Chap 6

1466 Kata
  Kimmy terbangun saat mendengar ponselnya berbunyi. Di liriknya jam di atas meja, jam sebelas malam. Ini bahkan baru setengah jam dia terlelap. Ia melirik ponsel dan nama Franz muncul di sana. Bodoh! Kenapa aku benar-benar melupakan si b******k ini! Kimmy menarik napas panjang sebelum mengangkat telepon itu. “Ya, Franz.” “Kimberly!! Kenapa kau tidak pernah ke rumah lagi?? Ini sudah dua hari kau tidak datang ke rumah. Kau bahkan tidak menghubungiku!!” Franz berteriak marah di ujung sana.  Kimmy mengembuskan napas lelah. “Maaf, Franz, aku sibuk di rumah sakit. Juga...” “Jangan bohong!! Aku tahu kau sudah tidak bekerja di rumah sakit!!” Potong Franz dengan marah. “Da...dari mana kau tahu?” “Apa kau lupa siapa aku?? Jangan macam-macam denganku, Kimberly.” “Aku...aku...” “Aku mau kau keluar dari pekerjaanmu sekarang. Jangan libatkan keluarga Schiffer dalam hubungan kita!” “Aku tidak bisa. Abby membutuhkanku. Dia masih perlu terapi.” “Kau pikir aku tak perlu terapi?? Aku juga lumpuh. Dan itu karena siapa?? Karena ayahmu yang sialan itu!!!” Kimmy memejamkan matanya. Air mata perlahan mengalir di wajahnya. Selama ini Franz selalu menolak segala macam terapi yang Kimmy tawarkan. Sepertinya pria itu sengaja agar tidak bias berjalan lagi dan ia menanggung rasa bersalah itu seumur hidup. “Jangan bawa-bawa ayahku. Kau tenang saja, aku tidak akan lari dari tanggung jawabku.” “Kalau begitu aku mau kita menikah secepatnya!” “Me...menikah?? Tidak, Franz, aku ingin menyelesaikan kuliahku dulu.” “Tidak! Aku tahu kau jatuh cinta pada tuan muda Schiffer itu.” “Tidak, aku tidak jatuh cinta padanya. Ehmm...gadis yang kurawat itu, dia tunangan tuan muda Schiffer,” jawabnya sambil menggigit bibir. “Kau tidak berbohong?” “Ya, aku tidak berbohong.” “Baiklah, kita bisa membicarakan pernikahan kita lagi nanti. Besok aku tunggu kau di rumah jam makan siang.” “Aku akan datang. Selamat malam.” “Selamat malam, Sayang. Aku mencintaimu.” Kimmy menutup teleponnya dan memejamkan mata. Sejauh apapun dia lari, dia tidak akan bisa menjauh dari Franz. Franz akan selalu mengejarnya. Dia sudah ditakdirkan harus menjadi pasangan pria b******k itu. Pria yang sudah menghancurkan hidupnya. Pria yang sudah mengambil satu hal penting yang dimilikinya. Damian... Kimmy membuka matanya dan tersenyum getir. Dia harus mengubur dalam-dalam perasaan itu. Dia harus melupakan cintanya untuk Damian. ….. Pagi itu, Kimmy bangun dengan perasaan malas. Malas karena dia harus menemui Franz siang ini. Itu artinya dia harus mengorbankan setengah harinya dengan Abby. Entah alasan apa yang harus dia berikan pada Abby. Apalagi Damian sedang pergi ke Amerika. Abby pasti kesepian. Dengan setengah hati Kimmy mandi dan bersiap ke rumah keluarga Schiffer. Setidaknya paginya bisa lebih indah bersama Abby. “Hai, Abs, Guten morgen,” sapa Kimmy pada Abby yang sudah ada di taman belakang. “Hai,” jawab Abby sambil tersenyum manis. “Ayo kita terapi.” Abby menatapnya heran. “Buru-buru sekali? Ini masih pagi, aku masih malas.” “Ayolah, Abs, aku tidak punya banyak waktu hari ini.” “Apa maksudmu?” “Aku...” Ucapan Kimmy terpotong oleh dering ponsel. Lagi-lagi Franz. “Ya, Franz.” “Jangan lupa kau harus ke sini sebelum makan siang. Aku ingin kita makan siang berdua.” “Iya, aku ingat. Aku akan ke sana.” “Aku merindukanmu, Sayang.” Kimmy menutup teleponnya tanpa menjawab pernyataan cinta Franz dan melempar ponsel itu ke dalam tasnya. Abby menatapnya heran. Kimmy tahu berbagai pertanyaan berputar di kepala cantiknya. “Kau punya pacar?” Kimmy tersenyum kecut. “Tunangan lebih tepatnya.” “Serius???” “Aku juga berharap ini tidak serius, Abs, tetapi sayangnya ya, ini serius.” Abby menatap mata Kimmy yang berkaca-kaca. “Kau mencintainya?” Kimmy menggeleng. “Lalu bagaimana kau bisa bertunangan dengannya?” “Ceritanya panjang.” “Kau lupa aku pengangguran yang punya banyak waktu?” “Aku akan bercerita jika kau mau terapi sekarang.” “Curang!” teriak Abby kesal. “Take it or leave it.” Abby menganggukkan kepalanya setengah hati. Kimmy mendorong kursi roda Abby sambil tersenyum menang. “Jadi...bagaimana bisa kau bertunangan sedang kau tidak mencintainya?” “Abs, kau bahkan belum berdiri dari kursi rodamu itu. Terapi dulu baru aku cerita.” Abby mengerucutkan bibirnya lucu membuatnya tertawa. Tangannya terulur pada Kimmy persis seperti anak kecil yang merajuk minta digendong.  Kimmy tertawa. Abby selalu menghiburnya. Dia benar-benar menyayangi gadis itu seperti saudara perempuan yang tidak pernah dimilikinya. Pantas Damian sangat mencintainya. “Di mana kakakmu?” Abby menoleh padanya sambil cemberut. “Dia pergi pagi-pagi sekali. Ada urusan bisnis ke luar negeri. Huh... katanya mau menemaniku sampai sembuh, tetap saja mengurus pekerjaan terus,” omel Abby panjang lebar.  Kimmy tertawa geli. Ada sedikit kecewa di hatinya karena tidak sempat bertemu Damian sebelum pria itu berangkat. “Tenanglah, pasti nanti dia membawa oleh-oleh untukmu.” “Tetapi kan sebentar lagi ulang tahunku.” Kimmy terkikik lagi, kadang Abby memang benar-benar manja. “Sudah, aku capek! Aku mau mendengar ceritamu saja.” Kimmy memutar bola matanya dan membantu Abby duduk di sofa untuk memijat kakinya. “Jadi?” “Namanya Franz,” jawab Kimmy lirih. “Kalian sudah lama bertunangan?” “Sejak satu tahun lalu.”  “Lalu bagaimana bisa kalian bertunangan jika kau tidak mencintainya?? Kau menyiksa dirimu sendiri!” Kimmy memandang Abby. Mata birunya berkaca-kaca. Abby menarik tubuh Kimmy dan memeluknya. “Dia memaksamu ya?” tanya Abby pelan. Kimmy mengangguk dalam pelukannya sambil terisak. “Dia pemilik perusahaan tempat ayahku bekerja dulu. Aku benci dia.” “Lalu kenapa kau mau bertunangan dengannya?” “Ayahku menabraknya. Dia lumpuh seumur hidup. Aku harus menikahinya jika tidak mau dipenjara,” jelas Kimmy tanpa menceritakan detail mengerikan itu. Dia belum siap memberitahu hal itu pada siapapun termasuk Abby. Dia takut Abby jijik padanya. “Ya Tuhan!” teriak Abby tak percaya. “Dia memintamu menemuinya hari ini?” Kimmy mengangguk. “Sudah dua hari aku tidak ke sana.” “Pergilah sekarang.” Kimmy melepas pelukannya dan menatap Abby sambil cemberut. “Aku tidak ingin hari segera siang, tetapi kau justru mengumpankanku pada harimau yang kelaparan!” Abby tergelak. “Apa kau lebih suka dimangsa beruang grizzly?? Kau lebih pantas bersama kakakku daripada pria itu.” Kimmy tersenyum kecut. Aku bahkan jijik pada diriku sendiri... apalagi kakakmu. “Aku yakin kau berjodoh dengan kakakku.” Seandainya saja... “Pergilah.” Kimmy mendesah. “Di mana Tante?” “Ada di ruang merajut. Mereka berdua sedang sangat senang merajut untuk calon adikku nanti.” “Mau kuantar ke sana?” Abby menggeleng. “Bawa aku kembali ke taman saja. Aku ingin membaca buku. Andrew akan menemaniku nanti.” “Dia  di sini?” “Ya, kak Damian menyuruhnya datang selama dia pergi.” “Kau beruntung selalu di kelilingi pria-pria tampan.” Abby tergelak mendengar ucapannya. Kimmy mendorong kursi roda Kimmy ke taman. Sudah banyak buku bacaan Abby di sana. “Kau akan menyelesaikan semua itu hari ini?” Ia menatap buku-buku tebal bacaan Abby. “Tentu saja tidak. Mom menaruhnya di sini agar aku tidak bolak-balik ke perpustakaan.” “Hello, Baby,” suara itu menginterupsi mereka. Andrew datang dengan wajah segar sehabis mandi. Dia menghampiri Abby dan mencium puncak kepalanya. “Sepertinya kau sudah ada teman, aku pergi dulu ya.” “Iya, hati-hati ya.” Kimmy memeluknya sekilas dan mengangguk pada Andrew. Keluarga Schiffer sepertinya terlahir dengan gen yang paling sempurna. Entah bagaimana kakak beradik Schiffer tidak ada yang berwajah pas-pasan. Ia merasa seperti itik buruk rupa berada di tengah keluarga itu. Dua puluh menit kemudian, Kimmy berdiri di depan pagar rumah itu lagi. Dia ingin lari, tetapi ia tidak bisa. Dia ingin bebas dari orang itu. Akan tetapi tidak akan pernah mampu. Dengan setengah hati, dia masuk ke halaman rumah itu dan menyiapkan hatinya untuk bertemu Franz. Pintu terbuka lebar. Seorang pelayan membuka pintu dengan terkejut. “Fräulein,” bisiknya kaget. Kimmy menatapnya heran. “Franz ada?” “Tu...tunggu di sini sebentar, Nona.” Dia berlari ke dalam tanpa menyuruhnya masuk. Pria itu bahkan menutup lagi pintu besar itu. Ada apa? Lima belas menit kemudian pintu kembali terbuka. Kali ini Franz sendiri yang menyambutnya. “Hallo, liebe,” ucapnya sambil menampilkan senyum yang akan memukau setiap gadis. Kecuali Kimmy tentuny. “Hai.” Kimmy mencium kening pria itu seperti yang selalu dilakukannya. “Kau baru saja mandi?” tanya Kimmy menyadari rambut Franz masih basah. Franz mengangguk. “Kau datang lebih cepat. Merindukanku eh?” goda Franz disambut senyum dingin Kimmy. in Ihrer Träume! (Dalam mimpimu!) Kimmy mendorong kursi roda Franz menuju ruang tengah. Franz tinggal sendiri di sini. Kedua orangtuanya tinggal di Hamburg. Ia membantu pria itu untuk duduk di sofa. Akan tetapi tangan Kimmy berhenti saat melihat sandal yang di pakai Franz. Apa ini mungkin??
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN