Anara mengerjakan satu persatu proposal yang menumpuk di depannya, mengingat ada beberapa meeting hari ini, makanya gadis itu harus segera menyelesaikan semua pekerjaan tepat waktu. Waktu menunjukkan pukul sebelas pagi. Rasa hati ingin makan siang, Anara malah kelimpungan kebanyakan pekerjaan.
Suara pintu diketuk membuat Anara menoleh, mempersilakan sekretarisnya yang masuk membawa seorang wanita berusia lima puluh tahun. Nyonya Eva, mamah dari Anara. Orang yang mengandung Anara selama sembilan bulan lamanya. Orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan Anara. Orang yang selalu merawat Anara sampai sebesar ini.
"Anak nakal! Kamu dua bulan gak pulang ke rumah kenapa coba? Mamah sama papah kirim pesan ke kamu juga gak pernah dijawab! Mau jadi anak durhaka kamu?" sembur Nyonya Eva membuat Anara menutup telinganya rapat-rapat. Kalau urusan bertengkar dengan sang ibunda, Anara memilih diam saja. Takutnya nanti durhaka.
"Kenapa gak pulang coba? Kamu gak kangen sama mamah sama papah?" tanya ulang Nyonya Eva.
Anara hanya membalas pertanyaan tersebut dengan cengiran khasnya sejenak. "Hehe, maaf, Mah. Anara lagi sibuk urusan kantor, mamah tau sendiri gimana capeknya ngurusin semua ini. Mamah tenang aja, Anara kangen sama mamah sama papah, kok."
"Alasan! Kalau kamu sibuk juga masih sempat online, kamu masih bisa buat status di ponsel, kenapa gak balas pesan dari mamah sama papah coba? Mau mulai melawan kamu?" Salah lagi, astaga. Seharusnya memang Anara menjawab yang sesungguhnya saja. Anara malas pulang ke rumah karena terus diterkam pertanyaan yang sama setiap saatnya.
"Duduk dulu, Mah! Gak capek apa berdiri mulu? High heels mamah aja capek noh," lawak Anara yang berusaha mencairkan suasana.
Eva itu wanita yang masih terlihat awet muda. Ibu-ibu sosialita pada umumnya. Memakai perhiasan yang mewah, baju yang indah, high heels juga seperti anak muda. Pokoknya gaya yang dipakai Eva itu mantap abis. Anara saja sampai geleng-geleng dibuatnya.
"Kamu itu bisa aja! Pokoknya mamah gak mau tau, ya, kamu nanti harus pulang ke rumah! Kalau kamu gak pulang ke rumah gak akan mamah anggap sebagai anak. Awas aja!" Menyebalkan, bisanya hanya mengancam. Maha benar ibu beserta semua ancamannya.
"Tapi, Mah. Anara ada acara nanti sore, Anara mau main juga nanti malem. Anara gak bisa pulang ke ru—"
"APA? Mau mamah cap sebagai anak durhaka?" potong Eva dengan mata yang membelalak sempurna.
Anara hanya menggeleng. Tidak akan, Anara tidak mungkin menjadi anak durhaka. "Iya, Mah. Nanti malem Anara pulang ke rumah, kok. Mamah tenang aja. Kapan sih Anara bohong ke mamah sama papah iya, kan?"
"Sering. Bilangnya pulang ke rumah hari ini, hari itu, tapi gak pulang sampai berbulan-bulan. Lupa sama jalan rumah kamu?" Kena lagi. Memang berdebat dengan ibu itu selalu terpojokkan. Jangan sekali-kali seperti ini.
"Sampai mamah kira kamu udah lupa arah jalan pulang ke rumah," sindir Nyonya Eva kembali.
Anara yang notabenenya merasa bersalah hanya terdiam. Terserah mamahnya saja lah, Anara menurut. Anara tidak mungkin durhaka lagi, kok.
"Mamah mau ada arisan, awas aja kalau kamu gak pulang ke rumah, mamah pecat dari kartu keluarga kamu! Oh iya, biar nanti mamah kirim supir supaya jemput kamu. Mamah bilangin ke satpam untuk nahan mobil kamu. Inget, ya, pulang ke rumah!"
"Iya, Ndoro. Siap! Terserah mamah aja."
Yang benar saja, Anara tersiksa sungguhan jika seperti ini jadinya. Seperti anak kecil yang dikirimkan supir, ditahan mobilnya, dan banyak lagi lainnya. Nyonya Eva itu ibu yang keras. Tidak bisa diganggu gugat apa yang sudah menjadi keinginannya.
"Mamah arisan dulu!"
***
Anara sedang berada di kantin perusahaannya. Gadis itu menyeruput teh hijau di sore hari setelah menyelesaikan satu meeting dengan klien penting. Masih ada satu meeting lagi nanti. Saat ini pukul empat sore, suasana di ibu kota sedang hujan. Sangat pas bukan untuk menyeruput teh?
Jemarinya tak henti-hentinya mengetuk di meja, memikirkan berbagai pertanyaan yang ada di benak. Jika nanti Anara kembali, pasti kedua orang tuanya akan menanyakan mengenai pertunangan, pernikahan, pacar, kekasih, dan banyak lagi lainnya. Seolah pernikahan adalah sesuatu yang biasa saja. Padahal pernikahan adalah sesuatu yang sakral.
Satu jawaban atas pertanyaan mengapa Anara memilih tidak tinggal di rumah dan memilih tinggal di apartemen sendiri? Alasannya karena Anara bosan mendengar pertanyaan yang sama setiap waktunya. Anara sedang melakukan ini, ditanya. Anara sedang melakukan itu, juga ditanya.
Sering sekali Anara sedang membalas pesan singkat dari Mikhaella, pesan tersebut sangat lucu sehingga Anara tertawa di ruang keluarga. Kedua orang tuanya yang melihat Anara seperti itu langsung menanyakan banyak hal. Katanya Anara sedang jatuh cinta lah, katanya Anara sedang berpacaran lah, katanya Anara menyembunyikan hubungan lah, banyak lagi lainnya.
Gila, masa iya Anara berpacaran dan jatuh cinta dengan Mikhaella? Yang benar saja! Anara masih waras untuk berpikir jernih. Bukan karena Anara tertawa, tersenyum, tersipu menghadap layar ponsel menandakan Anara jatuh cinta, kan?
"Ntar, kalau gue balik, gue pasti ditanyain macem-macem. Aish, mamah juga ngapain ke sini coba? Berasa anak kecil yang pulang Maghrib gue. Untung aja mak sendiri, kalau mak orang udah gue timpuk pakai sendal!"
Anara melanjutkan acara makannya, selain menyeruput teh hijau, Anara juga memesan mie ayam. Makanan favorit Anara adalah mie. Segala jenis mie pastinya Anara suka. Apalagi mie pangsit, surga dunia. Cuaca hujan, memakan yang berkuah memang mantap rasanya.
Mendengar notifikasi dari ponselnya membuat Anara menghentikan acara makannya sejenak, membuka ponsel tersebut dengan benar.
Mamah.
[Anara, mamah ingetin sekali lagi, ya. Kamu hari ini harus pulang, pokoknya pulang sebelum malam! Cancel semua meeting kalau ada! Jam tujuh teman-teman mamah akan ke rumah. Kita akan makan malam bersama mereka semua. Kamu tau kan Anara? Jangan sampai mempermalukan mamah dengan cara tidak pulang.]
Oke, Anara cukup paham. Pantas saja mamahnya ngotot memaksa Anara pulang. Pasti karena teman-teman mamah datang. Mereka semakin menyudutkan Anara. Mereka semakin menanyakan banyak hal ke Anara. Anara tidak suka di kondisi seperti ini.
Anara Clarys Graceva.
[Iya, Mah. Anara pulang ke rumah sekarang.]
Bangkit dari tempat duduknya, Anara langsung kembali ke ruang kerja, membereskan semua barang dan keluar lagi.
"Cancel meeting hari ini lagi, saya harus pulang sekarang juga. Tolong atur jadwal untuk besok dan kirim ke email saya, ya." Anara memberitahukan kepada sekretarisnya mengenai meeting yang dicancel dan jadwal untuk besok. Sang sekretaris pun hanya mengangguk. Langsung menghubungi klien karena cancelan tersebut.
Anara berjalan mendekati mobilnya, namun satpam dengan kasarnya menarik tangan Anara sampai terbentur ke dinding. "Maaf, Nona Anara. Nyonya Eva memerintahkan saya untuk melarang nona pergi sendirian. Supir pribadi sebentar lagi datang, dan nona pulang ke rumah bersama supir tersebut."
Sial, ternyata mamah tak macam-macam dengan omongannya.