Sayda sudah berganti pakaian dan memakai riasan tipis di wajahnya. Puas sekali rasanya mandi hampir satu jam. Seperti membayar hutang dua hari nggak mandi karena sakit. Begitu pintu kamar nya dibuka, empat orang telah menantinya, membuat Sayda terkejut.
" Kalian sedang reuni ya? Kok ngumpul di depan kamar?" Tanya Sayda iseng.
" Kami sedang menunggu Ibu," jawab Inu. Pria muda tegap dengan rambut cepak dan kulit bersih. Wajahnya mengingatkan pada artis Korea. Sayda menoleh kiri dan kanan lalu membuka kamar lagi menolehkan kepala mencari sesuatu.
" Ibu mencari apa?" Tanya Wati kembali. Sayda mengeritkan kening seolah teringat sesuatu.
" Lha kalian tadi memanggil Ibu itu ditujukan untuk siapa?"
" Untuk Ibu Sayda, "ucap Boy yang membuat Sayda tersentak dan menunjuk dirinya.
" Jadi kalian tadi menyebut Ibu itu pada saya?" Keempat orang itu mengangguk. Sayda menepuk keningnya.
" Bisa nggak kalau kalian panggil saya dengan Sayda atau Dida saja?" Mereka kompak menggelengkan kepala.
" Maaf Bu, kami tidak berani berlaku tidak sopan." Jawab Boy. Sayda menatap mereka satu per satu.
" Kamu siapa?" Tanya Sayda menunjuk pada wanita di sebelah Wati.
" Perkenalkan Bu, Saya Meliana teman Wati. Kami akan bergantian dua hari sekali menjaga dan merawat Ibu. " Sayda menerima jabatan tangan dari Meli.
" Berapa banyak perawat yang dipekerjakan dokter Barry untuk menjagaku?" Kedua gadis itu saling bersitatap lalu mengangkat bahu.
" Yang kami tahu hanya Wati dan Meli saja Bu." Boy yang paling senior menjawab dengan sopan. Sayda menghela nafas dan Inu sudah menyodorkan kursi roda ke depannya.
“ Maksud kamu apa Nu?”
“ Pesan Bapak tadi kalau ibu mau keluar berjalan-jalan bersama Nyonya, harap menggunakan kursi roda.” Sayda menatap Inu dengan kesal.
“ Saya masih bisa berjalan dengan baik Nu. Kalian lipat saja kursi rodanya. Jika nanti saya sudah kepayahan baru saya menggunakannya.” Mereka mengangguk dan mengikuti gadis itu dari belakang. Mungkin seperti ini rasanya menjadi tawanan, pikir Sayda. Gadis itu melenggang santai menuruni tangga, bertingkah seolah dia sehat dan tidak kritis seperti tadi malam.
“ Nah ini dia baru turun. Kamu cantik sekali, Da.” Nisrina mencium pipi Sayda. Keduanya kemudian berjalan bersisian sambil berbincang hangat diselingi tawa lepas keduanya. Siapapun yang melihat interaksi yang terjadi di antara mereka pasti akan tersenyum.
“ Jadi kamu suka anggrek? “
“ Bunga favorit aku tuh Ma.”
“ Tapi kemarin dulu Barry bolak-balik kirimin mawar lho ke apartemen kamu.”
“ Mawar?” Sayda mengernyit lalu mengangkat kedua bahunya.
“Kamu nggak tahu?” Tanya Nisrina yang dijawab gelengan Sayda.
“ Kamu tinggal dimana sih selama ini sayang?” Tanya Nisrina penuh selidik. Sayda tertawa pelan dia enggan menjawabnya dan memilih mengalihkan perhatian.
“ Ini larutan untuk mandikan anggreknya hanya dikasih vitamin B1 cair saja Ma, nggak dikasih sedikit fungisida juga?”
“ Hem...boleh lah. “
“ Kenapa kamu paling suka sama anggrek?” Tanya Nisrina.
“ Karena bunganya indah sekali Ma. Menurutku anggrek itu seperti ratunya bunga. Mama lihat deh ini Phalaenopsis ini warnanya hanya putih pada sepal dan petalnya, lidahnya pun kuning. Kalau dilihat paduan putih dan kuning ini pucat, tapi menurut Dida dia tetap cantik dengan kesederhanaannya, lembut dan terlihat elegan walau warnanya tidak mencolok atau norak. “ Nisrina tersenyum penuh arti.
“ Tanaman anggrek itu cantik karena bunganya, kalau udah tinggal batang aja tanpa daun seperti dendro yang itu tuh nggak ada bagus-bagusnya. Ngerawatnya susah lagi.” Nisrina berujar sambil menunjuk pot anggrek yang tinggal batangnya saja.
“ Justru di situlah tantangannya merawat anggrek. Meskipun terlihat gundul tapi dia eksotis lho Ma. Terkadang tanaman memang menggugurkan daunnya untuk menumbuhkan anakan baru atau bunga. Biasanya yang seperti itu karena dia kekurangan nutrisi dan air, juga penempatan tanaman di daerah yang terkena paapran sinar matahari cukup tinggi. Bisa juga karena stress, makanya perlu perawatan. Dida pernah nih punya anggrek trus ditinggal hampir dua bulan magang ke luar negeri, saat pulang kondisinya sudah gundul seperti seperti itu. Ya sudah mulai lah perawatan, dikasih pupuk slow release, lalu semprotnya dikasih vitamin B1 dan pupuk daun. Pokoknya berselang-seling lah sama hormon alami. Aku pakai air kelapa buat hormon alaminya, Ma. Tak lama tumbul tunas. Awalnya sih dikira akar atau calon batang baru ternyata batang untuk bunga itu lho Ma. Wah...senengnya kayak dikasih hadiah mobil mewah deh rasanya.” Sayda mulai ramai bercerita membuat senyum di bibir Nisrina makin merekah. Sayda masih terlibat obrolan seru tentang anggrek dan tanaman sembari bekerja bersama Nisrina di kebun anggreknya. Empat orang yang ada di sana ikut terlibat dalam keceriaan kegiatan mereka.
“ Waah ternyata kalian di sini to.” Sayda dan Nisrina menoleh.
“ Pagi Ma.” Mona mulai menyapa.
“ Hey Pru, Mona ayo ke sini.” Maka Pruistin dan Mona pun mendekat.
“ Kalian sama siapa?”
“ Ramdan Ma," ucap Pru.
" Ya sudah, Sayda sudah ada yang menemani jadi Mama mau ke belakang dulu. Titip Dida ya Mon, Pru. Dijaga lho, nanti kalau kabur lagi kasihan Barry." Nisrina berkata pelan dan mengedipkan mata ke dua gadis itu sebelum beranjak pergi.
" Oh ya Da, Mama habis panen pumpkin, punya ide mau dibuat apa?"
" Dibuat cendol, kue talam, cake atau donat juga enak Ma."
" Bagaimana caranya?"
" Hem... pumpkin-nya dikukus dulu aja ya Ma. Nanti Dida yang mengerjakan. "
" Oke," Nisrina tertawa lalu meninggalkan mereka.
" Jadi...?" Mona menyenggol pinggulnya dengan maksud menggoda.
" Jadi kamu udah baikan sama Barry, Da?" Lanjut Pruistin.
" Kata siapa?"
" Kata aku barusan saja, Da."
" Aku cuma punya masalah sama Barry kan, bukan dengan semua penghuni rumah ini dan keluarganya? Masak karena masalah Barry, Papa, Mama, Bang Radi yang nggak salah ikut kena juga akibatnya? Ya nggak gitu lah."
" Hem...trus masalah kamu sudah diselesaikan?" Selidik pru lagi.
" Aku sih maunya diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tapi Kak Barry selalu menolak."
" Penyelesaian seperti apa yang kamu usulkan?"
" Aku mau putus dan segera pergi dari hidup Kak Barry, tapi dia marah dan malah menghukumku."
" Kamu dihukum sama Barry? Kamu nggak apa-apa?" Tanya Mona cemas sembari mengamati sekujur tubuh Sayda.
" Kamu dihukum apa sama Bang Barry?"
" Aku dikurung di kamarnya."
" Jadi kamu sudah tidur sama Barry, Da?" Mona yang kelepasan ucapan segera mendapat pukulan dari Sayda.
" Sakit Da. Kamu sudah .... dengannya?" Sayda melotot melihat Mona memberi kode berhubungan intim dengan jarinya.
“ YA NGGAK LAH... YANG BENAR SAJA. KAMU PIKIR AKU w************n?” Teriak Sayda judes. Mona dan Pruistin tergelak geli. Sayda menarik tangan kedua sahabatnya dan dibawa menjauh dari empat orang yang sejak tadi mengawasi mereka.
“ Kalian harus bantu aku keluar dari sini. Barry gila, dia nggak ijinkan aku kemana-mana. Dua kali aku mencoba melarikan diri tapi nggak berhasil. “
“ Jadi, karena itu kamu dihukum?” Tanya Mona dan sayda mengangguk.
“ Iya. Pokoknya kalian harus bantu aku cari strategi yang tepat untuk keluar dari sini. Aku nggak mau di sini. Aku nggak tahan dekat dengannya. “
“ Jadi keberadaan mereka itu untuk mengawasi kamu?” Pruistin memberi kode dengan dagunya dan Sayda mengangguk.
“ Hai, ngerumpi apaan sih? Kok aku ditinggal?” Semua menoleh ke arah Ramdan.
“ Hallo Dan, kangen lama nggak ketemu kamu. Gimana kantor, kok aku kangen diomelin Bu Florin ya? Apa kabarnya Titan Dan?” Sayda menyapa Ramdan dan memeluknya.
“ Alhamdulillah semua baik. Mereka titip salam buat kamu. Tadinya aku udah bayangkan kondisimu yang menyedihkan, memilukan dan bikin hati teriris. Ternyata kamu baik-baik saja, sepertinya sudah bisa beradaptasi dalam sangkar emas. Ah, lega aku Da. Eh, ini aku bawakan laptop kamu yang tertinggal di rumah bu Florin." Ramdan berkata santai sambil tersenyum. Sementara Sayda sudah melotot dan jari telunjuk di depan bibirnya tanda memperingatkan. Sejenak Ramdan bingung. Sayda menarik tangannya.
" Kalian mau bantu aku masak kan? Kita ke dapur yuk..." Ajak Sayda sambil menarik tangan Ramdan lalu diikuti Mona dan Pruistin.
“ Dida aku harap bersabar dulu, sementara kami akan menggodok bagaimana cara yang paling efektif membawa kamu keluar dari sini segera. Nanti kami beritahu di grup. Kita diskusi saja ke sana. Aku atau Mona akan bergantian datang mengunjungi kamu tiap hari sembari memantau celah yang bisa digunakan.” Ujar Pruistin tegas. Sayda mengangguk tanda setuju.
“ Ayo kuenya dicicipin dulu.” Sayda menyuguhkan beberapa kudapan dan minuman hasil karya mereka.
“ Sumpah Da ini enak banget. “ Ramdan menikmati gigitan pertama donat isi sosisnya yang nikmat.
“ Cake ini juga dahsyat banget. Pantesan Bang Barry nggak mau ngelepasin kamu kalau makanan yang kamu buat semenakjubkan seperti ini,” ucap Pruistin kagum.
“ Bagaimana sudah matang belum kuenya?” Nisrina tiba-tiba datang.
“ Mama bisa cobain semua buatan Dida. Kue talamnya enak sekali, manisnya pas. Pudingnya juga tidak terlalu manis. Donat sama cakenya kau belum coba. Aku lumayan dapat banyak pelajaran memasak hari ini.“ Ungkap Mona dengan gembira.
“ Ibu beruntung dapat calon menantu seperti Dida,” ucap Ramdan.
“ Kalau itu sih saya sudah tahu dari dulu. Lho itu masih ada sisa pumpkin yang sudah direbus untuk apa?”
“ Buat sarapan besuk saja ya Ma. Mau Dida buat kue lumpur dan biskuit.”
“ Oke, kalian lanjutkan lagi saja ngobrolnya. Mama mau ke depan dulu.”
Untuk pertama kalinya Sayda benar-benar merasa terhibur dengan kebersaman mereka. Sejenak Pru dan Ramdan sibuk bercerita tentang kondisi tempat bekerja mereka. Meskipun Sayda tidak masuk kantor, namun semua tugasnya diselesaikan dengan baik di rumah kemudian dikirim menggunakan surel.
Sayda baru saja mengambil puding di dalam kulkas kemudian memberi fla untuk dihidangkan di atas meja makan. Badannya menegang ketika pelukan erat dan hembusan nafas hangat menerpa belakang telinganya. Aroma parfum khas pria yang sangat dikenalnya, Barry.
“ Aku langsung ke sini begitu kucium aroma lezat kudapan bercampur dengan aroma wangi tubuh istriku.” Barry mengecup pipi Sayda yang sudah melotot siap berontak, namun gelengan pelan kepala Ramdan dan Pru mengingatkannya kalau dia harus mulai bersandiwara.
“Kami pamit dulu ya Da, Abang. Takut kalau kelamaan nanti Bu Florin tambah panjang ngomelnya. Ayo Da,” Pru berinisiatif mengajak Ramdan segera angkat kaki dari sana.
“ Aku pulang dulu ya Da, tenang aja besuk aku ke sini lagi kok. Cepat sembuh ya.” Mona melambaikan tangannya.
Kini, tinggal Sayda dan Barrium yang berada di dapur. Sayda membuat gerakan mendorong hingga jauh dari jangkauan Barrium dan mengupayakan sibuk membereskan meja dan perlengkapan makan yang kotor.
“ Mau teh atau kopi ?”
“ Teh boleh lah...” Sayda dengan sigap membuatkan secangkir teh dan diletakkan di meja. Barry menyeruputnya perlahan lalu menatap Sayda dengan penuh cinta.
“ Terima kasih sayang. Aku senang kalau kamu seperti ini sayang. Sepertinya teman-teman kamu yang datang membawa pengaruh postif buat kamu.” Ucap Barrium.
*****
Barrium baru saja memasuki rumah dalam keadaan sepi. Boy serta Meli mengangguk dan mendekatinya.
“ Bagaimana?” Tanya Barry pada Boy.
“ Aman, sejak tadi Ibu ada di dalam kamar Tuan.” Boy menjelaskan kondisi Sayda.
“ Dia sudah makan dan minum obatnya?”
“ Sudah Dok, saya bisa pastikan itu.” Meliana perawat yang menjaga Sayda kembali melengkapi laporan mereka malam itu.
“ Ya sudah kalian bisa beristirahat sekarang. Selamat malam.” Barry mengangguk dan berjalan menuju tangga.
Barry membuka kamar dan menyalakan lampu utama, keningnya berkerut begitu mendapati tempat tidurnya kosong dan dalam keadaan rapih. Dia melangkah ke arah kamar mandi dan tak mendapati Sayda di sana. Lalu berjalan memasuki walk in closet miliknya juga menemui hal yang sama. Rahangnya mengeras dan dengusan marah keluar dari mulutnya. Dengan cepat dia berjalan keluar kamar dan kaget melihat Boy akan mengetuk pintu kamarnya.
“ Mau apalagi kamu?” Sentak Barry dengan suara keras.
“ Maaf Pak, saya mau memberitahu kalau Ibu tidur di kamar tamu.” Barry mengacak rambutnya.
“ Kenapa kalian biarkan?”
“ Tadi nona Pru datang dan mengusulkan agar Ibu tidur di kamar tamu saja pada Tuan dan Nyonya besar. Mereka mengijinkannya. “
“ Ya sudah kamu pergi saja sana.” Barry berkata dengan nada jengkel sambil terus melangkah ke kamar tamu. Lampu kamar tamu itu masih terang benderang. Sayda tampak tidur sembari duduk bersandar pada bantal-bantal besar. Di depannya terdapat meja lipat dan terdapat laptop di atasnya dalam kondisi menyala. Beberapa berkas dan ponsel berserakan hampir di seluruh ranjang.
“ Kamu di sini rupanya,” Barry tersenyum mendekati ranjang. Dipandanginya wajah kekasihnya lama, “ meski dalam keadaan tidur pun dia dalam keadaan cantik lalu bagaimana aku bisa berpaling darinya?” Barium bersenandika.
Diangkatnya meja dengan laptop itu, diteliti file berkas yang sedang dikerjakan kekasihnya di simpan datanya lalu laptop dimatikan. Beberapa berkas yang bertebaran dikumpulkannya sembari dibaca sekilas lalu diletakkan di atas meja. Barry membuka jas dan dasinya lalu diletakkan begitu saja pada kursi sofa. Barry Mendekati ranjang, membetulkan posisi Sayda agar bisa tidur nyaman. Sayda tergugah dan bergumam, gadis itu membuka sedikit matanya.
“Kak Barry apa yang kamu lakukan?”
“ Ayo pindah ke kamar kita.”
“ Hem...nggak mau aku capek sekali hari ini. Aku mau tidur.” Sayda bergerak menghalaunya dan bergeser memunggunginya. Barry tersenyum dan berjalan pada sisi yang berlawanan. Direbahkan tubuhnya di samping gadis itu sambil memeluknya. Posisi mereka saling berangkulan. Dikecup puncak kepala gadis itu berulangkali, tak ada perlawananan sedikit pun. Sayda sudah terlelap dalam mimpi.