Sanya berjalan sambil menyeimbangkan tumpukan berkas di pelukannya. Ia tidak sendiri—Zeno pun mendapat porsi yang sama. “Pak—” Sanya menarik napas panjang karena Ardika melangkah masuk ruangannya. Lelaki itu bahkan tidak menahan pintu sedikit pun untuk membantunya. Zeno cepat-cepat menyusul. “Nona—ehem—Sanya,” koreksinya hati-hati. “Cuma dipindahkan ke sini saja.” Sanya berbalik. Karena terlalu fokus menjaga keseimbangan, ia tidak menyadari ada meja tepat di depan pintu ruangan Ardika. Zeno meletakkan berkasnya ke atas meja lalu mengambil alih tumpukan dari tangan Sanya. Baru setelah itu Sanya bisa bernapas lega. Ia berniat mengeluh, namun protes itu gugur begitu saja ketika matanya menangkap sesuatu yang berbeda dari ruangan Ardika. Pintu dan dindingnya berubah drastis. Hampir seluru

