Sepenggal Kisah Masa Kecil
Sepatu khas anak balita itu berbunyi nyaring di ruang tamu sempit yang hanya ada dua buah kursi dan sebuah meja mengapit diantaranya.
"Sayang pelan-pelan nak jangan berlari terus nanti ngompol loh"
"Iya bu, Fis pelan kok" Kakinya melangkah menghampiri sang ibu yang sedang membenarkan letak jilbab yang menutupi kepala hingga d**a.
"Ibu mau belajal lagi ya, di lumah kak Mat?"
"Iya sayang, ibu sama papa mau pengajian dirumah bang Ahmad, Eins disini ya sama nenek Kris" ucap sang ibu seraya mengelus pucuk kepala anaknya lalu segera menoleh kearah sang suami yang juga sudah siap.
"Pa, Fiz boleh ikut ya?" pinta nya memohon seraya memegang ujung baju sang ayah.
Sang ayah hanya tersenyum lalu mensejajarkan posisinya dengan sang anak.
"Fiz anak baik kan? Fiz mau dapet hadiah dari papa?" tanya nya mengelus rambut hitam legam sang anak.
"Mau" ucapnya memanyunkan bibir
"Kalau gitu Fiz dirumah sama nenek Kris ya, nanti kakek John bawa oleh-oleh untuk Fiz, kalau Fiz ikut nanti nggak dapat oleh-oleh hem" ucap sang ayah lembut seraya membenarkan letak baju sang anak.
"Tapi Fiz mau main cama kak Mat, cama Una"
"Trus nenek dirumah sendiri dong, Fiz nggak kasian sama nenek Kris?" tanya sang ibu
"Nenek ikut juga boleh kan pa?" pinta nya memohon dengan mata berkaca-kaca
"Tidak sekarang ya nak, Fiz mau ketemu sama kak Son nggak?" sang nenek datang menengahi perdebatan
"Kak Son? kak Son yang anteng itu ya nek?" ucap Fritz berbinar sembari meletakkan jari telunjuknya di pelipis seolah mengingat seseorang.
"Iya kak Son yang ganteng hari ini akan datang kesini"
"Benel nek, nggak boong kan?"
"Bener nenek nggak boong"
"Asiik kak Son dateng"
"Papa sama ibu nanti bawa kue yang banyak ya buat kak Son"
"Iya papa bakal bawain kue yang buanyaaak buat Fiz dan Kak Son"
"Janji pa?"
"Janji, tapi Fiz nggak boleh nakal ya di rumah sama nenek Kris!"
"Oke"
"Ya udah ma, aku dan mas Keenan pamit dulu"
"Pergilah, hati-hati di jalan"
"Baik ma"
Nyonya Kris menatap kepergian sang anak dan menantunya dengan tatapan yang tak dapat di jabarkan, rupanya itu juga tak luput dari pandangan sang cucu.
"Nenek sedih?"
"Ah..haha nenek nggak sedih, nenek berdoa semoga Papa dan Ibu pulang dengan selamat dan bawain kue yang banyak buat Fiz"
"Oh.." Fritiz kecil mengangguk mengerti
"Oh Tuhan, anak sekecil ini begitu peka, Sarah lihatlah cucu mu dia tumbuh dengan baik, andai kau masih hidup Sarah" batin Nyonya Kris pilu seraya menatap lekat wajah menggemaskan cucunya. baru selangkah ia akan beranjak ucapan sang cucu mampu membuatnya bungkam seketika.
"Nek, kenapa Fiz nggak pernah boleh ikut papa sama ibu?" tanya Fiz seraya menarik ujung baju sang nenek.
"Ya Tuhan apalagi ini?" batin sang nenek mencoba mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang cucu.
"Nek, kenapa diam?" bocah kecil itu mendongak dengan tatapan mata yang mulai berkaca-kaca.
Nyonya Kris menghela nafas lalu mensejajarkan posisinya dengan sang cucu "Fiz, di sana nggak ada anak kecil, yang ada orang tua semua, kalo Fiz ikut nggak ada temen mainnya dong"
"Tapi Una selalu ikut abi dan umi nya nek" ucapnya sendu menundukkan kepala
"Karna Una masih kecil, nggak ada yang jagain di rumah jadi ikut abi sama uminya"
"Aku bisa kok jagain Una nek"
"Iya nenek tahu Fiz kan anak pintar, tapi usia Una sama Fiz kan beda sayang"
"Tapi Fiz pengen banget ikut papa sama ibu nek, Fiz pengen seperti abi dan uminya Una bisa ngaji, Fiz juga pengen seperti kak Mat bisa ajan (Adzan) nek, Fiz pengen kayak papa sama ibu bisa sholat hiks hiks hikkksss" tangisnya langsung pecah setelah berucap.
"Oh Tuhan, kasihan kamu nak" batin nyonya Kris pilu langsung memeluk erat Fritz kecil. air mata yang sejak tadi ia tahan pada akhirnya jatuh juga seiring dengan tangisan pilu sang cucu.
"Tuhan, biarkan aku yang menanggung karma ini jangan anak cucuku, harus sampai kapan aku bertahan dengan rasa sakit dan penderitaan yang tiada penghujung?" batin nyonya Kris
"Hikks hiksss nek, kakek datang mau bawa Fiz pergi kan?"
Duaaarr
"Oh Tuhan ujian apa lagi ini, dari mana anak ini tahu jika aku akan membawanya pergi, andai aku bisa mengulang waktu tidak akan ku biarkan anak cucuku menderita seperti ini"
"Hikks hikks nenek kenapa diam, bener kan nek kakek mau bawa Fiz jauh dari papa dan ibu hiks hiks hiks"
Deg
"Fiz.." ucapnya tertahan seraya menghapus jejak air mata di wajah sang cucu
"Fiz anak baik kan, Fiz anak yang pintar...
"Nenek akan pergi kemanapun Fiz pergi, nenek selalu ada untuk Fiz, papa dan ibu juga,.....
"Nanti kalau Fiz jadi anak pinter berprestasi papa dan ibu bakal dateng nyusulin Fiz kesana."
"Nenek bohong" Teriak Fritz
"Nenek nggak bohong Fiz, nenek janji sama seperti papa dan ibu bakal nyusulin Fiz disana"
"Kenapa papa dan ibu nggak ikut pergi bareng Fiz?"
"Karna papa dan ibu masih ada pekerjaan disini Fiz nggak bisa di tinggalin, semua papa dan ibu lakukan untuk Fiz, untuk masa depan Fiz, kalau besar Fiz mau jadi apa?"
Bocah kecil itu tiba-tiba diam menatap dalam bola mata sang nenek mencoba mencari kebenaran atas ucapan wanita paruh baya itu.
"Kalau gitu Fiz mau jadi dokter nek biar bisa obati papa dan ibu kalau sakit, biar bisa obati Una, kak Mat, Umi sama abi Jafar."
"Waah hebat cucu nenek mau jadi dokter biar bisa obati banyak orang. kalau gitu Fiz harus nurut sama nenek ya, harus patuh dan bisa banggain papa dan ibu"
"Tapi janji ya papa sama ibu nyusulin Fiz kesana"
"Janji, ya udah sekarang Fiz makan dulu trus mandi, minum s**u trus bobok siang, Oke boy?"
"Oke"
Nyonya Kris membawa sang cucu masuk ke dalam rumah dengan hati penuh kepiluan, perdebatan kecilnya dengan sang cucu mampu memporak-porandakan jiwa keibuannya.
"Oh Tuhan, beri hamba kekuatan" batinnya pilu