Panther duduk seorang diri di kursi bar yang menempel pada meja panjang dari kayu gelap. Lampu-lampu gantung di atasnya meredup, memantulkan cahaya kuning lembut yang tidak cukup mengusir muram yang menempel pada wajahnya. Suasana malam itu begitu tenang, tapi pikirannya tidak. Jemarinya mengetuk pelan permukaan meja—ritme tanpa pola, tanda ia tenggelam ke dalam pikirannya sendiri. Seseorang datang meletakkan sebuah gelas berisi minuman di hadapannya. “Sepertinya sedang banyak pikiran,” ujar seorang lelaki paruh baya, duduk di sampingnya sambil meneguk minumannya sendiri. Panther tidak menoleh. “Tidak juga,” balasnya datar. Lelaki itu memiringkan kepalanya, seakan mencoba membaca wajah yang tak memberi banyak petunjuk itu. “Sejauh apa rencanamu?” Panther tidak menyentuh minumannya. Al

