Chapter 4

983 Kata
Hujan.             Saat ini Hilya tengah terjebak di antara tetesan demi tetesan air yang membasahi bumi, duduk sendirian di halte bus depan sekolahnya karena supir pribadi Hilya yang sedang sakit dan tidak mungkin bukan jika Hilya memaksa minta jemput oleh supirnya itu.             Dan, handphone Hilya juga mati membuat gadis itu tidak memiliki pilihan lain selain berharap sang dewa hujan mau berhenti barang sebentar agar Hilya bisa pulang menggunakan ojek yang berada di seberang jalan sana.             "Sembilan puluh enam ... sembilan puluh tujuh ... sembilan puluh sembilan ... seratus ...."             Kurang kerjaan, setidaknya dua kata itulah yang cocok untuk Hilya yang menghitung tetesan air hujan yang membasahi ujung sepatunya yang sengaja ia julurkan.             Hilya suka hujan.             Namun, Hilya tidak suka pelangi.             Hilya ingin seperti hujan yang tetap kembali ke atas langit meski pada akhirnya langit akan membuangnya kembali ke bumi. Bukan seperti pelangi yang indah, namun, hanya sesaat.             "Cintailah hujan bukan pelangi yang datang setelah hujan karena kamu nggak pernah tau indahnya pelangi jika tanpa hujan." Hilya ingat betul, seseorang pernah mengatakan hal itu padanya. Tentang mencintai sebuah penderitaan agar kita bersyukur dengan kebahagian yang akan datang.             Kebahagian yang sesaat.             Atau kebahagian yang kekal.             Percayalah, kebahagian itu kita sendiri yang menciptakan.             Hilya menghela napasnya berat, memeluk tubuhnya sendiri karena hawa dingin seakan membekukan tubuhnya yang hanya terbalut baju sekolah tanpa jaket.             Hilya lupa membawa jaketnya saat membutuhkan seperti ini, padahal biasanya ia tidak pernah absen membawanya.             Kejadian di kantin tadi masih seakan menggentayangi Hilya, Davren luka. Semoga saja cowok itu tidak lupa mengobati luka di sudut bibirnya karena jika dibiarkan saja bisa infeksi dan berakhir dengan berbahaya.             Hilya menyandarkan tubuhnya pada sandaran halte, menatap ke sekitar jalan raya yang sudah mulai sepi. Jam sudah menunjukan pukul 18.12 dan belum ada tanda-tanda hujan mereda.             "Apa gue jalan aja ya?" tanya Hilya pada dirinya sendiri karena tidak mungkin abang ojek mau mengantarkannya hujan-hujanan dan lebih tidak mungkin juga jika dia terus berdiam diri seperti ini.             Sebenarnya bisa saja Hilya meminta tolong pada Lila atau Feni untuk menjemputnya, tapi jarak rumah kedua temannya itu jauh dari sekolah dan berlawanan arah dengan rumah Hilya.             Tatapan Hilya terkunci pada satu titik di mana titik itu berhasil membuatnya berlari menerobos hujan, mengabaikan tubuhnya yang mulai membasah.             "Davren!"             Pekikan gadis itu terdengar nyaring saat berdiri beberapa meter dari titik yang menjadi alasannya berlari. Davren sedang bertarung dengan enam orang dengan pakaian SMA yang berbeda dengan yang Davren dan Hilya kenakan.             Jantung Hilya rasanya mau keluar saat Davren dikeroyok oleh mereka, dengan tergesa Hilya melepaskan kedua belah sepatunya dan melemparnya ke arah orang-orang yang mengeroyok Davren. Bukan hanya sepatu, gadis itu juga melempar tasnya.             Berhasil.             Sepatu dan tasnya mengenai salah satu di antara enam orang itu, tapi yang lebih berhasil lagi, mereka berenam menatap ke arah Hilya membuat Davren mendapat kesempatan untuk menyerang mereka.             Hanya sesaat senyum Hilya mengembang karena mendadak luntur seketika berganti rasa takut.             "Anjing!" bentak salah satu dari mereka dan berjalan tergesa ke arah Hilya yang menatap sekelilingnya takut, mencoba mencari bantuan.             Gadis itu melangkah mundur saat orang itu terus mendekat, sampai akhirnya Hilya tidak menyadari ada beling di dekat kakinya dan saat ia melangkah ....             "Awww!" jerit gadis itu yang langsung terduduk karena beling yang diinjaknya cukup besar dan menancap dalam di telapak kakinya. Seketika kaus kaki putih gadis itu memerah karena darah dan cowok yang berdiri tidak jauh dari Hilya tersenyum puas.             "Cantik juga," ucapnya sambil mengedipkan matanya ke arah Hilya yang langsung dihadiahi Hilya tatapan jijik.             Cowok itu melangkah mendekat ke arah Hilya yang mencoba menggeser posisinya saat cowok berjongkok di samping Hilya.             Mata cowok itu tertuju pada name tag yang berada di d**a kiri Hilya. "Hilya, nama yang cantik," ucapnya sambil tersenyum memamerkan giginya yang kekuning-kuningan. Menjijikan.             "Lo mau apa?!" bentak Hilya saat tangan cowok itu terangkat ingin menyentuh pipi Hilya.             Hilya menepis dengan kasar tangan cowok itu dengan napas memburu.             Cowok itu terkekeh pelan, lalu memamerkan senyuman mesumnya. "Mau cium—"             Belum sempat cowok itu menyelesaikan ucapannya, tubuhnya sudah terlempar jauh dari hadapan Hilya dan yang membuat Hilya membulatkan matanya adalah yang melakukan hal itu, Davren.             Antara syok dan bahagia. Davren membela Hilya? Cowok itu melindungi Hilya? Benarkah?!             Tentu saja benar! Inilah Davrennya Hilya, Davren si pelindung yang membuat Hilya jatuh cinta.             Tidak sampai dua menit, akhirnya Davren berhasil menumbangkan enam lawannya. Di luar dugaan Hilya, Davren melangkah mendekat ke arahnya, melirik kaki Hilya yang berdarah.             "Ceroboh." Hanya satu kata, namun, berhasil membuat Hilya membeku.             Ceroboh, kata itu selalu Davren ucapkan saat Hilya melupakan membawa sesuatu, ingin terjatuh, atau menjatuhkan sesuatu.             Belum sempat kesadaran Hilya kembali sepenuhnya atas keterkejutannya dengan sikap Davren, cowok itu berjongkok membelakangi Hilya. Membiarkan punggungnya berhadapan dengan wajah Hilya.             "Naik," ucap cowok itu dingin dan datar.             "Naik?" ulang Hilya tidak percaya yang tidak dijawab sama sekali oleh Davren.             Hilya tersenyum tipis, mencoba berdiri, namun, gadis itu justru hampir terjatuh jika Davren tidak dengan sigap menahan tangan Hilya.             Hilya dan Davren saling tatapan untuk sesaat dengan pemikiran dan perasaan mereka, hanya kebisuan yang menyeruak ditemani tetesan hujan yang terdengar bagai melodi indah di telinga Hilya.             Davren memutuskan kontak mata mereka.             "Hati-hati." Davren memejamkan matanya sesaat, merutuki mulutnya yang dengan mudahnya mengatakan hati-hati. Tentu saja hal itu bukan masalah jika orang lain yang mengatakannya, tapi ini seorang Davren yang mengatakannya.             Senyum Hilya semakin mengembang saat tubuhnya sudah berada di atas punggung Davren. Dengan hati-hati Davren bangkit, namun, pekikan Hilya berhasil menghentikan langkahnya.             "Tas sama sepatu aku!"             Davren memutar matanya malas, tapi cowok itu tetap saja melangkah dan mengambil tas serta sepatu Hilya yang bentuknya sudah tidak karuan.             Perlahan tangan Hilya memeluk leher Davren, menyandarkan kepalanya di pundak Davren dengan mata terpejam.             Hujan menjadi saksi bisu saat secerca harapan tumbuh, ini tentang Hilya dan mimpinya.             Tentang Hilya dan perasaannya.             Tentang Davren dan alasan perubahannya.             Tentang Davren dan Hilya yang memiliki tujuan berbeda.             Tentang Davren dan Hilya yang memiliki masalalu berbeda. Bedanya, Hilya mencoba merangkai masa depannya dengan Davren, sedangkan cowok itu mencoba menghancurkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN