06 | Beruang

1924 Kata
Ada kalanya orang lelah sehingga dia memutuskan untuk lari dari masalah, karena terkadang lari dari masalah untuk sementara waktu dapat menenangkan pikiran seseorang walau hanya sejenak *** Cia menatap nanar jalan raya yang dipadati kendaraan. Matanya mulai membengkak akibat terlalu banyak menangis. Dia merutuki dirinya karena terlalu lemah. Dia terlalu bodoh karena menangisi orang yang jelas-jelas tidak pernah sekali pun memikirkan perasaannya. Dia sengaja mematikan ponselnya karena dia tidak ingin diganggu terlebih dahulu. Dia juga tidak pulang ke rumahnya karena dia tahu bahwa dia akan dibaweli jika dia pulang ke rumah dalam keadaan seperti itu. Tanpa dia ketahui, semuanya panik mencarinya yang menghilang tanpa jejak sedikit pun, terutama David.  Fania yang merupakan kakak dari Jessy menyipitkan matanya begitu melihat sosok yang dia rasa dia kenal terduduk di pinggir jalan dalam keadaan berantakan. Setelah memastikan sosok itu adalah Alicia Fernita—sahabat dari adiknya—dia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan untuk menghampiri Cia.  Dia menepuk pundak Cia sebelum berkata, "Cia kok sendirian di sini?" Cia menoleh ke samping, dia tersenyum kecil begitu mengetahui siapa yang menepuk pundaknya. "Tak pikir siapa ternyata lo, Kak," kata Cia sembari tersenyum kecil. Fania ikut duduk di samping Cia sebelum mengulangi pertanyaannya, "Cia kok sendirian di sini?" Cia hanya menggeleng pelan. Dia tidak ingin banyak yang mengetahui masalahnya. Dia rasa lebih baik dia memendamnya sendirian daripada memberitahu orang lain. Fania menghela napas. "Lo bisa cerita ke gue, gue bisa jaga rahasia lo, Sayang," ucap Fania. "Gak kok, Kak, gue baik-baik aja, gue cuma pingin sendirian aja," kata Cia sembari menatap jalanan di depannya dengan pandangan kosong. Fania merasa Cia butuh waktu sendirian, maka dari itu dia memutuskan untuk meninggalkan Cia di pinggir jalan. Tetapi, sebelum dia benar-benar meninggalkan Cia, dia mengirim pesan kepada Aldri. Fania Angelina Aldri, adik kamu ada di pinggir Jalan Merdeka Aldrich Fernato Adik aku? Alicia Fernita? Fania Angelina Iyaa, aku tadi ngelihat dia di pinggir jalan jadi aku samperin deh Aldrich Fernato Terus sekarang kalian di mana? Fania Angelina Aku mau otw ke rumah sakit Aldrich Fernato RUMAH SAKIT?! EMANG CIA KENAPA?! Fania Angelina Gak, bukan itu maksud aku Fania Angelina Aku ada pasien di rumah sakit, jadi aku gak bisa lama-lama nemenin adik kamu, lagipula aku rasa adik kamu perlu waktu sendiri Fania Angelina Dia ada masalah? Dia kelihatannya berantakan banget Aldrich Fernato Iyaa, dia ada masalah Aldrich Fernato Dia ada cerita ke kamu? Fania Angelina Gak, dia bilang dia baik-baik aja padahal kelihatan banget kalau dia kenapa-napa Fania Angelina Dia bilang dia cuma pingin sendirian aja Aldrich Fernato Ya udah, gak papa, kamu ke rumah sakit aja Aldrich Fernato Gak usah mikirin Cia, aku sekarang otw ke sana Fania Angelina Hati-hati bawa mobilnya, Sayang  Aldrich Fernato Makasih beb, kamu juga hati-hati ya ke rumah sakitnya Aldrich Fernato Semoga pasien kamu baik-baik aja Fania Angelina Makasih juga, Sayang Fania tersenyum lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang miliknya. Aldri emang selalu mampu membuatnya tersenyum. Fania menatap Cia dengan pandangan iba sebelum berucap, "Gue harap lo bisa ngejalanin semuanya, Cia. Gue yakin lo cewek yang kuat." Fania melajukan mobilnya menuju rumah sakit dengan kelajuan di atas rata-rata, karena dia harus segera menangani pasiennya yang membutuhkannya. Cia menatap mobil Fania dengan senyuman kecil. Setelah merasa hatinya lebih baik dari sebelumnya, dia berjalan dengan pelan menuju bandara. Dia butuh waktu untuk sendirian. Dia tahu dia tidak bisa selalu kabur dari masalahnya, tetapi setidaknya untuk saat ini saja dia ingin kabur dari masalahnya.  Dalam waktu dua jam, dia berhasil sampai di bandara dengan berjalan kaki. Kakinya terasa ingin putus, tetapi dia tetap memaksa kakinya untuk berjalan. Sebenarnya, dia bisa saja memesan uber atau memanggil taksi, tetapi hatinya memaksanya untuk tidak melakukan itu tanpa alasan yang jelas. Cia tersenyum begitu mendapat tiket penerbangan menuju Bali dalam waktu setengah jam lagi. Dia memutuskan untuk membeli minuman terlebih dahulu karena dia merasa tenggorokannya sangat kering. Dia memejamkan matanya begitu pesawat mulai naik ke udara. Tanpa dia sadari, dia sudah tertidur selama 40 menit. Dia menggeliat dalam tidurnya begitu merasakan ada yang mengguncang-guncangkan tubuhnya. "Mbak bangun," kata seseorang yang tepat duduk di samping Cia membuat Cia dengan terpaksa membuka kedua matanya. Cia menegakkan tubuhnya yang tadinya merosot saat tidur sebelum berkata, "Huh? Kenapa ya, Mas?" "Udah mau sampai, Mbak. Jadi, saya bangunin mbak, maaf ya," ucap laki-laki itu membuat Cia mengangguk. "Saya justru makasih karena mas mau bangunin saya," ujar Cia tersenyum. "Nama saya Vero," kata Vero memperkenalkan dirinya. "Mbak kok bengong?" tanya Vero panik melihat Cia yang tiba-tiba diam tanpa alasan. "Na-nama kamu si-siapa?" tanya Cia dengan susah payah. "Alvero," jawab Vero membuat Cia tertawa renyah.  Vero mengernyitkan keningnya bingung, dia tidak mengerti dengan perempuan yang duduk di sebelahnya. Tiba-tiba diam seperti patung, lalu sekarang tiba-tiba tertawa. Mengapa semua perempuan yang dia kenal selalu aneh? "Sorry, saya salah dengar. Saya kira nama kamu Varo," ucap Cia dengan senyuman tipis. Varo? Apa dia punya kaitannya sama kembaran gue? Kalau iya, kenapa firasat gue gak enak? Ujar Vero dalam hati. "Kok jadi kamu yang diam?" tanya Cia membuat Vero terkekeh lalu menggelengkan kepalanya.  "Kamu kenal sama Varo?" tanya Vero yang hanya dibalas gelengan pelan oleh Cia. "Saya pikir kamu kenal sama Varo," kata Vero lagi. "Gak, saya gak kenal sama dia." Maksud gue, gue gak mau kenal sama dia. Lanjut Cia dalam hati. "Eh nama kamu siapa, saya udah kasih tahu nama saya, tapi kamu belum kasih tahu nama kamu, ujar Vero membuat Cia terkekeh kecil. "Nama saya Alicia Fernita, panggil aja Cia. Umur 15 tahun, kayaknya kita seumuran deh jadi ngomongnya gak usah kaku gitu, pakai lo-gue aja," kata Cia membuat Vero mengangguk. "Oke deh Cia, lo ke Bali sendirian aja?" tanya Vero. "Iya sendirian aja, kalau lo?" tanya Cia balik. "Sendiri juga, niatnya sih refreshing karena stres," jawab Vero dengan senyuman pahit. Cia dapat mengetahui senyuman Vero itu bukan memancarkan aura kebahagiaan, melainkan sebaliknya. Dia memang tidak bisa membaca pikiran seseorang, tapi dia yakin ada sesuatu yang terjadi pada sahabat barunya itu.  Cia tersenyum sembari berucap, "Kalau gitu gimana kalau kita liburan bareng aja? Gue juga butuh refreshing." *** Cia dan Vero memutuskan untuk ke Mall Bali Galeria sebelum ke Harris Hotel yang berada di Kuta. Mereka berjalan mengelilingi mall tersebut. Banyak yang menatap mereka dengan pandangan yang mereka berdua tidak bisa artikan. Mereka berusaha tidak mempedulikan tatapan itu walaupun mereka sebenarnya merasa risih.  "Mau ke mana, Cia?" tanya Vero dibalas gumaman tak jelas oleh Cia. Vero mendengus begitu Cia hanya menggumam tak jelas sebagai jawaban pertanyaan. Dia langsung menarik tangan Cia menuju Timezone.  "Gimana kalau kita main basket, yang poinnya lebih kecil, dia harus traktir buat makan malam nanti," tantang Vero setelah mengisi kartu Timezone yang langsung disetujui Cia karena Cia yakin dia akan menang. Vero tersenyum begitu melihat Cia dengan semangat menggesek kartunya. Vero ikut menggesek kartu sehingga kini mereka sibuk memasukkan basket ke dalam ring yang berada di tengah.  Cia tersenyum penuh kemenangan begitu dia lolos sampai stage 3 sedangkan Vero hanya lolos sampai stage 2. Vero mengerucutkan bibirnya kesal karena dia yang menantang Cia, tapi dia yang kalah.  Cia terbahak melihat Vero kesal seperti itu. Dia menepuk pundak Vero sebelum berkata, "Makanya jangan ngeremehin gue, gue ini anak basket sekolahan." Vero semakin mengerucutkan bibirnya membuat Cia menjawil hidung mancung milik Vero. "Lo lucu banget kalau kayak gitu," ucap Cia terkekeh kecil. Vero tersenyum penuh arti mendengar ucapan Cia. "Cia, foto bareng yok." Tanpa menunggu jawaban Cia, Vero menarik Cia menuju photobooth. Vero mau pun Cia tersenyum puas begitu melihat hasil foto mereka. "Gue pikir cowok kayak lo gak suka foto, ternyata waktu foto, gaya lo malah lebih banyak dibanding gue," ledek Cia. Vero yang diledek oleh Cia tersenyum sembari berucap, "Cowok juga bisa gaya kali." Cia terkekeh mendengar balasan Vero. Vero yang gemas dengan Cia langsung mengacak rambut Cia pelan membuat Cia langsung memanyunkan bibirnya. "Bibirnya jangan dimanyun-manyunin nanti monyong," ledek Vero membuat Cia mendengus kesal. "Weeee, yang di dalam, jangan asik pacaran terus. Kita yang lain juga mau foto," ucap satu orang dari luar membuat Vero dan Cia saling menatap satu sama lain lalu tersenyum penuh arti. "Kalau gak tahu apa-apa jangan sok tahu deh, kita berdua gak pacaran," ucap Cia dan Vero berbarengan membuat mereka berdua bertatapan cukup lama sebelum akhirnya tawa mereka pecah. Vero menggandeng Cia keluar dari photobooth. "Mau main apa lagi?" Cia mengangkat kedua bahunya menandakan dia tidak tahu mereka harus ke mana sekarang.  "Lo mah ga tahu mulu," gerutu Vero sembari menghentak-hentakkan kedua kakinya kesal dengan Cia. "Yee, jadi cowok dikit-dikit ngambek. Nanti gak ada cewek yang mau sama lo," kata Cia seraya terkekeh kecil membuat Vero membulatkan kedua matanya. "CIAAA!!! DOANYA JANGAN JELEK GITU NAPA?!" pekik Vero kesal membuat Cia terkikik geli. Vero berjalan meninggalkan Cia membuat tawa Cia semakin pecah. Dia berpikir hari-harinya selama di Bali akan menyenangkan karena ditemani oleh laki-laki yang lucu itu.  Cia mengejar Vero yang sudah berjalan jauh. Cia mendengus ketika Vero dengan sengaja memberhentikan langkahnya hingga dia menubruk punggung kokoh milik Vero.  "Lo sengaja banget sih," sungut Cia membuat Vero terkekeh. Vero merangkul bahu Cia mesra sebelum berucap, "Gimana kalau kita nonton bioskop?" "Tapi, nonton apa?" tanya Cia. Vero tersenyum. "Gue mah bebas mau nonton apa aja, asalkan nontonnya sama cewek cantik kayak lo."  Pipi Cia merona mendengar gombalan receh yang dilontarkan oleh Vero. Dia langsung mencubiti lengan Vero membuat Vero tertawa. "Ada yang salah tingkah nih, ciee." Kini, giliran Cia yang berjalan meninggalkan Vero dengan menghentak-hentakkan kedua kakinya. Jika tadi ketika Vero berjalan seperti itu, dia terlihat seperti bapak-bapak yang ngambek dengan istrinya. Sedangkan ketika Cia yang berjalan seperti itu, dia terlihat seperti anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan boneka beruang oleh papanya.  Vero tersenyum penuh arti. "Lari aja sepuas lo sampai lo capek, Ci. Tapi, gue ga bakalan ngejar lo." Cia yang mendengar itu mendengus sebal sebelum akhirnya memutar badannya agar dapat menatap Vero. "Kok lo nyebelin?" "Ah, makasih. Gue tahu kok kalau gue ganteng," ucap Vero membuat Cia ingin sekali menendang Vero hingga ke segitiga bermuda.  Cia menghela napas dalam sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel terlebih dahulu. Dia tidak peduli Vero mau kembali ke hotel atau tidak. Yang jelas, dia lelah. Hal yang dia inginkan adalah rebahan di atas kasur hotel yang sangat empuk. Vero terkekeh sembari berjalan mengikuti langkah Cia. Dia memberhentikan langkahnya ketika melihat sebuah beruang berukuran besar dipajang di depan toko boneka. Dia melangkahkan kakinya ke dalam toko tersebut.  Dia mengusap boneka beruang besar yang berwarna putih kecokelatan itu.  "Mau beli, Mas?" tanya salah satu pegawai di sana membuat Vero terkejut.  "Eh?" Vero menatap boneka beruang itu. Dia terkikik geli ketika mengingat wajah Cia. Dia rasa Cia akan senang jika dia memberikan boneka itu karena boneka beruangnya sangat lucu seperti gadis itu.  "Boleh deh, Mbak. Tolong ya dibungkus yang rapi," ujar Vero membuat pegawai tersebut mengangguk. Vero berjalan ke hotel dengan langkah yang pelan karena dia harus memeluk boneka beruang itu. Dia mengembuskan napasnya lega ketika telah sampai di depan kamar Cia. Dia meletakkan boneka beruang itu di depan pintu sebelum dia memencet bel berkali-kali dan kabur agar tidak ketahuan dengan Cia. Cia membuka pintu kamar dengan malas. Dia membelalakkan matanya tak percaya melihat ada sebuah boneka beruang besar di depan pintu kamar hotelnya. Siapa yang meletakkannya di sana?  Dia melihat ke sekeliling koridor, tapi dia tidak menemukan siapa pun. Dia pun memutuskan untuk membawa boneka tersebut masuk ke dalam kamar hotel.  Dia menarik kartu ucapan yang tadinya diselipkan di leher beruang.  Hai, Cecan! Jangan ngambek lagi ya sama cogan! Cogan gak bermaksud buat cecan marah. Semoga cecan suka sama beruangnya. Cogan sayang sama cecan. Cia terkekeh. Dia yakin bahwa Vero adalah orang yang memberikannya boneka ini.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN