Flashback.
"Davren!" Hilya tersenyum cerah saat cowok yang dipanggilnya menoleh, gadis itu berlari mendekat pada cowok itu.
Dia adalah Davren Alzelvin, sahabat pertama yang Hilya dapatkan saat SMA.
Si Pangeran pemberi topi yang membuatnya terhindar dari hukuman pada masa MOS.
Davren menatap Hilya lekat saat gadis itu sudah berdiri di hadapannya. "Jangan lari-lari," ucapnya memperingatkan yang hanya direspon dengan cengiran oleh Hilya.
Beberapa orang yang melewati mereka menatap takjub karena jarang sekali mereka melihat Hilya yang memanggil cowok lebih dahulu. Oke, ini memang tahun pertama Hilya sekolah di SMA itu. Namun, hampir satu sekolah sudah mengenal gadis yang dijuluki peri cantik itu, gadis yang dikagumi banyak kaum adam.
Tentu saja mereka tidak merasa berlebihan menyebut seperti itu karena Hilya memang cantik, perpaduan wajah cantik dan cute gadis itu benar-benar membuat kaum hawa iri.
Sedangkan Davren sendiri, cowok itu mendadak terkenal karena dihukum oleh senior saat ia membela Hilya yang lupa membawa topi khusus MOS. Tentu saja panitia MOS, khususnya para lelaki, menyebut cowok itu caper dan sok pahlawan.
Sedangkan para cewek-cewek sendiri yang tidak menampik wajah tampan Davren menyebut kalau Hilyalah yang sok kecantikan dan bla bla bla.
Namun, sebagian lagi menganggap cocok-cocok saja, Hilya yang cantik dan baik dengan Davren yang ganteng dan cool. Mereka serasi.
"Gue mau balikin ini," ucap Hilya sambil mengulurkan dasi putih abu-abu milik Davren yang dipinjamkan Davren karena lagi-lagi Hilya teledor lupa memakai dasi padahal hari ini adalah hari senin.
Dan di SMA mereka sebelum melaksanakan upacara akan diadakan sesi cek atribut sekolah.
"Dan maaf lo jadi dihukum," ucap Hilya sambil meringis pelan. Entah dari mana Davren tau Hilya tidak memakai dasi, tiba-tiba saja cowok itu melempar dasinya pada Hilya, lalu melangkah ke depan untuk baris di barisan khusus anak-anak bandel yang tidak memakai topi, dasi, atau kaus kaki beda.
Davren terkekeh kecil. "Makanya jangan ceroboh."
"Hehe maaf banget, ya. Ini kali kedua lo dihukum karena gue," ucap Hilya lagi, Hilya serius merasa tidak enak.
"It's okay. Gue seneng kok bisa bantu lo," ucap Davren seraya meraih dasinya.
Hilya tersenyum, memamerkan jejeran giginya yang rapi. "Thanks."
Pipi Hilya memerah saat tangan Davren terangkat dan mengacak rambutnya dengan lembut dan setelah itu tanpa berkata apapun, cowok itu melangkah pergi.
Meninggalkan Hilya yang terlalu sibuk menetralkan detak jantungnya yang selalu saja tidak terkendali saat berada di dekat Davren.
Lagi, untuk kesekian kalinya Davren selalu berhasil membuat Hilya jatuh cinta.
Hanya dengan ucapan singkat dan perlakuan kecilnya. Namun, berkesan.
Bagi Hilya, Davren adalah pangeran impiannya.
Bagi Hilya, Davren adalah wujud nyata dari tokoh fiksi novel yang sering dibacanya.
Bagi Hilya, Davren adalah tujuannya.
Hilya cinta Davren.
Flashback off.
"Buat Davren, lagi?" Lila menatap tak percaya ke arah sahabatnya yang berkepala batu itu.
Hilya tersenyum cerah. "Kali ini gue yakin Davren pasti nggak bakal nolak," ucap gadis itu yakin.
Hilya sudah menelpon ke rumah Davren dan kata pembantu cowok itu, Davren tidak sempat sarapan di rumah. Sekarang, pasti cowok itu lapar dan perlu kalian tahu Davren itu tidak suka makanan kantin, katanya tidak sehat.
"Cewek berkepala batu, berhati baja," ucap Lila asal saking kesalnya yang membuat Hilya terkekeh pelan, bukannya marah.
Lila bersumpah jika kali ini Davren mempermalukan sahabatnya lagi maka Lila yang akan pasang badan, mumpung sekarang adalah hari pertama Lila kedatangan tamunya. Jangankan Davren, singa hamil saja akan Lila hadapi.
"Tahan banting, cuy," ucap Feni sambil terkekeh, gadis itu memasukan bukunya ke dalam tas, lalu beranjak berdiri dari duduknya.
Hilya dan Lila ikut berdiri.
"Ke kantin sekarang?" tanya Lila yang disambut anggukan Hilya.
"Iya, yuk," ajak Hilya sambil menarik tangan kedua sahabatnya itu menuju kantin.
Kasihan kalau Davren kelaparan lebih lama lagi, pikir gadis itu.
Sepanjang perjalan di koridor menuju kantin, banyak yang sekedar berbasa-basi menyapa Hilya yang tentu saja ditanggapi ramah oleh gadis berambut sepunggung itu.
"Pokoknya kalo kali ini tuh cowok main kasar, awas aja!" Lila mewanti-wanti sebelum memasuki area kantin.
"Setuju gue. Gue bantuin, Lil." Feni ikut menyahut.
Hilya terkekeh pelan dengan perhatian kedua sahabatnya itu, mereka berdua memang benar-benar peduli pada Hilya. Semoga.
"Kalian duduk di tempat biasa aja duluan, ntar abis ngasih ini gue nyusul," ucap Hilya pada Lila dan Feni.
Lila diam sesaat sebelum akhirnya mengangguk. Baiklah, Lila akan mengamati dari jauh, tapi awas saja jika sampai si triplek itu berani mempermalukan Hilya lagi.
Lila dan Feni melangkah menuju meja tempat mereka biasa makan, sedangkan Hilya melangkah menuju meja Davren cs.
Seperti biasa, Davren terlihat sibuk dengan handphonenya dan jus melon di hadapannya. Sedangkan teman-temannya sibuk mengobrol sambil makan.
"Hai," sapa Hilya dengan senyuman. Seperti biasa, ketiga teman Davren langsung membalas senyuman dan sapaan Hilya.
"Davren," panggil Hilya seraya menyentuh lengan cowok itu yang langsung ditepis Davren dengan kasar.
Hilya menarik napasnya panjang, tetap tersenyum. "Aku buatin bekal buat kamu, kamu belum sarapan, 'kan?"
Davren melirik sinis ke arah Hilya, tanpa menjawab apa pun cowok itu bangkit dari duduknya. Namun, Hilya menahannya.
"Kamu harus sarapan, Dav. Kamu punya asam lambung, 'kan?" Hilya berujar dengan lembut, berharap Davren mau mengerti kalau yang Hilya lakukan demi kebaikan cowok itu.
Davren beralih mencengkram tangan Hilya yang menahannya. "Lo tuli atau b***t? Gak usah sok perhatian sama gue, lo nggak perlu pencitraan di depan gue!"
Hilya terdiam, pencitraan?
"Gue bukan mereka yang menyembah-nyembah lo, cewek munafik."
Hilya membisu dalam hati tertawa. Ya, Hilya memanglah cewek munafik.
Davren tersenyum sinis saat melihat senyum di bibir Hilya memudar, ia benar-benar muak melihat senyuman itu, senyuman penuh kebahagian yang selalu gadis itu tampilkan.
Davren melepaskan cengkramannya dan berlalu meninggalkan Hilya yang membeku di tempatnya. Hilya memejamkan matanya sesaat, menetralkan rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan olehnya.
"b*****t!" Adlan bangkit dan mengejar Davren.
Tanpa aba-aba, Adlan memojokkan Davren ke tembok. "Gua diam karena gua masih anggap lo sahabat, njing! Dia cewek, punya perasaan, kalo lo nggak bisa jaga perasaannya, lepasin!"
Davren terkekeh sinis. "Kenapa? Lo mau jadi sok pahlawan buat cewek munafik itu?"
Bugh!
Adlan melayangkan bogemannya, Adlen dan Aaric berlari ke arah dua kaum adam itu berniat memisahkannya, begitu pula Hilya.
"Adlan!" bentak Hilya saat Adlan begitu tidak terkendali. Seperti orang bodoh yang terus membela Davren meski apa yang telah dilakukan cowok itu, Hilya berdiri di depan Davren. Menjadi penghalang kalau-kalau Adlan kembali memukul kekasihnya itu.
"LO BILANG HILYA MUNAFIK? LALU LO APA?!" Lila berteriak pada Davren, entah sejak kapan gadis itu sudah berdiri di antara mereka.
Lila benar-benar membuktikan ucapannya kalau kali ini Davren kembali berulah maka ia yang akan pasang badan.
"LO MANUSIA PERTAMA YANG GUE TEMUI, TAPI NGGAK PUNYA HATI. CAMKAN UCAPAN GUE, SUATU SAAT LO AKAN KEHILANGAN DIA YANG BENAR-BENAR TULUS. DAN GUE AKAN JADI ORANG PERTAMA YANG NGETAWAIN PENDERITAAN LO ITU!" jerit Lila tanpa peduli sekarang ia menjadi pusat perhatian. Lila tidak peduli dengan ucapan orang tentang dirinya yang caper sok-sokan membela Hilya.
Bagi Lila, sahabat adalah keluarga tak sedarahnya.