia lakukan adalah tersenyum kemudian mengangguk dipahami, "Hanin, kalau kamu butuh tempat cerita, aku siap jadi pendengar. Aku gak ngerti kenapa aku ngobrol sama si b******k itu tapi aku yakin kamu gak senang saat sama dia."
"Dan kalau kamu butuh teman untuk ngeluarin keluh kesah kamu, lari ke aku. Aku ada buat kamu,"
Hanin tersenyum. Andai saja laki-laki itu tahu bahwa semuanya tidak semudah itu.
//