"Lya, mending lo putusin aja deh tuh si triplek. Ganteng sih, tapi kalo cueknya nauzubillah gitu nggak pantes juga dipertahanin. Gimana mau ngehargain perasaan lo, nasi goreng buatan lo aja nggak dihargai," ucap Feni yang tidak terima dengan perlakuan Davren pada sahabatnya, Hilya.
Entah sudah berapa kali Davren mempermalukan Hilya di depan umum, Feni saja sampai tidak ingat saking seringnya, tapi Hilya tetap diam saja seakan gadis itu tidak memiliki hati dan rasa malu.
Untunglah Hilya salah satu most wanted girl di sekolah, jika tidak, dapat dipastikan kalau gadis itu akan dibully habis-habisan oleh siswa lainnya.
Lila yang baru saja keluar dari kamar mandi sehabis berganti baju, ikut berbicara, "Kalo gue jadi lo, udah gue terima tuh Kak Reno pas nembak. Lagian Kak Reno nggak kalah famous dari si kadal Davren."
"Sumpah Davren itu jenis kadal yang nggak bisa dijabarkan," tambah gadis itu lagi.
"Ya dia bukan kadal," sahut Hilya sambil terkekeh pelan, meski sebenarnya tidak ada yang lucu. Hanya saja, ia merasa perlu melakukan hal itu agar teman-temannya percaya kalau ia tidak kenapa-kenapa.
Saat ini Hilya dan Feni sedang berada di rumah Lila, mereka ada kerja kelompok. Daripada repot bolak-balik Hilya dan Feni memutuskan untuk menginap saja di rumah Lila, lagi pula besok adalah hari minggu dan kedua orang tua Lila sedang ada tugas dinas ke luar kota.
Hilya yang awalnya rebahan, bangun dan duduk di atas ranjang Lila. Gadis itu menatap lurus ke arah depan, menerawang.
"Gue udah jatuh cinta sama dia sejak MOS dan kalian tau sendiri kalo pas MOS dulu sikapnya baik banget sama gue." Hilya ingat betul saat Davren dengan gentlenya memberikan topinya pada Hilya hanya agar Hilya tidak dihukum.
Detik itu juga, Hilya menjatuhkan hatinya pada seorang Davren. Ditambah sejak hari itu mereka semakin dekat, tentu saja kedekatan mereka itu membuat Hilya semakin dibuat jatuh cinta oleh setiap tindakan Davren yang selalu dapat membuat Hilya nyaman dan merasa terlindungi.
Tapi seiring berjalannya waktu, Davren berubah, sebulan dia menjauhi Hilya. Tanpa alasan yang jelas, setiap pesan yang Hilya kirim, jangankan dibalas, dibacanya saja tidak. Saat di sekolah pun Davren seakan membentangkan jarak secara terang-terangan pada Hilya.
Sampai tepat pada hari ke tiga puluh Davren menjauh, tiba-tiba saja cowok itu datang ke kelas Hilya dan menyatakan perasaannya.
Mengajak Hilya menjalin hubungan yang disebut pacaran.
Yang tentu saja tidak akan ditolak oleh Hilya, selama setahun ia menunggu hari itu tiba. Bahkan, Hilya selalu menolak laki-laki yang menyatakan perasaannya pada Hilya hanya untuk menjaga perasaan Davren.
Namun, sepertinya hanya Hilya yang memiliki kepedulian di dalam hubungan mereka. Hilya tidak ingin Davren melukainya karena itu akan sangat menyakitkan, makanya dia berusaha untuk menjaga perasaan cowok itu agar Davren tidak tersakiti.
Davrennya tidak boleh terluka.
"Gue cinta sama dia," cicit Hilya pelan. Kalimat yang selalu ia ucapkan saat sahabat-sahabatnya mendesaknya untuk meninggalkan Davren.
Lila menggelengkan kepalanya tak habis pikir, pantas saja sahabatnya ini mendapat julukan peri. Mungkin karena hatinya yang begitu lembut, terlalu polos untuk mengetahui arti cinta sesungguhnya.
Cinta bukan hanya tentang pengorbanan. Sesekali diperlukan rasa egois agar cinta tidak menginjak-injak kita.
"Cinta itu harusnya bisa buat lo bahagia, bukannya sedih!" tekan Lila.
Hilya menatap Lila, tersenyum tipis. "Gue bahagia."
"Senyum lo itu nggak bisa bohongin kita, Lya. Kita sahabatan dari SMP, gue tau gimana lo."
"Lya, bukannya gue sama Lila mau ngejauhin lo dari orang yang lo cinta. Tapi, untuk apa dekat jika hanya mendapat luka? Cinta itu tentang pengobat luka lama, bukan menambah luka lama." Feni berujar lebih lembut, berharap Hilya mau memahami kalau maksud ia dan Lila itu baik, mereka hanya tidak ingin Hilya terus disakiti oleh Davren.
"Segitu frustasinya lo putus sama Angger sampai-sampai hati lo mati rasa?" sarkas Lila yang memang ceplas-ceplos. Ucapan Lila memang tajam dan pedas, tapi selalu tepat pada sasarannya.
Hilya kembali tersenyum. "Mungkin."
"Bodoh!" kecam Lila.
"Lila, udah! Kita nggak bisa ngebuat Hilya mengubah keputusannya, tapi seenggaknya sebagai sahabat kita bisa terus ada di samping dia."
Lila menghembuskan napasnya kasar. Ia hanya tidak ingin Hilya menjadi lemah seperti ini karena cintanya pada Davren. Ayolah, Hilya cantik, termasuk dalam keluarga yang berada, dan terlebih lagi gadis itu populer. Banyak yang menyukai Hilya, gadis itu bisa mendapatkan yang lebih segalanya dari Davren.
"Hilya, janji satu hal sama gue ...." Lila menatap lekat manik mata sahabatnya itu, begitu pun sebaliknya.
"Kalo lo udah nggak kuat, nyerah aja, ada gue dan Feni yang akan selalu ada buat lo." Lila melunak.
Hilya tersenyum, bangun dari duduknya dan berjalan ke arah Lila, lalu memeluk sahabatnya itu. "Thanks."
"Ih mau jugaaa!" seru Feni lalu ikut ke dalam pelukan Hilya dan Lila.
Mereka bertiga lalu tertawa bersamaan.
Tidak ada yang lebih Hilya syukuri daripada memiliki dua sahabat yang selalu ada untuknya. Mendukungnya dan menjaganya.
♡♡♡
Davren, kamu udah pulang?
Udah di rumah?
Udah makan malam?
Jangan lupa makan malam, kamu punya asam lambung, nanti sakit.
Kamu jangan keluar malam ya, nggak baik buat kamu.
Apalagi kalo mabuk-mabukan dan merokok, nggak baik buat ginjal sama paru-paru kamu.
Seenggaknya cintai diri kamu sendiri, lakuin itu demi diri kamu sendiri.
Aku sayang kamu [Delete]
Jangan tidur malam-malam.
Good night.
Hilya menghela napasnya berat, tidak ada satu pun pesan yang dikirimnya dibalas oleh Davren, jangankan dibalas, dibaca saja tidak. Tapi tetap saja ia rutin mengirimkan pesan-pesan itu setiap malam.
Seperti hujan di malam hari yang tidak menjanjikan pelangi, Hilya tidak peduli jika semua ini akan berakhir menyakitinya, setidaknya ia pernah mencoba.
Mencoba melakoni perannya sebagai kekasih yang baik, meski tak dihargai. Kadang Hilya merasa lucu sendiri, dulu dia berdoa agar bisa berpacaran dengan Davren dan Tuhan berbaik hati mengabulkannya. Namun, Hilya lupa meminta pada Tuhan agar Davren juga memiliki perasaan yang sama dengan yang Hilya miliki.
Rasanya sangat munafik jika Hilya mengatakan ia tidak peduli jika hanya ia yang mencintai di sini. Tentu saja harapan terbesar Hilya adalah agar Davren merasakan apa yang ia rasakan saat ini, bukan luka, tapi cinta.
"Good night, Davren." Hilya melirik kedua sahabatnya yang sudah tertidur, mungkin kelelahan mengerjakan tugas kelompok tadi.
Hilya meletakkan handphonenya di atas nakas, lalu ikut berbaring dan bersembunyi di bawah hangatnya selimut. Tak lupa, gadis itu tersenyum, sebelum akhirnya matanya terpejam, siap menuju alam mimpi yang selalu lebih indah daripada dunia nyata.