Not me [Part 3]

1350 Kata
I'm just a kid..... Kenapa kalian memperlakukanku seperti itu?  Apakah aku seburuk itu?  Jika tidak ingin menganggapku sebagai anak, tolong perlakukan aku, layaknya Bos pada bawahannya.  "Jujur pada Ibu, Boy. Apa kau yang mendorong Bel masuk kedalam danau?" Ayah dan Anak itu sontak terkejut, karena pertanyaan yang keluar dari mulut Latavia. Sedangkan Wanita paruh baya itu, memasang wajah serius, dan matanya menaruh harapan pada jawaban yang akan Jameson berikan nanti. "Tidak, Bu, mana mungkin aku melakukan hal sejahat itu. Belve bilang ingin memetik bunga, padahal aku sudah bilang disana ada danau terkutuk!" Belve tidak kaget dengan jawaban yang Jameson berikan, dia tahu bahwa Jameson akan berbohong. Lagipula.... Belve pasti akan kalah, dan mendapat siksaan lagi. "Kau dengar sendiri! jelas-jelas kau yang melanggar aturan, Bel. Bahkan membahayakan nyawa anakku!" bentak Latavia sembari menarik kasar rambut Bel, yang masih basah. Air mata tak lagi bisa tertampung, Belve menangis berharap Ibunya ini mempercayai ucapannya. "Aku tidak berbohong, Bu. Aku memang pergi memetik bunga tadi. Boy bilang dia ingin menemaniku, Saat.... saat itu...." isak tangis terdengar disela sela ucapan Belve yang menahan tangis, lalu mengapus air matanya cepat. "Saat itu, Boy—" "Jangan beralasan! Bu, pasti dia mau berbohong lagi." Potong Jameson, saat Belve belum selesai menjelaskan, lalu James memegang tangan Anaknya agar lebih tenang. "Biarkan dia menjelaskannya, Boy," belaan James membuat Belve merasa sedikit tenang. Walaupun Belve tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi Belve berharap keadilan akan berpihak padanya. Latavia pun melepaskan rambut Belve, yang sendari tadi ia jambak. Lalu mengelap tangannya seolah Belve itu adalah kotoran. Sedangkan Jameson, hanya mengendus kesal pada Ayahnya. Dia memberikan kesempatan pada Belve, untuk mengungkap semuanya. Jika orang tuanya percaya..... pasti Jameson akan mendapatkan hukuman berat, tantu karena mencoba melakukan pembunuhan. "Saat Ayah dan Ibu pergi, aku memang berencana memetik bunga untuk dijual nanti. Boy bilang dimusim dingin seperti ini, bunga indah banyak mekar disuatu tempat, ternyata itu ada dihutan. Aku lupa kalau ada danau juga disana, tapi kupikir, tidak akan masalah jika memetik bunga saja. Tanpa mendekati danau itu," Belve mengambil nafasnya dalam untuk menjelaskan yang selanjutnya. "Aku mendengar Boy memanggilku, sambil melambai-lambaikan tangannya. Dia bilang, ada ikan emas yang sangat cantik. Aku melihat ke arah air danau, tapi tiba- tiba Boy menekan kepalaku kedalam air...." ucapanya berhenti, ketika air matanya dengan deras turun mengingat kejadian menakutkan itu. "Dadaku sakit, Ayah. Mataku tak bisa melihat apapun, lalu aku merasa semua sudah berakhir. Kukira aku sudah mati dan itu hanya mimpi terakhir dari tuhan. Tapi ternyata, aku bisa mencapai daratan kembali hidup-hidup," jelas Belve panjang lebar pada orang tuanya, yang terlihat sedang mencerna ucapan Belve dengan seksama, mata meraka saling menatap. "Apa benar yang Bel katakan, Boy?" tanya James serius pada anaknya yang terdiam setelah mendengar penjelasan dari Belve. Jameson memikirkan cara agar orang tuanya tak berpihak pada Belve, sambil berfikir... Jameson sesekali menatap tajam ke arah Belve. "Tidak! aku tidak melakukannya, Ayah. Percaya padaku!" jawab James sambil menggenggam erat tangan Ayahnya, yang sedang mengepal. Lalu beralih kepada Ibunya yang menundukkan kepalanya tanpa sepatah katapun, sepertinya mereka bingung ingin membela siapa. "Percayalah padaku, Ibu. Aku adalah anak kandungmu, aku tidak mungkin berbohong padamu," rayu Jameson pintar, ia menggunakan cara yang membuat sang ibu luluh dengannya. Memang selama ini, Jameson selalu dimanja oleh orang tuanya. Karena memang pada dasarnya,ndia adalah anak satu-satunya. Karena kesehatan Latavia, dia tidak memungkinkan untuk mengandung lagi, dan dokter menyarakan untuk tidak. Sedangkan Belve hanya diam, seperti tahu bahwa penjelasaanya akan sia-sia seperti biasa, Jameson selalu di bela walaupun itu salah. "Bel, kupikir... otak anakku masih jauh dari hal gila seperti itu. Dari mana dia berpikiran untuk membunuhmu di usianya yang masih 10 tahun. Dan kau...." "Berhenti menyalahkan anakku, untuk semua kesalahanmu. Kau harus sadar posisimu disini! kau hanyalah anak pungut, yang tidak tau terima kasih!" Kau hanya anak pungut yang tidak tau terimakasih!. Kau hanya anak pungut yang tidak tau terimakasih!. Kau hanya anak pungut yang tidak tau terimakasih!. Kata-kata jahat itu terus berputar di kepalanya setiap hari, itu adalah kata-kata paling kejam selama sembilan tahun ini. Setiap malam Belve menangis sambil mengutuki dirinya sendiri, 'Kenapa aku tidak mati saja,'. Itulah yang dia pikirkan. Jujur saja, Belve ingin mengakhiri hidupnya yang menyedihkan ini, tapi mati bukan jaminan untuk bahagia didunia yang lain. Maka dari itu, Belve akan menjadikan kata itu sebagai patokan hidupnya, yaitu.... harus sadar siapa dirinya di keluarga ini. ▪︎▪︎ Flashback off ▪︎▪︎ Belve duduk diam, di bangku paling belakang yang. Pandangannya fokus kepada guru, yang berada didepan kelas. Umurnya genap 17 tahun, 2 minggu yang lalu tanpa ada perayaan ataupun ucapan. Belve hanya berdoa, agar diberi kekuatan lebih untuk hidup. Sesekali ia menoleh kearah hutan, melalui jendela yang memang tepat berada di sampingnya. Memperhatikan seekor burung, yang berterbangan bebas menikmati terpaan angin. Belve berpikir, kapan dia bisa terbang bebas seperti burung-burung itu? Kapan Belve bisa terlepas dari belenggu jahatnya dunia. "Belve! aku tahu kamu pintar, tapi tolong hargai aku sebagai Gurumu," Belve tertegun mendengar ucapan Gurunya yang tanpa ia sadari sudah berada di sampingnya. "Sorry, Miss..... aku tidak bermaksud mengabaikanmu," jawabnya sembari membungkukkan badannya tanda meminta maaf. Beruntungnya, gurunya ini adalah orang yang sabar dan bisa mamaklumi kesalahan orang. Dan dia adalah guru favorit Belve, Miss Gretta. Guru Belve hanya mengangguk, kemudian menepuk-nepuk pundak kiri Belve untuk menyemangatinya. Namun bukannya merasa senang atau berterimakasih, Belve merasa kesakitan setelah punggungnya disentuh. ▪︎▪︎Belve Princiella Pov ▪︎▪︎ "Belve! Aku tahu kamu pintar, tapi tolong hargai aku sebagai Gurumu," oh tidak.... karena terlalu menikmati pemandangan luar, aku sampai melupakan keberadaan Guruku yang sedang mejelaskan materi. "Sorry, Miss...... aku tak bermaksud mengabaikanmu," ucapku memelas. Berharap guruku ini memaklumi kesalahanku, jangan sampai aku dihukum. Aku membungkukan badanku, meminta maaf karena mengabaikan pelajarannya. Aku menatap wajahnya, lalu ia menunggingkan senyum halus yang membuatku merasa lebih lega. Sepertinya aku akan baik baik saja iya kan? Setelah aku membalas senyumannya, Miss Gretta menepuk pundakku beberapa kali, yang membuatku terkejut bukan main. Badanku seperti terkena setruman lisrik tegangan kuat, seiringan dengan sentuhan tangan guruku ini. Tubuhku seolah menolak akan sentuhan itu, tapi kenapa? Apa miss Gretta menempelkan sesuatu pada tubuhku?. "Aaakkkhhhh!" Aku menjerit kesakitan, pundakku semakin merasa panas dan juga sakit. Aku memegang pundakku erat, berharap rasa sakit menghilang. Namun panas itu justru mejalar ke seluruh tubuhku. Rasanya, seperti tengah berada dikobaran api besar. Aku menggenggam erat seragamku sendiri, air mata mengalir begitu saja. Walaupun aku sudah mencoba menahan tangis, namun gagal dan badanku seperti hancur. Aku meletakkan kepalaku diatas meja, untuk menetralkan rasa sakit ini. Namun perhatianku teralihkan, saat melihat sebuah cahaya emas terpancar dari luar. Eh? Apa itu? Mataku yang buram akibat air mata, tiba-tiba melihat seekor burung indah dari kejauhan. Dia terbang mengitari pepohonan lalu mendekat ke arahku. Sungguh indah.... sekarang aku bisa melihatnya lebih jelas, burung jenis apa dia? aku tak pernah melihat burung, dengan bulu merah yang menyala. Ekornya panjang dan sayapnya yang indah mengepak-ngepak, tepat didepanku. Hanya jendela kaca, yang membatasi. "Belve!" Suara Miss Gretta, membuat perhatianku kembalk teralihkan. Dengan cepat, aku menghapus sisa-sisa air mata yang ada. "Belve, kau baik-baik saja?" tanya Miss Gretta dengan nada khawatir, sedetik kemudian aku menyadari sesuatu. Rasa sakit itu sudah tidak berasa lagi, mungkin karena terlalu menikmati kecantikan burung tadi. "Hanya merasa tidak enak badan," jawabku sambil melepaskan genggaman pundakku. "Pergilah ke ruang kesehatan.... sepertinya kau butuh istirahat," ujar Miss Gretta sambil membantuku berdiri, dia adalah guru paling baik yang ada di sekolah ini, aku mengakuinya. "Saudari tirimu itu aneh, dia hanya terbantu karena wajahnya cantik saja," ejek salah satu anak laki-laki, saat aku melewati bangku mereka. Oh tidak, aku pasti mendapat masalah nanti. Boy terlihat sangat marah, mukanya merah menahan emosi dan matanya menatapku penuh ancaman. Dengan isyarat mata, Boy menyuruhku cepat keluar dari kelas. Membuatku berlari kecil, sambil menunduk. Selama perjalanan, aku menikmati angin yang menyapu wajahku dengan halus, membiarkan pikiranku tenang untuk sejenak. "Huuhhh hari yang berat," ucapku sendiri sambil berbaring diranjang ruang kesehatan. Hanya ada satu penjaga, tapi dia pergi karena ada urusan lain. Lalu dia meminta maaf karena tidak bisa menemaniku. Fine! Karena aku merasa baik-baik saja, bahkan merasa senang entah kenapa. Tekan ♡ untuk tetap dukung Minky ya, tulis apresiasi kalian dikolom komentar jika berkenan^^ See you in next part
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN