MATE! [Part 5]

1196 Kata
▪︎▪︎Derren Gardolph pov▪︎▪︎ Aku berlari tak tentu arah, hanya mengikuti Rodolph yang tergesa-gesa entah kenapa. Mungkin, Rodolph juga hanya menggunakan feelingnya untuk berlari. Rasanya, seperti akan menemukan sesuatu yang berharga, sesuatu yang terus menarik perasaanku padanya. "Hei, kau mau kemana?" tanyaku, menghubungkan mindlink dengan Rodolph. Kami memang jarang bicara, tapi bukan berarti kami canggung. Sejak kecil, Rodolph dan aku sudah zaling menguasai. Kami berlatih bersama, dan bertarung bersama. Walaupun kadang aku jengkel, karena Rodolph memaksa keluar dari tubuhku. Mungkin karena bosan. "Lihat saja nanti," jawabnya singkat. Kemudian, terus menaikkan tempo berlarinya. Sampai beberapa menit kemudian, ia melambatkan langkahnya menuju semak-semak. Udara disini tak kalah dingin dengan udara di Herodotus, banyak hewan tengah berhibernasi untuk musim salju yang panjang. Dan Clan kami adalah salah satunya, tapi tidak jarang serigala malah lebih aktif dimusim dingin. Pandanganku tertuju pada seorang gadis, yang berada tak jauh dari tempatku sekarang. Cantik, mataku seolah terkunci saat melihat tubuh itu. Dialah yang akan memimpin kerajaan bersamaku nanti, Belve princiella, adalah Mate–ku. Jadi, inilah kenapa aku bahagia tanpa alasan tadi. Ternyata, Rodolph sudah merasakan aura–nya. Maka dari itu, dia bisa menemukan Belve secepat ini. Aku tersenyum senang saat menyadari, bahwa pertemuan kami bisa berjalan sebaik ini. Aku tinggal memperkenalkan diri, dan mengajaknya menikah. Tidak, tidak. Manusia, biasanya menjalin hubungan kekasih sebelum menikah. Ya, aku akan mengencani dia dulu. Kemudian, pikiranku teralih saat harum tubuhnya tercium. Sangat manis, seperti apel merah yang baru saja dipetik. Tapi aku bingung, kenapa pakaiannya basah? apa dia habis berenang? mungkin saja. Tapi kenapa, dia tak kunjung mengganti pakaiannya yang transparan itu?. Aku bahkan bisa melihat lekukan tubuh Belve, sangat indah. "Hei m***m, apa yang kau pikirkan," tegur Rodolph yang membuatku tersenyum tipis. "Aku hanya m***m untuknya," jawabku singkat. Aku tau, Rodolph sebenarnya hanya pura-pura tenang. Padahal aku bisa tau, dia sedang meledak-ledak disana. Melihat dari ekornya yang menari-nari, karena tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. "Lihatlah tubuh itu, Rodoplh. She's mine!" "Milikmu? Kau bahkan kurang peka untuk merasakan keberadaanya," sudah kuduga, respon Rodolph akan begitu. Yaa aku tidak bisa menyangkalnya, aku memang Alpha yang kurang peka. Aku jarang menggunakan tenaga, atau pikiranku selain untuk strategi perang. Karena itu sangat melelahkan. "Perih," dalam sekejap senyumanku lenyap, oleh suara menyedihkan itu. Dan setelah diperhatikan, ternyata Belve tengah menangis sesegukan. Apa? Apa yang membuatnya menangis, hingga aku bisa merasakan kesedihannya?. Aku bisa merasakan, penyesalan diri yang begitu kuat. Dia ingin tetap hidup, tapi tidak kuat dengan kehidupannya. Dan jika dia mati, berarti dia kalah dan tidak tau terimakasih. "Bisakah aku mendekatinya?" tanya Rodolph yang tak kalah penasaran. Lalu kami memutuskan, untuk mendekatinya perlahan. Aku melihat gadisku dengan tubuh kurusnya. Ia menunduk lemah, sembari meneteskan air mata yang tak kunjung berhenti. Tubuhnya gemetaran. Ada beberapa bercak darah dipakaiannya, yang membuatku mabuk dengan bau–nya. Perlu kalian ingat, aku juga keturunan Vampire. Jadi aku bisa saja tergoda oleh aroma darah, apalagi darah semanis milik Belve. Gggrrrhhhhh Sialan! Rodolph menggeram, aku sudah mengira bahwa ia tak bisa menahan emosinya. Dia pasti tidak terima melihat Belve menangis seperti itu, tapi setidaknya jangan malah membuatnya kaget. Apalagi aku masih berwujud Werewolf, kalau Belve lihat pasti dia ketakutan. "Diamlah!" bentakku pada Rodolph. Lalu aku kembali memperhatikan Belve, yang Anehnya tak menghiraukan geramanku. Atau dia tak mendengarnya? Mungkin. Aku semakin mendekati tubuh Belve, kini kami hanya berjarak sekitar 2 meter di belakangnya. Hikks hiksss. Suara tangisnya semakin terdengar, hatiku merasakan sakit yang luar biasa. Aku sudah tak tahan, aku ingin memeluknya, menghapus air matanya, melindunginya dengan seluruh kekuatanku. Saat aku ingin menyentuh pundaknya, Belve bergerak pelan yang langsung membuatku terdiam. Dia seperti mencari sesuatu di dalam tas, yang terikat diperut rampingnya. "Selamat tinggal," ucapnya pelan sambil mengangkat kedua tangan–nya, perasaanku tidak enak, apa yang akan dia lakukan?. Pisau. Dengan cepat aku melompat kearahnya untuk mencegah hal buruk terjadi, ternyata Belve ingin bunuh diri. Dan pisau itu telah dia gunakan untuk mengiris-iris pergelangan tangannya sendiri. Untuk apa dia melakukan hal gila itu? untuk apa dia menyakiti dirinya sendiri?. Begitu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya. Tidak tahukah dia, kalau aku ini bisa merasakan sakitnya? Tidak tahukah dia, kalau aku telah menantikannya selama ratusan tahun? Tidak tahukah dia, betapa berharganya itu hidup? Bahkan orang yang sudah mati, ingin hidup kembali. Rrggghh. Geramku, sembari membuang pisau tersebut. Sekarang posisiku tepat berada diatas tubuh Belve, aku sengaja mengunci pergerakannya agar tidak melakukan hal buruk lagi. Aku melihat air matanya menetes, dan itu membuatku sakit. Belve menggigit bibirnya sendiri, untuk menahan tangis. Belve menatapku dengan nerta biru itu, lalu menutup matanya pelan. "Begitu ya. Aku akan mati dimakan olehmu," ucapnya dengan suara parau, mungkin karena terlalu lama menangis. Dia pikir aku akan memakannya, jadi dia sudah pasrah berada dibawahku. "Setidaknya, di akhir hidupku, aku berguna." Aku mengubah shift–ku kembali, menjadi tubuh manusia. Belve tidak sadar, karena dia terus menutup matanya sembari menangis. Dia seolah menerima apapun yang akan terjadi padanya meskipun itu hal buruk. "Tolong.... biarkan aku pergi kali ini. Aku sudah hancur, aku tidak ingin kembali," gumam Belve sambil menutup pandangan–nya dengan kedua telapak tangan. Aku tersenyun tipis. Kemudian mendekatkan wajahku padanya untuk membisikkan sesuatu, sesuatu yang akan membuatnya tenang. "Okay," jawabku. Aku sudah menemukanmu. Aku tidak akan membiarkan kesedihan mendekatimu. Biarkan aku yang melindungimu. Biarkan aku menjadi seseorang, yang pertama kali kau cari saat badai datang. Atau, saat kau tak kuasa menahan terik. Aku akan menjadi teduhmu, sampai aku ikut lebur menjadi hujan di pipiku sendiri. "Aku tidak mengijinkanmu mati," bisik–ku. Lalu aku membenamkan wajahku dilehernya, kemudian memunculkan taring tajam. Ini mungkin akan sakit, secara... taringku ini tergolong besar. Tapi aku harus memberikan gigitan, agar Belve bisa masuk keduniaku tanpa tercium mahluk lain. Belve menahan nafasnya, saat taringku mulai menembus kulit pucat itu. Belve menggenggam rerumputan untuk menahan sakitnya, dan air matanya tak lagi mengalir. Aku menyesapi darah manis itu, sesekali memberikan kecupan kecil pada lehernya. Sejujurnya aku takut bagian Vampire–ku ini hilang kendali, rasa manis dari darah Belve membuatku tak bisa berhenti. Tapi kesehatan Belve akan terganggu, jika aku terlalu banyak menghisap darahnya. Merasa cukup dengan darah Belve, aku mulai melepaskan taringku dari lehernya. Darah masih keluar dari bekas gigitaku, jadi aku segera menjilatnya kembali. Sampai aku tau, bahwa Belve sudah kehilangan kesadarannya. Belve terlihat tenang dengan mata tertutup, setidaknya aku tidak akan melihat tangisan–nya lagi. Aku mencium bibir pucat itu pelan, menyalurkan rasa senang dan marah lewat ciuman itu. Padahal aku tau Belve sedang pingsan, tapi harum tubuhnya selalu membuat libidoku naik. Dan itu wajar, apalagi aku seorang Alpha. Aku punya naluri buas yang besar. Aku mengakhiri ciuman itu dengan berat hati, takut kesehatan Belve semakin parah karena udara dingin. Kemudian aku mengangkat tubuhnya, untuk dibawa ke tempat tinggalnya yang baru. Herodotus. "Aku disini, kau tidak perlu takut lagi," gumamku. Selama di perjalanan, aku hanya fokus menatap wajah mungil di dekapanku ini. Lalu aku berfikir, apa yang harus aku lakukan saat dia bangun? Perkenalkan diri? Ya begitu. Tapi, bagaimana jika dia tidak mau tinggal bersamaku, karena mengetahui bahwa aku bukan manusia? Bagaimana kalau dia tidak menyukaiku?. Kalau begitu, satu-satunya cara adalah.... menguncinya. Aku tidak mau kehilangan dia, aku harus memiliknya. Bagaimanapun caranya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN