Hujan gerimis, bangun tidur dengan kepala yang sakit, suhu tubuh yang meningkat dan tinggal di rumah orang adalah kombinasi yang menyedihkan buat Sayda. Dengan sakit di kapala yang begitu menyiksa dia bangun dan meraba nakas lalu meminum pil pereda nyeri kepala dan penurun panas yang ada di sana. Sayda menarik nafas panjang, jantungnya berdebar keras. Hampir tujuh hari tinggal di rumah Barrium membuatnya semakin depresi dan kesehatannya semakin menurun. Semakin dia berusaha kabur dari rumah besar nan megah itu, semakin ketat pula penjagaan dalam rumah ini. Contohnya saat ini, dia tengah berada di dalam kamar Barrium. Sebelumnya Sayda ditempatkan di sebuah kamar tamu, namun karena dua kali percobaan melarikan diri membuatnya Ini adalah hukuman untuknya yang mencoba kabur pada hari ketiga.
“ Kamu sudah bangun?” Sayda menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka dan seseorang menyapanya.
“ Inu, Boy dan Mama bilang seharian ini kamu nggak keluar kamar dan tidak makan siang. Ada apa?” Lanjut suara itu lagi. Sayda mengabaikannya, dia sudah malas berdebat jika hanya bikin kepalanya tambah pusing dan hati panas karena emosi.
“ Aku nggak lapar.” Lelaki itu menghela nafas. Menghadapi Sayda kali ini memang butuh kesabaran ekstra tinggi, tapi dia akan menempuh jalan apapun agar Sayda tetap di sampingnya. Didekatinya gadis yang memalingkan wajahnya. Diletakkan punggung tanganya pada kening gadis itu.
“ Badan kamu panas.”
“ Aku sudah tahu,” jawab Sayda ketus.
“ Sudah minum obat?”
“ Sudah.”
“ Ada keluhan lain?”
“ Aku ingin pulang.”
“ Kamu sudah pulang sayang. Tempat pulang calon istriku adalah rumah keluargaku. Jadi kamu sudah pulang ke tempat yang benar.”
“ Aku bukan calon istrimu lagi dokter Barrium Latief,“ protes Sayda dengan nada sinis.
“ Aku nggak pernah salah mengenali calon pendamping hidupku, Sayda Arundati.” Sayda menatap nanar ke Barrium yang sudah memasang senyum lebar.
" Kamu buat aku tambah depresi Kak, aku mau pulang ke apartemenku."
" Kamu sedang sakit Sayda, aku nggak bisa biarkan calon istriku berkeliaran di luar sana dalam kondisi lemah seperti ini. Siapa yang akan menjaga dan merawat kamu sayang?" Sayda menghembuskan nafas dengan kuat dan memalingkan wajahnya dari Barry.
" Aku mandi dulu ya sayang, nanti kita lanjutkan lagi. “ Sayda tak menghiraukan lelaki itu. Barrium tersenyum melihat wajah Sayda yang cemberut dengan pipi memerah. Diraihnya kepala gadis itu dan dikecup puncaknya. Sayda terbeliak dan menatap marah padanya dan melayangkan sebuah pukulan mengenai lengan Barry. Barium terkekeh dan melangkah menuju kamar mandi. Sayda mengumpat dengan mata mendelik.
" Aku mandi dulu ya sayang, nanti kita lanjutkan lagi. “ Sayda tak menghiraukan lelaki itu. Barrium tersenyum melihat wajah Sayda yang cemberut dengan pipi memerah. Diraihnya kepala gadis itu dan dikecup puncaknya. Sayda terbeliak dan menatap marah padanya dan melayangkan sebuah pukulan mengenai lengan Barry. Barium terkekeh dan melangkah menuju kamar mandi. Sayda mengumpat dengan mata mendelik.
“ Dida...Dida...Dida...” Barrium menepuk lengan dan mengelus pipi Sayda untuk membangunkan gadis itu. Sayda menggumam tak jelas. Dia membuka matanya dan kaget karena wajah Barry sangat dekat sekali dengannya.
“ Apa yang kamu lakukan Kak?” Tangan Sayda menghalau wajah Barry agar menjauh dari wajahnya.
“ Kamu belum makan siang, dan ini sudah malam Dida.” Barrium memberi peringatan dengan nada cemas.
“ Aah... aku ngantuk Kak Barry,” Sayda sudah kembali beringsut masuk ke dalam selimut dan menutup matanya kembali. Barrium gemas melihat tingkah Sayda, dia berkacak pinggang lalu berkata :
“ Kamu pilih, makan atau aku cium dengan resiko lanjutannya.” Suara Barry tegas, menandakan dia tidak main-main dengan ancamannya. Seketika Sayda bangkit dari tidur dan duduk dengan tegak. Barry berupaya menyembunyikan senyum simpulnya melihat Sayda yang cemberut.
“ Aku sudah menghangatkan sup jagung dan perkedel daging ini. Ayo Aa...” Barry menjulurkan sendok di depan bibir gadis itu, namun gadis itu masih cemberut dan mengunci bibirnya. Barry kesal, dia sudah menunggu cukup lama.
“ Kamu pilih, makan atau aku cium dengan resiko lanjutannya.” Suara Barry tegas, menandakan dia tidak main-main dengan ancamannya. Seketika Sayda bangkit dari tidur dan duduk dengan tegak. Barry berupaya menyembunyikan senyum simpulnya melihat Sayda yang cemberut.
“ Aku sudah menghangatkan sup jagung dan perkedel daging ini. Ayo Aa...” Barry menjulurkan sendok di depan bibir gadis itu, namun gadis itu masih cemberut dan mengunci bibirnya. Barry kesal, dia sudah menunggu cukup lama.
“ Sayda, kamu pilih makanan ini aku suap pakai tangan aku atau mulutku?” Sayda menatapnya tajam penuh kebencian. Dirampasnya mangkuk berisi sup jagung lalu dimakannya sup itu dengan cepat sambil melemparkan penuh amarah ke Barry. Barry memperhatikan dengan seksama. Karena makan yang terburu-buru membuat Sayda tersedak. Dia terbatuk hingga mengeluarkan air mata. Barry mengelus punggung dan menepuk bahunya lalu menjulurkan gelas berisi air putih pada Sayda. Gadis itu menaruh mangkuknya di meja dan meneriam uluran gelas dari Barry.
“ Makanya, kalau makan itu jangan sembari marah-marah.” Sayda melirik sinis dan terbatuk kembali.
“ Ayo dihabiskan supnya, itu tinggal sedikit lagi.”
“ Aku sudah kenyang Kak.”
“ Kalau begitu pisangnya dimakan, “ perintah Barry. Sayda menggeleng.
“ Atau aku suap dengan mulut ya,” ancam Barry yang disambut mata melotot oleh Sayda. Sayda bersanandika, “Ya Tuhan...apa yang menyebabkan dahulu aku bisa begitu mencintainya ya hingga kehidupanku bisa terjebak di sini?Seandainya aku tahu dari dulu dia semenyeramkan dan menyebalkan seperti ini, sudah dari dulu aku lari menghindarinya.”
“ Sayda mengambil buah pisang di matas nampan dan memakannya.”
“ Sudah baca doa dulu kan Da? Jangan makan sembari marah nanti tersedak lagi lho.”
" Kamu mau ngapain Kak?" Tanya Sayda kepada Barry.
" Tidurlah, mau ngapain lagi? Hem... atau kamu mau aku apa-apain?" Sayda berdecak kesal, melihat kekehan dan lirikan nakal Barry yang diberikan padanya.
" Bisa nggak kita tidur di kamar yang berbeda?"
" Memangnya kamu mau tidur dimana?"
" Di apartemenku lah."
" Sayda jangan main-main denganku." Barrium melemparkan tatapan mengancam.
" Ya paling nggak ijinkan aku tidur di kamar tamu. Boleh ya?" Barry berdehem.
" Kamu ditempatkan di kamar tamu kemarin sudah melakukan dua kali percobaan kabur dari aku. Makanya aku tempatkan di sini supaya aku bisa mengawasi langsung."
" Tapi aku nggak nyaman."
" Cepat atau lambat aku akan jadi suami kamu, Dida. Jadi kamu harus mulai menyesuaikan diri."
" Kak, kamu apa tidak khawatir kalau kita tidur di kamar yang sama, apalagi seranjang empat hari ini?" Barry menatap bingung.
" Kenapa harus cemas?"
" Iih...pake nanya lagi. Kalau kita digrebek warga, pak RT dan hansip bagaimana?" Barry mengerutkan kening dan mengangkat bahu.
" Mengapa digrebek?"
" YA KARENA KITA DIANGGAP KUMPUL KEBO, TUAN BARRIUM YANG TERHORMAT!" Teriak Sayda tak sabar dengan nada campuran gemas dan marah.
" Jadi kita akan dihukum ?"
" YA IYA LAH..." Teriak Sayda. Sayda bertanya dalam hatinya apakah manusia di hadapannya ini terlalu lama berada di luar negeri hingga dia melupakan norma dan budaya negerinya atau pura-pura tidak tahu?
" Trus, kita akan menjalani hukuman apa?" Tanya Barry dengan wajah tak bersalah.
" Dipanggilkan penghulu dan dipaksa nikah. Mau kamu begitu?"
" WOW... tentu saja mau. Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin?"
" HAH? KAMU MAU NGAPAIN?" Teriak Sayda panik melihat Barry dengan raut gembira mengambil telepon dan terlihat sibuk.
" Ya aku mau cari tahu nomor ponsel pak RT lah. Memberitahukan kalau kita sudah kumpul kebo selama empat hari dan supaya dia segera mendatangkan penghulu sekalian. Lagian kelengkapan administrasi pernikahan kita juga sudah lengkap semua." Barry berkata santai dan masih asyik memainkan ponselnya.
" YA TUHAAANN..." Sayda reflek bangkit dan mengejar Barry lalu merampas ponsel yang dipegang pria itu, beberapa detik kemudian membantingnya ke lantai dengan sangat keras. Ponsel itu hancur berkeping-keping. Barrium Latief terperangah dengan aksi impulsif Sayda.
" A...a...apa yang kamu lakukan Sayda? Salahku apa?"
" Kamu benar-benar gila ya Kak. Kamu mau kita dipaksa kawin? Kamu nggak tahu sanksi moral yang masyarakat akan berikan pada kita itu sungguh amat kejam.
" Aku nggak peduli, yang penting secepatnya kamu jadi milikku Sayda."
" Ya Tuhan ampuni aku..." Sayda berujar penuh frustasi.
" Dida, apa sih salahnya ponselku sampai kamu benting seperti itu? Itu mahal lho harganya." Sayda mencibir ke arah pria itu.
" Kamu, sudah punya lima cabang rumah sakit nggak sanggup beli ponsel baru yang lebih mahal dari yang kubanting?" Sayda menatapnya miring penuh kesinisan. Lunglai gadis itu berjalan kembali ke tempat tidur membaringkan tubuh lalu menyelimuti seluruh tubuhnya dalam selimut. Rasanya sudah sangat frustasi dan konfrontasi ini sudah menghabiskan terlalu banyak energi. Barry hanya memandanginya.
Barrium tersentak dalam tidurnya menyadari suara Sayda mengigau. Gemerutuk giginya yang saling beradu dan tubuhnya yang mengigil menandakan suhu tubuhnya amat tinggi. Barrium dengan sigap mengambil peralatan dan memeriksanya. Suhunya hampir empat puluh satu derajat. Barry mengambil plester kompres penurun panas dan ditempelkan pada kening Sayda. Dia terus memantau perkembangan Sayda dari layar hologramnya. Sayda masih terus mengigau. Barry menmembaringkan badan di samping Sayda dan memeluknya. Badan Sayda yang terasa panas pada awalnya berangsur-angsur menurun.
******
Sayda terbangun dan mendapati lengannya sudah terpasang selang infus. Perlahan dicobanya untuk duduk, kepalanya berdenyut hingga dia harus memejamkan matanya. Pintu kamarnya terbuka. Seorang wanita berpakaian perawat menghampirinya.
“ Ibu sudah bangun?” Sayda menoleh.
“ Kamu siapa?”
“ Perkenalkan Bu, saya Sulistyowati atau panggil saja Wati. Saya perawat dari rumah sakit yang ditugaskan dokter Barrium Latief untuk merawat ibu di rumah.” Sayda menyambut uluran tangannya.
‘ Sayda, atau kamu bisa panggil saya Dida tanpa embel-embel Ibu. “
“ Maaf Bu, saya tidak berani kok jadi terkesan tidak sopan ya. Mengingat Ibu adalah istri direktur utama saya.”
“ Masih calon Wati. Usia kamu berapa sih?”
“ Dua puluh tiga tahun.”
“ Nah kan, Cuma selisih dua tahun aja kok. Panggil saja Dida ya. Kalau kamu panggil Ibu kesannya saya kok tua sekali.
“ Sebaiknya ibu sarapan dulu ya. Tunggu sebentar saya siapkan ya Bu.
“ Eh Wati, tidak usah. Saya mau makan dulu. Bisa kamu lepaskan selang infus ini?”
“ Mungkin ibu harus menunggu dua jam lagi ya menunggu cairan infusnya habis dulu. “ Sayda menghela nafas panjang.
“ Oke.”
“ Selamat Pagi sayang.”
“ Selamat Pagi Ma.” Sayda tersenyum. Nisrina menghampiri gadis itu lalu memeluk dan menciumnya.
“ Barry mengatakan kamu tadi malam kamu demam tinggi dan membuat dia hampir tidak tidur.”
“ Benar kah?”
“ Iya, lalu bagaimana keadaanmu sekarang? “
“ Sudah jauh lebih baik, Ma.”
“ Masih pusing?”
“ Kadang-kadang saja. “
“ Tekanan darah bu Sayda masih rendah Nyonya, sehingga menyebabkan pusing bahkan mudah pingsan.” Wati sudah memasuki kamar membawa nampan makanan. Nisrina membantu Sayda untuk duduk, kemudian Wati meletakkan meja makan lipat di atas ranjang dan meletakkan mangkuk di sana.
“ Kata Barry kamu suka bubur ayam ya, jadi Mama buatkan subuh tadi.”
“ Mama yang buat sendiri?”
“ Ya, kenapa memangnya. Makanya dimakan dong, coba cicipi masakan Mama enak atau nggak.” Sayda menatap sendu pada Nisrina.
“ Kamu kenapa Sayda?”
“ Ma, Mama nggak perlu seperti ini lho Ma. Aku udah ngerepotin Mama, Papa dan semuanya ya. “
“ Sama sekali nggak merepotkan kok, toh kamu bukan orang lain─ calon istri anak bungsu Mama, Barry.” Nisrina tersenyum, matanya berbinar penuh cinta. Entah mengapa sebuah dilema menyapa benaknya membuat nafsu makannya hilang.
“ Kenapa berhenti makannya? Nggak enak ya?”
“ Enak kok Ma, ini aku makan lagi nih.”
“ Nah, gitu dong . Itu baru anak cantik Mama Nisrina.” Nisrina terkekeh.
“ Ma...”
“ Hem...”
“ Mama kan tahu, Dida dan Kak Barry kemarin ada masalah.”
“ Dida, setiap pasangan punya masalahnya sendiri-sendiri. Masalah itu hadir, kalau tidak di awal pernikahan, ya di tengah atau malah ada di saat usia lanjut dan sudah memiliki banyak cucu. Apalagi kalian yang baru mau memulainya. Krikil-kerikil tajam menuju rumah tangga itu mah sudah biasa. Kalian harus kuat, berpegangan tangan. Tendang saja kerikilnya bersama.” Sayda menatap Nisrina lama dan meletakkan sendok dan garpunya.
“ Seandainya Dida yang nggak kuat bagaimana? Kesalahan yang dibuat Kak Barry kemarin itu...rasanya...”
“ Sulit untuk dimaafkan?” Nisrina melayangkan tatapan menyelidik pada Sayda. Gadis itu tertunduk.
“ Dida... Barry anak Mama itu cuma lelaki biasa, dia manusia pada umumnya yang banyak salah. Mama tidak membenarkan tindakannya. Kejadian kemarin itu bukan salah dia sepenuhnya. Mama yakin itu jebakan sayang.”
Sayda diam dan tertunduk.
“ Mama tahu kamu kecewa, terluka dan masih marah pada Barry. Mama pun jika ada di pihakmu akan sama. Tapi jika Tuhan saja Maha pemaaf, kenapa kamu tidak mencoba memaafkan Barry, Da?”
“ Ma, Dida sudah maafkan Kak Barry. Cuma untuk bisa bersama seperti dulu lagi, Dida nggak bisa Ma. Dida sayang sama Papa, Mama, Opa, Oma tapi untuk menjadi pasangan kembali itu sulit. “
“ Kami juga sayang kamu Nak. Berulangkali Mama sudah bilang kalau kamu adalah wujud anak perempuan yang Mama selalu idamkan. Sayda, Mama tahu betul anak Mama. Barry itu benar-benar mencintaimu. Dia stress sekali dan berantakan kemarin ketika kamu lari meninggalkannya. Nggak masuk kerja dan melupakan kewajibannya Cuma untuk mencari kamu. Mama mohon sekali padamu, tolong terima kembali anak Mama, jangan tinggalkan dia Nak. Dia benar-benar hancur kehilanganmu.” Sayda menelan ludah dengan susah payah.
“ Kamu mau Mama suapi?” Sayda menggeleng. Diambilnya mangkuk bubur dan berjuang untuk menghabiskannya walau perutnya terasa sudah penuh, demi menyenangkan Nisrina.
“ Ma... aku boleh keluar? Aku bosan di dalam kamar dan hanya tiduran.”
“ Boleh tapi pakai kursi roda ya. Sekarang selesaikan makanmu dulu, biar perawat yang bantu kamu membersihkan diri. Mama tunggu di bawah nanti kita berkeliling di taman belakang saja.” Sayda mengangguk tanda setuju. Nisrina tersenyum lebar dengan hati yang cukup puas karena misinya sejauh ini berhasil.
******