Ini adalah mimpi buruk. Damian yakin itu. Mimpi terburuk yang pernah dialaminya. Damian, Dave, dan Daniel, hanya bisa berteriak ngeri bersamaan mendengar permintaan Devandra.
“Kau ingin menurunkan reputasiku sebagai pengusaha handal dan berwibawa An?? Apa yang akan dikatakan para pegawaiku jika mereka melihatku melakukan ituuu!!” teriak Dave histeris.
“Please...ini demi Abby, dia sangat menyukai mereka. Dan aku yakin tidak akan ada anak buahmu yang melihat ini.”
Ketiga orang itu saling berpandangan pasrah.
“Kau menyebalkan!” protes Damian.
“Kau gila!” ini protes Daniel.
“Aku akan membunuhmu setelah ini!” dan ucapan penuh kekesalan ini tentu saja milik Dave.
“Terima kasiiihhh. Aku sayang kaliaaannn!”
Damian, Daniel, dan Dave menggelengkan kepala mereka dengan dramatis melihat wajah Devandra yang berseri-seri. Sangat kontras dengan kemarin saat mereka bertemu pertama kalinya setelah tiga bulan. Dalam hati, Damian merasa lega. Seolah beban berat terangkat di dadanya.
“Kau bahagia kan?” bisik Dave pada Damian.
Damian memandangnya dan tersenyum. “Aku bahagia asalkan adikku bahagia.”
Dave menepuk bahu Damian pelan. “Kau akan menemukan juga yang seperti Abs.”
“Kau tahu tidak akan ada yang seperti dia.”
“Tetapi yang hampir mendekati ada kan?” Dave menaik turunkan alisnya menggoda.
Damian mendengkus. “Tidak! Mereka berbeda. Gadis itu sangat ceroboh!”
Dave tertawa. “Tetapi kau menyukainya kan?”
“Jangan sok tahu!”
Dave tertawa semakin kencang.
“Kita baru akan menyadari sesuatu itu berarti saat dia tidak ada di sisi kita lagi. Sadarilah sebelum terlambat.” Dave menepuk bahu Damian sekali lagi dan memposisikan dirinya untuk tidur. Sedangkan Damian terdiam di tempatnya duduk. Memikirkan perkataan Dave yang baru saja diucapkannya.
…..
“Willkommen zurück in München, Meine Damen und Herren,” sapa Helmer salah satu sopir keluarga Damian. (Selamat datang kembali di Munich, Tuan dan Nyonya)
“Dank, Helmer. Apa semua sudah datang?” tanya Damian.
“Ya. Mereka sudah menunggu di rumah.”
Damian menganggukkan kepala dan menyuruh Helmer membawa mereka ke rumahnya. Tentu rumah yang dimaksud adalah rumah pribadi Damian, bukan rumah orangtuanya tempat Abby tinggal. Damian sudah lama membeli rumah itu. Akan tetapi dia jarang tinggal di sana. Rumah itu terlalu besar untuk ditinggalinya seorang diri. Dia lebih suka tinggal di rumah orang tuanya. Dia membeli rumah itu untuk tempat tinggalnya bersama istrinya kelak. Dan tawa canda anak-anak akan memenuhi penjuru rumah itu. Damian tertawa getir dalam hatinya.
Istri. Dulu dia berani membayangkan sebuah keluarga dengan dia sebagai kepala keluarga, dengan Abby sebagai istrinya dan ibu dari anak-anaknya. Akan tetapi lihatlah permainan takdir. Mereka digariskan sebagai saudara. Ia digariskan kehilangan gadis itu sebagai kekasih hatinya dan mencintainya sebagai seorang kakak. Membuat impiannya tentang keluarga yang hangat dan penuh cinta seperti orangtuanya, kandas.
“Itu rumahmu, Dam?”
Pertanyaan Daniel membuat Damian teralihkan dari lamunannya dan memandang rumah mewahnya. Sebuah mansion yang tidak kalah besar dengan yang dimiliki orang tuanya. Rumah bergaya venetian gothic dan gaya klasik renaissance. Rumah itu benar-benar mengekspresikan kemapanan, gaya hidup dan apresiasi seni. Struktur bangunan yang ringan tetapi anggun, memanjakan setiap pasang mata yang melihatnya. Glass window yang didekorasi dengan menarik, pilar-pilar yang mirip kastil, dan jendela yang dibiarkan terekspos, semakin menunjukkan keindahan kacanya.
“Apakah kau akan menjualnya? Aku akan membelinya dengan senang hati,” mata Devandra berbinar menyusuri setiap lekuk rumah itu.
“Dalam mimpimu. Aku tidak akan menjualnya! Tidak akan pernah!”
Damian tidak main-main. Dia jatuh cinta setengah mati pada rumah itu bahkan sebelum melihat rumah itu. Koleganya yang seorang arsitek dari Perancis pernah mengirimkan gambar desain-desain rumah yang dibuatnya pada Damian satu tahun lalu. Dan begitu melihatnya dalam gambar, Damian langsung jatuh cinta. Saat itulah dia segera terbang ke Jerman dan membelinya.
“Selamat datang!” teriak suara-suara dari dalam rumah.
Seluruh anggota keluarga Damian menyambut mereka. Bahkan orang tua Dave dan Andrea, kakak Devandra, sudah lebih dulu sampai di sana.
“Uncle D Three!” teriakan kecil itu terdengar nyaring.
Damian tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Emily, putri sulung Andrea, lalu meraupnya dalam gendongan. “Hello Princess, do you miss me?” tanya Damian sambil mencium pipi tembam Emily.
“Of course. Trully, madly, deeply miss you,” ucapnya lucu sambil mencium muka Damian.
“Kau tidak merindukanku, Princess?” Devandra protes karena biasanya keponakannya itu selalu mencarinya.
Emily menatap Devandra dan menggeleng. “Papa seraaaamm wajahnnyaa, banyak rambut.”
“Sana bercukur dulu. Baru kau bisa menggendong putri kecilku.” Andrea yang perutnya mulai membuncit itu, memukul bahu adiknya. Devandra hanya meringis. Tenaga kakaknya masih saja sekuat kuda.
“Uncle, di mana Aunty Princess? Mom bilang kita akan menemui Aunty Princess?” tanya Emily dengan tidak sabar. Dia sudah tidak bertemu Aunty princess-nya sejak kecelakaan itu.
“Kita akan bertemu Aunty princess, Sayang, tetapi setelah paman-pamanmu yang ganteng ini mandi.”
“Promise?” Emily mengulurkan jari kelingkingnya.
“Pinky promise, Princessa.”
Emily langsung minta turun dari gendongan Damian begitu ia menautkan jari kelingkingnya. Sekarang dia mengulurkan tangannya pada Dave. Itu kebiasaannya jika bertemu mereka. Meminta satu persatu dari mereka menggendongnya.
“Mom, Kimmy sudah diberitahu untuk tidak datang kan?” tanya Damian pada ibunya.
“Ya, coba kau telepon dia sudah di mana,” jawab Mandy sambil tersenyum riang.
Damian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Kimmy. “Hallo, Damian.”
Entah kenapa begitu mendengar suara Kimmy jantung Damian berdegup kencang dan ini pertama kalinya Kimmy menyebut namanya. Apa-apaan ini! Itu cuma Kimmy, Damian! Kimmy! ungeschickte Mädchen.
“Damian? halooo...”
Damian tergagap menyadari dia belum mengucapkan sepatah kata pun. “Kau di mana?”
“Aku masih di rumah. Kapan kita akan ke rumahmu?”
“Nanti aku kirim pesan untukmu. Atau kau mau aku jemput?”
“Eh...tidak usah, aku bisa datang sendiri. Lagipula aku telat juga tidak apa-apa. Aku kan hanya perawatnya. Lagipula aku harus menemui...”
“Jangan pernah berkata seperti itu! Kau adalah sahabatnya. Saudara yang di sayanginya!” potong Damian dengan kesal.
“Maa...maafkan aku.”
“Aku akan menjemputmu satu jam lagi!” Damian langsung menutup telponnya. Apa yang dipikirkan gadis ceroboh itu? Jelas-jelas Abby menganggapnya sebagai sahabatnya, sebagai saudaranya, tetapi dia malah berpikir dia hanya seorang perawat yang tidak penting. Dasar gadis bodoh!
Damian beranjak ke kamarnya dan segera mandi. Dia harus segera menjemput Kimmy sebelum gadis itu kabur. Apa dia bilang tadi? Ada yang harus dia temui? Pasti laki-laki itu. Jangan harap!
…..
Setengah jam kemudian Damian sudah sampai di depan pintu flat Kimmy. Dia mengetuk pintu itu dengan tidak sabar. Entah kenapa, dia takut Kimmy benar-benar pergi menemui siapapun orang itu. Sudah lima menit Damian mengetuk. Akan tetapi pintu itu tidak juga terbuka. Baru Damian akan menelpon, saat pintu itu terbuka.
“Bukankah tadi kau bilang satu jam? Aku bahkan belum mandi!”
Damian tersenyum mendengar gadis itu mengomel. Sekarang Kimmy sudah tidak takut lagi padanya. “Mandilah! Aku akan menunggumu,” kata Damian lembut.
Kimmy melongo menatapnya. “Kau masih jetlag ya?”
“Aku baik-baik saja.”
“Tetapi...”
“Sudah sana mandi! Tidak usah cerewet!” ucap Damian kesal. Ia tersenyum geli melihat Kimmy berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya. Akan tetapi, Kimmy tiba-tiba berbalik membuatnya memasang wajah datarnya lagi.
“Kau sudah makan?”
Damian menggeleng. Dia terlalu khawatir gadis itu akan kabur menemui -entah siapapun dia- hingga membuatnya lupa makan.
“Aku membuat sarapan di meja. Makan saja.”
Ia menuju ke dapur yang terletak di sudut ruangan. Dilihatnya di meja sudah ada Broetchen, roti gulung hangat, lengkap dengan sirup maple dan selai blueberry. Secangkir coklat hangat ada di samping piring.
Enak! Itu kata pertama yang terlintas di kepala Damian. Ia sungguh tidak menyangka gadis ceroboh itu pandai memasak. Benar-benar tipikal istri idaman yang akan selalu memanjakan perut suaminya.
Eh, apa yang dia pikirkan? Damian memukul keningnya menghilangkan pemikiran itu.
“Kau kenapa?”
Damian bahkan tidak sadar Kimmy sudah berdiri di depannya dengan sweater wol berwarna coklat dan celana jeans warna hitam. Rambutnya diikat kuncir kuda. Mukanya polos tanpa make up membuat mata birunya semakin bersinar.
Cantik... Damian menggeleng-gelengkan kepalanya. Tampaknya dia benar-benar jetlag parah hingga otaknya korslet.
“Kau yakin baik-baik saja?” tanya Kimmy cemas
“Aku baik-baik saja!” ulangnya lagi. “Kau sudah siap?” tanya Damian tanpa melihat mata Kimmy. Mata itu membiusnya.
Kimmy mengangguk lalu meraih sebuah kotak makan besar dari lemari.
“Apa itu?” tanya Damian ingin tahu.
“Baumkuchen. Granny ingin merasakan kue buatanku katanya,” jawab Kimmy sambil memasukkan kuenya ke dalam kotak. (Kue tradisional khas Jerman)
Damian tersenyum. Granny-nya adalah penggemar cake. Siapapun yang dia tahu bisa membuat kue maka akan disuruhnya membuat dan mencicipinya.
“Selesaaiii. Ayo kita berangkat!” Kimmy berseru senang.
Damian tersenyum melihat wajah Kimmy yang berseri-seri. Segera diambilnya kotak yang akan dibawa Kimmy. Hey...he is a gentleman. A gentleman never lets a woman carry things. That's gentleman rules number 40. Dia berjalan mendahului Kimmy dan membukakan pintu untuknya.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Damian saat melihat Kimmy melamun. Kimmy tersenyum gugup dan menyeringai lalu menggeleng. Damian menatap Kimmy tak percaya. Awas saja kalau dia mencoba kabur nanti.
Saat mereka tiba di rumah orang tua Damian, semua sudah siap di ruang samping garasi. Bahkan apa yang diminta Devandra di pesawat tadi malam. Damian mengerang. Ini benar-benar mimpi buruk.
“Kimmy, apapun yang kau lihat nanti, aku mohon jangan tertawa. Ini gara-gara Andra sialan itu!”
Kimmy menatap Damian tak mengerti. Akan tetapi Damian hanya menatapnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.
“Jadi ini gadismu, Damian?” tanya Dave membuat Damian berbalik menghadapnya.
“Kimmy, kenalkan si b******k ini, Dave. b******k kedua, Daniel. Dan b******k ketiga yang paling menyebalkan, Devandra.” Damian mengenalkan ketiga temannya yang menyeringai pada Kimmy. Kimmy mengulurkan tangannya gugup dan menyebutkan namanya.
“Cantik. Pintar kau, Damian.”
“Hentikan omong kosongmu, Cromwell. Ayo kita akhiri mimpi buruk ini. Jangan ada yang memegang recorder!” Damian menatap tajam para adik dan sepupunya yang semuanya pria itu.
****
Kimmy masih tidak mengerti dengan apa yang akan keempat pria dewasa itu lakukan sampai...
I'd go anywhere for you... Anywhere you asked me to...
Dan Kimmy hampir meledak dalam tawa. Otomatis dia membekap mulutnya, menahan tawa. Takut membuat Damian murka.
Wajah mereka sudah merah padam menahan malu. Ini gila. Tiga orang CEO tertampan di dunia berjoget ala boyband favorit Abby itu.
Sedangkan Abby menatap tidak percaya apa yang dilakukan ketiga kakaknya itu. Lebih tidak percaya lagi saat melihat seseorang yang selama ini dirindukannya muncul dari balik pintu. Air matanya sudah tidak terbendung lagi. Kimmy ikut meneteskan air matanya. Ia ikut bahagia untuk Abby. Ia berharap kedatangan Devandra bisa membangkitkan semangatnya untuk sembuh.
“Sudah menangisnya?”
Suara itu mengagetkan Kimmy. Ia menoleh dan mendapati Dave berdiri di sampingnya. Kimmy menghapus air matanya dan tersenyum. “Aku bahagia untuk Abs,” ucapnya kemudian.
Dave mengangkat alisnya. “Aku kira kau cemburu melihat Damian memeluk Abby?”
Kimmy tertawa. “Kau sok tahu! Aku dan Damian tidak ada apa-apa.”
“Kau yakin?”
Kimmy mengangguk mantap.
“Kimmy bisakah kau membantuku?” Tanya Dave kemudian.
“Apa itu?”
“Bantu aku membuat Damian jatuh cinta padamu.”
Kimmy melongo. Apa maksud Dave? Membuat Damian jatuh cinta padanya? Itu tidak mungkin. Pria tampan ini pasti mabuk.
“Apa kau juga masih jetlag ?”
Dave menatapnya tak mengerti.
“Tadi pagi Damian yang aneh. Sekarang kau yang aneh. Aku yakin kalian pasti terlalu lelah karena habis terbang jauh.”
Dave tertawa. “Dasar bodoh! Kau benar-benar...”
“Kim!” seruan Damian memutus ucapan Dave dan mendekati mereka dengan muka masam.
“Ya?”
“Granny memanggilmu.”
Kimmy mengangguk dan bergegas menghampiri nenek Damian. Pria itu tampak kesal. Apa karena hari ini Kimmy tidak bertingkah seperti seorang perawat dan justru malah seperti anggota keluarga? Ya, mungkin Damian marah karena itu. Seharusnya Kimmy sadar diri ia bukan siapa-siapa.
****
“Damian, boleh aku dekati Kimmy?” tanya Dave setelah Kimmy masuk ke ruang di mana keluarga mereka berkumpul.
Damian melotot ke arah Dave yang sedang tersenyum dengan manisnya. “Maksudmu?”
Dave mengangkat bahu. “Kau bilang kau tidak jatuh cinta padanya. Jadi boleh kan aku mendekatinya?”
Jangan harap! Damian menatap Dave sengit. Dia seperti singa jantan yang tidak terima jika betinanya akan diambil pejantan lain. Hidungnya kembang kempis. Mata birunya menyala-nyala.
Dave terbahak-bahak. “Bahkan dari reaksimu saja, semua orang sudah tahu kau jatuh cinta padanya. Masih menyangkal juga, hmm?”
“Aku tidak jatuh cinta padanya i***t!”
“Ya sudah. Berarti aku bisa mendekatinya kan?”
Damian mengepalkan jarinya dan meninggalkan Dave sendiri.
“Kimmmmm...” teriak Dave memanggil Kimmy yang sedang memotong Apfelstrudel.
“Ada apa?”
“Nanti kuantar pulang ya?”
Kimmy tertawa kecil. “A...”
“Tidak! Aku yang akan mengantarmu!” Damian meraung dari ruang keluarga.
“Abs memintaku menginap.”
Dave tertawa geli dan meninggalkan mereka.
“Kau jangan termakan rayuannya! Dave itu player. Penakluk wanita,” ucap Damian setelah Dave pergi. “Jangan kau pikir aku cemburu atau apapun itu! Aku hanya menyelamatkanmu dari patah hati.” Usai berbicara Damian langsung meninggalkan Kimmy. Catat ya, dia tidak cemburu! Tidak.