▪︎▪︎Derren Gardolph pov ▪︎▪︎
Aku menembus semua pasukan Vampire pemberontak itu dengan cepat. Tentu saja dengan kekuatan Shin, yang kurasa hari ini begitu semangat. Kedua sayapnya sudah terbentang, membentuk besi tajam yang panas. Sedangkan rambutnya berubah runcing, seperti ribuan jarum yang siap menembus siapa saja yang mendekatinya.
"Bodoh," pikirku saat melihat pasukan Vampire, yang sudah kehilangan sebagian pasukannya. Heran–nya, mereka masih memaksa untuk mendekati gerbang utama. Bagaimana bisa, makhluk lemah seperti mereka bisa menghoyahkan kerajaanku. Menembus gerbang pertama saja, sudah menghabiskan setengah dari mereka. Memang, para pemberontak itu tidak punya akal. Mereka tidak memikirkan, betapa banyaknya korban yang berjatuhan disana.
Herodotus memiliki lima gerbang, untuk masuk ke bagian kastil. Gerbang pertama, yaitu pintu masuk wilayah kastil yang dibagi menjadi 3 bagian. Gerbang kedua dan ketiga, merupakan tempat tinggal para Werewolf. Sedangkan gerbang ke–empat dan ke–lima, sebagian besar adalah hutan, sungai dan sedikit perumahan. Derren, memutuskan untuk menggunakan gerbang dan dinding tinggi. Untuk memperkuat perlindungan, dan mempermudah dalam pembagian wilayah.
"Kau lelah, Shin?" tanyaku pada Shin karena kami memang sudah lama berlari diantara Vampire yang menyerang, sebenarnya aku hanya berniat basa-basi karena dia pasti tak suka dengan pertanyaan itu.
"Yang benar saja. Aku bahkan belum membunuh siapapun," memang benar jika sejak tadi tak ada sataupun musuh yang mendekati kami. Shin memang penjaga yang cocok untuk kerajaan. Tubuh yang besarnya seperti banteng, cakar setajam pedang, dan juga mata setajam elang.
"Aarrrggh!!" aku menggeram saat daerah dadaku merasa sakit secara tiba-tiba, dan tubuhku panas. Apa ini? tidak mungkin aku terkena sihir. Aku merasa dadaku semakin sesak, jantungku berdetak cepat tak beraturan.
Aku menutup mataku. Mencoba meregangkan otot yang terasa kaku, mungkin karena itu dadaku jadi sakit. Tapi tiba-tiba, sebesit gambaran muncul dipikiranku. Siapa dia? kenapa terlihat begitu menyedihkan?. Walau tak begitu jelas, aku bisa melihat kalau seseorang itu adalah perempuan. Jika di lihat dari postur tubuhnya.
Semua terjadi begitu cepat seperti sebuah potongan film. Karena masih penasaran, aku memaksakan pikiranku untuk kembali ke gambaran itu. Namun gambaran itu tak kunjung muncul. Aku membuka mataku, melihat sekeliling namun tak ada apapun yang menarik. Hanya beberapa kaum pemberontak yang tengah sekarat.
Tapi aku tidak menyerah, aku memejamkan mataku kembali. Aku sangat penasaran, siapakah orang itu. Dan yang aku lihat adalah, seorang gadis yang tengah meringkuk. Aku tak bisa melihat jelas wajahnya, tapi kenapa dadaku sakit? Bukankah harusnya aku senang, karena menemukan Mate-ku?.
"Aku merasakan aura Pangeran," ucap Shin yang sontak membuat pikiranku teralihkan. Entah siapa gadis itu, aku akan mencari tahu lagi nanti. Aku harus bertemu gadis itu, secepatnya. Beberapa menit kemudian, aku melihat Vano yang tengah menangis, di balik batu besar di sebelah sungai. Dia memeluk tubuh seorang gadis pucat, yang penuh luka. Dari auranya, aku bisa tahu kalau dia bukan dari clan Werewolfs.
"Ka-kakak, tolong dia...." isak Revano ketika menyadari kedatanganku.
Aku menuruni punggung shin, kamudian berjalan pelan menuju posisi Revano. "Siapa Vampire ini?" tanyaku.
"Aku tidak tahu siapa dia. Tapi... tapi, dia adalah Mate-ku!" jawaban Vano membuatku sedikit terkejut. Bagaimana Vano menemukan Mate–nya secara tiba-tiba seperti ini? ditengah perang. Apalagi Gadis ini memiliki aura yang kuat. Aku yakin, kalau Gadis ini bukan dari sembarang kasta.
"Kau yakin?" tanyaku memastikan. Yaa kalau bukan pun tinggal aku bunuh saja nanti, mudah.
"Aku yakin. Harum–nya berbeda," jawab Vano masih sambil memeluk gadisVampire yang terkulai lemah.
"Bawa dia ke kastil. Shin akan mengantarmu," perintahku, sembari menatap tajam gadis yang tergulai di pangkuan Vano. Rambutnya putih dan panjang, bibirya pucat mungkin karena kehabisan darah.
"Bagaimana denganmu?" tanya Revano terlihat khawatir, padahal aku terbiasa melakukan apapun sendirian.
"Aku ada urusan lain," jawabku singkat.
"Berhati-hatilah, Kak," mendengar ucapan Revano, aku segera menganggukkan kepala. Mencoba membuat suasana sedikit tenang, karena Revano terlihat sangat panik.
Aku menghubungkan Mindlink–ku dengan Edmond. Menyuruhnya agar segera membereskan kekacauan, setelah semuanya selesai. Aku yang tidak ingin membuang waktu lagi, segera mengumpulkan fokus–ku. Mencari petunjuk, dimana gadis itu berada. Namun, tak ada petunjuk yang terlihat. Pikiranku hanya penuh, tentang bagaimana kesedihan yang tengah gadis itu alami.
Sreekkk!!!
Aku memutar badanku cepat, saat mendengar sebuah gerakan. Sial! Sebuah panah berukuran kecil, dengan cepat melesat ke arahku. Aku sesegera mungkin menghindarinya. Tapi karena salah perhitungan, panah itu jadi menggores wajahku. Bahkan, hampir saja aku kehilangan mata kiri–ku. Aku berganti shift menjadi Rodolph, serigalaku.
Rodolph berukuran besar, dengan bulu hitam seperti gagak, dan mata Hazel yang menyala. Untuk serigala seorang Alpha, Rodolph memanglah berukuran besar seperti banteng. Berbeda dengan Werewolf biasa, yang hanya punya serigala berukuran normal.
Rodolph melolong. Elementku tak sepenuhnya di kuasai Rodolph, jadi aku masih bisa mengendalikan pikiran dan tubuh ini. Tanpa pikir panjang, aku melesat ke arah datangnya panah tadi. Mengunci tubuh si pelaku dibawahku. Dengan segera, aku merobek masker kain yang menutupi wajahnya. Ingin melihat, siapa yang berani-beraninya, menyerangku secara langsung. Aku terdiam, setelah melihat siapa berada di bawahku ini. Seorang gadis muda, yang tidak asing lagi bagiku. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya disuatu tempat.
"Kembalikan Kakak–ku," ucapnya sambil gemetaran. Dia pasti ketakutan, bisa dirasakan daru auranya yang menipis.
"Jangan bunuh Kakak–ku, Alpha. Aku Sirene, Putri kedua Clan Vampire," jelasnya. Pantas saja aku mengenalnya, aku pernah melihatnya saat pertemuan antar kerajaan diwaktu lalu. Walaupun dia sudah lebih dewasa, dari yang terkahir kali kulihat. Tapi, aku masih bisa mengenali aura yang dia miliki. Aku kembali mengubah shift–ku menjadi manusia, lalu memberikan jarak untuk Sirene agar bisa bergerak.
"Kakak–mu akan berada di kerajaanku untuk sementara waktu. Aku tak akan membunuhnya, selagi dia tidak memberontak," ucapku menjelaskan. Karena aku belum bisa memberi tahu Sirene, kalau Kakak–nya adalah Mate Revano. Aku belum tahu, apakah itu hanya trik mereka atau memang benar.
"Kau kejam, kau monster! Bagaimana bisa aku percaya perkaataamu," cetusnya dengan suara meninggi.
"Jaga ucapanmu. Bagaimana jika Ayah–mu tahu, kalau kalian ikut campur dengan Vampire pemberontak?" aku tak pernah suka jika seseorang bicara padaku dengan nada meninggi. Apalagi sambil menatapku secara terang-terangan.
"Ahh... kurasa dia akan kecewa," desisku dengan mengintimidasi. Tujuannya hanya untuk membuat Sirene diam, dan tidak membuatku tambah jengkel.
"Maaf," gumam Sirene pelan. Memang benar kalau Sirene ini seorang Putri, dilihat dari tingkahnya saat meminta maaf. Gengsi dan tidak mau merendah.
"Bawa mundur pasukanmu," ucapku tegas. Kemudian mengubah diriku menjadi serigala lagi, lalu pergi meninggalkan Sirene yang masih terdiam.
***
▪︎Belve Princiella Pov▪︎
Bibury, Inggris 5PM
Aku menenteng tasku malas, malas berjalan menuju rumah. Anak lain pasti sangat sennag ketika pulang, tapi berbeda denganku. Pulang ke rumah, terasa seperti pergi ke jurang masalah. Apalagi sehabis kejadian hari ini, pasti Boy tidak akan membiarkanku tenang. Lagipula.... salahku juga karena membuatnya marah.
Aku bingung. Mereka tidak pernah menginginkan keberadaanku, tapi juga tidak mengijinkan aku pergi. Bahkan saat aku mencoba bunuh diri, Ibu berusaha keras untuk menyelamatkan aku. Sebenarnya, aku ingin menyudahi hidupku yang menyedihkan ini. Tapi aku berpikir, setidaknya aku harus membalas kebaikan mereka. Atau... aku tidak boleh kalah dengan kehidupan menyebalkan ini. Mereka telah membesarkanku selama 17 tahun ini, walaupun dengan kebencian tiap harinya.
Aku harus bertahan untuk hidupku dimasa depan, barangkali aku menemukan kebahagiaan tiada tara. Mungkin ini salah satu ujian, sebelum kebahagiaan itu datang. Jika aku masih di izinkan untuk hidup, lebih baik aku menerimanya. Dan menjalankannya dengan sebaik mungkin.
Aku menghela nafasku panjang, sambil mempersiapkan diri.
Lalu aku membuka knop pintu dengan pelan, berharap tak ada yang menyambutku. "Sudah pulang, Princess?!"
"I-ibu..." ucapku pelan, perasaanku mulai tidak enak setelah mendengar sapaan Ibu barusan. My god... apa yang yang akan terjadi padaku setelah ini.
"Wah wah... kau terlihat sangat bahagia. Aku ingin tahu kenapa?" tanya Boy sembari mendekatiku.
Aku yang takut, segera memundurkan diri ke daun pintu. Bersiap keluar jika boy akan menyakitiku, lagi. "Sorry," lirihku dengan gemetaran.
"Kau ingin aku memaafkanmu?" tanya Boy, sambil meremas tanganku kuat. Lalu aku mengangguk cepat, sebagai jawabanku.
"Kalau begitu, kau harus memetikkan aku apel. Apel yang biasa Ayah bawa pulang," permintaan Boy kali ini sontak membuatku terkejut. Dia memintaku memetik apel, yang letaknya ada didalam hutan rimbun yang gelap.
Memang biasanya, disaat memasuki musim dingin seperti ini. Ayah selalu membawakan apel, saat pulang bekerja. Katanya, apel itu terasa berbeda karena terkena udara dingin. Entahlah, aku hanya memakannya sekali saat aku kecil. Dan rasanya.... sangat manis.
"Tapi Boy, kau tahu di daerah itu banyak binatang buas.... bagaimana jika ada serigala? Atau ular?" ucapku memberi alasan. Tapi memang benar kok, dihutan itu banyak binatang liar. Khususnya serigala, hewan pemakan daging itu berkeliaran bebas disana.
"Tak ada alasan! jika Boy menginginkannya, maka itu adalah tugasmu!" bela Ibu pada Boy, seperti biasa.
"Bawa pisau ini, siapa tau mereka ingin bermain denganmu," ujar Boy sambil memberikan tas kecil, yang ternyata berisi pisau. Kemudian aku berfikir, yaaa setidaknya aku punya alat untuk bertahan diri.
"Berhati-hatilah, Adik kecil." Suara Boy membuatku merinding, senyum tipisnya seolah menertawakan ketakutanku.
Tak mau membuang waktu lagi, dengan cepat aku berlari keluar rumah. Menuju gerbang untuk mengambil jas merah penghangat, yang tergantung di tiang lampu.
"Semoga aku kembali dengan selamat," bisikku pada diriku sendiri. Aku memang selalu berdoa seperti itu, karena aku tak tahu apa yang akan terjadi nantinya.
Perumahan dan hutan itu, berjarak sekitar 2KM. Maka dari itu jarang dikunjungi, hanya beberapa pemburu yang memang bekerja disana. Apalagi banyak yang bilang kalau hutan itu terkutuk, jadi para penduduk sangat menghindarinya.
Aku berjalan pelan menyusuri hutan, sambil memeriksa sekitar takut ada binatang. Jika aku berlari, takutnya malah menarik penghuni disini. Udara terasa dingin, aku memasukkan tanganku kedalam saku jas, bahkan kaki ini terasa membeku. Mungkin karena aku masih memakai seragam sekolah, dengan atasan yang tipis dan rok yang cukup pendek.
Sraakkk!
Huh?! Siapa itu?! Oh tidak aku bahkan belum sampai ke pohon apelnya. Jika aku putar balik menuju rumah, tanpa membawa hasil.... sama saja aku terkena masalah. Lebih baik aku berjalan dengan tenang, sampai kudapatkan apel itu. Kalau tidak salah, letaknya didekat sungai.
"Tenang Bel. Itu hanya suara tupai," gumamku untuk menenangkan diri sendiri. Kenapa gelap sekali? apa karena memasuki musim dingin? Yaah kurasa seperti itu.
Sreekk!!
"Tenang tenang tenang. Jangan takut Bel.... semakin kau takut, semakin kau lemah oke?" yakinku penuh. Dengan pelan aku mengambil langkah, kemudian menyadari kalau aku membawa pisau di tas ini. Karena semakin takut, aku mempercepat langkahku, lalu mengeluarkan pisau untuk berjaga-jaga.
Sraasshhh srraashhh
Suara sungai yang terdengar jelas, membuatku sedikti lega karena hampir mendapatkan tujuanku. Setelah berhasil mengambil apel, aku tinggal berjalan tenang seperti sebelumnya untuk sampai rumah. Dan semua selesaaaiii, kurasa....
Srrakkk!!
Bunyi itu lagi, aku langsung mengalihkan pandanganku pada semak-semak di belakangku. Aku merasa ada yang mengikutiku dari tadi, tapi aku selalu menepis pikiran itu. Jika itu hewan buas, kenapa tidak muncul dari tadi? tidak mungkin manusia. Lagi pula, manusia bodoh mana yang berada di hutan gelap seperti ini. Ya, selain aku. Merasa keadaan kembali aman, aku kembali melihat kedepan. Lalu menaiki batu besar untuk mencari cara, agar bisa menyebrangi sungai ini. Tapi bisa-tiba....
Brusshhh!!
Seorang... atau sesuatu mendorongku dengan kuat, hingga aku terjatuh ke derasnya air sungai. Jujur saja, aku punya trauma pada kedalaman air karena kejadian masa lalu. Dan tidak aku sangka, kejadian itu terulang kembali.
Aku berusaha berpegangan pada akar pohon yang ada, namun yang aku temukan hanya tanaman berduri. Tapi aku harus menggengam tenaman itu, agar bisa bertahan. Walaupun harus tertancap banyaknya duri, aku lebih takut jika tenggelam. Perih, satu kata yang bisa mengungkapkannya.
"Bye," samar-samar aku melihat siluet laki laki. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, wajahnya tertutup sesuatu.
Apakah dia yang telah mendorongku tadi? Siapa dia? Apa aku terlalu menjijikkan, hingga mereka berusaha mencelakaiku dimanapun tempatnya? Mereka bahkan tak membiarkanku bernafas dengan tenang.
Huurrpp!!
Tanganku terlepas hingga aku kembali tertarik derasnya sungai, dan tidak ada akar lagi yang bisa ku pegang. Sesekali, aku berusaha memunculkan kepalaku ke daratan, untuk mengambil nafas. Namun itu tak berlangsung lama, dadaku perhalan mulai sesak karena air yang terlalu dingin. Mataku sangat perih, aku meraba sekitar namun hanya derasnya air sungai yang menyambutku. Kejadian ini sama persis dengan yang kualami saat kecil, mungkin kematian akan memilihku kali ini.
Bugghhh!
Kepalaku mengahantam batu dengan cukup keras. Namun dengan sisa kesadaranku, aku berusaha cepat untuk berpegangan, dari pada harus tenggelam lagi. Tanganku masih perih karena goresan tadi, tapi aku masih harus mengangkat tubuhku ke daratan.
Kepalaku pusing, darah mengalir perlahan bersamaan dengan air mata. Aku merangkak berat menuju daratan, takut jika derasnya air sungai melampui batu ini. Kaki–ku seolah mati rasa karena kedinginan. Persetan tentang pakaianku yang transparan, lagipula tidak akan ada yang melihatnya. Akhirnya, usahaku tidak sia-sia. Aku berhasil sampai didaratan, dengan nafas terengah-engah. Sambil mengatur nafasku, aku berbaring di atas rumput yang basah.
"Perih," aku menatap setiap goresan di telapak tanganku. Tak terasa, air mata mengalir deras dipipiku. Siapa yang begitu niat mencelakaiku sampai mengikutiku sejauh ini? Siapa?
Dunia ini begitu kejam untuk aku yang lemah ini, begitu banyak orang yang tidak menginginkan keberadaanku. Mereka terus menyiksaku, tanpa membiarkan aku mati. Mereka terus membenciku, walau aku tak tahu apa yang salah dariku.
Setidaknya tolong beri tahu aku, apa kesalahanku. Agar aku bisa memperbaikinya, dan kalian tak lagi membenciku. Aku bahkan sampai takut untuk bangun di pagi hari, takut membuat kesalahan hingga orang-orang semakin membenciku.
Aku takut.
Aku sangat takut.
Aku hanya bisa melarikan diri.
Lalu menangis.
Aku hanya akan terus menangis walaupun aku tahu, dunia tidak akan berhenti hanya karena mendengar tangisanku. Kumohon untuk terakhir ini saja, tolong biarkan aku terbangun diduniaku yang lain. Maafkan aku telah menyerah kali ini. Maka kumohon, berikan aku kekuatan hati yang lebih dikehidupan selanjutnya.
Ayah, Ibu, Boy.....
Kalian akan terbebas dari anak memalukan ini, aku akan pergi dari kalian untuk selamanya. Aku berterima kasih untuk kebaikan kalian, dan aku memaafkan kejahatan kalian. Hiduplah dengan kebahagiaan kalian, tapi jika kebahagiaan kalian adalah tangisanku, maka kalian tidak akan merasa bahagia. Karena aku akan berhenti menangis. Aku akan tidur dengan tenang, di tengah bunga Dandelion putih.
Selamat tinggal.....