
" tujuh Warisan, Satu Cinta Baru " . . . . . Aisha, pewaris tujuh bisnis besar, hidup dalam kesibukan yang luar biasa. Setelah pernikahan Salwa dan Daffa, kehidupannya terasa lebih seimbang, namun tetap saja ada kekosongan yang belum terisi. Ia fokus mengelola bisnisnya, menikmati hobinya, dan menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya. Namun, di lubuk hatinya, ia masih merindukan sebuah hubungan yang lebih mendalam. Suatu hari, dalam sebuah acara amal internasional, Aisha bertemu dengan seorang pria bernama Adrian. Adrian adalah seorang arsitek yang terkenal, dengan keahlian yang luar biasa dan ketampanan yang menawan. Namun yang lebih menarik perhatian Aisha adalah kepribadian Adrian yang tenang, bijaksana, dan penuh kasih sayang. Adrian berbeda dari Daffa, lebih kalem dan memiliki selera humor yang unik. Pertemuan mereka berlanjut, dan Aisha mendapati dirinya tertarik pada Adrian. Adrian, yang juga terpesona oleh kecantikan dan kecerdasan Aisha, menunjukkan ketertarikan yang tulus. Mereka menghabiskan waktu berbincang tentang bisnis, seni, dan kehidupan. Aisha menemukan bahwa Adrian mampu memahami dan menghargai dunianya yang kompleks, tak seperti kebanyakan pria yang pernah dikenalnya. Hubungan mereka berkembang, diiringi dengan tantangan tersendiri. Aisha harus menyeimbangkan bisnisnya yang besar dengan kehidupan pribadinya. Adrian, yang memiliki cara pandang yang berbeda, memberikan perspektif baru dalam kehidupannya. Terkadang, keduanya mengalami perbedaan pendapat, namun mereka selalu mampu menyelesaikan masalah mereka dengan komunikasi yang baik dan saling pengertian. Sementara itu, Salwa dan Daffa semakin bahagia dalam pernikahan mereka. Mereka mendukung hubungan Aisha dan Adrian, seraya mengingatkan Aisha untuk selalu memprioritaskan kebahagiaannya sendiri. Daffa, yang sebelumnya menjadi satu-satunya pria yang dekat dengan Aisha, kini merasa lega melihat Aisha menemukan kebahagiaan sejati. Persahabatan mereka bertiga tetap terjaga, bahkan semakin kuat. Kisah Aisha berlanjut, dengan tantangan mengelola tujuh warisannya dan perjalanan cinta yang baru. Adrian membawa angin segar ke dalam hidupnya, mengajarkannya tentang arti keseimbangan dan kebahagiaan sejati. Aisha pun memperoleh pembelajaran tentang arti cinta dan kehidupan.Aisha, dengan gaun malamnya yang elegan, duduk di sudut ruangan, mengamati Salwa dan Daffa yang asyik bercanda. Senyum merekah di wajah Salwa, dan Daffa terlihat sangat bahagia. Suasana pesta ulang tahun pernikahan mereka begitu hangat dan meriah. Aisha merasakan sukacita yang tulus untuk sahabatnya, namun di balik itu, sesuatu yang tak terkatakan mengusik hatinya. Kenangan akan interaksi-interaksi kecilnya dengan Daffa bermunculan. Tatapan mata yang tak sengaja bertemu, sentuhan tangan yang tak disengaja, dan canda tawa mereka yang terasa begitu dekat. Semua itu kini terasa seperti kenangan indah yang tak mungkin terulang. Ia menyadari bahwa perasaannya terhadap Daffa telah lama ada, meski ia selalu berusaha menyembunyikannya. Sebuah kesunyian tiba-tiba menyelimuti Aisha. Ia merasa seperti seorang penonton dalam sebuah drama yang tak pernah menjadi bagiannya. Salwa, yang menyadari perubahan ekspresi wajah Aisha, mendekati sahabatnya itu. "Kau terlihat murung, Aisha," kata Salwa dengan lembut. "Ada yang salah?" Aisha menggeleng pelan. Ia tak mampu mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada Salwa bahwa ia menyimpan perasaan kepada suami sahabatnya sendiri? Itu akan menjadi hal yang sangat menyakitkan bagi salwa. "Tidak apa-apa, Salwa," jawab Aisha, mencoba tersenyum. "Aku hanya sedikit lelah." Salwa memegang tangan Aisha. "Jika kau butuh apa pun, jangan ragu untuk mengatakannya. Aku selalu ada untukmu." Kata-kata Salwa itu mampu sedikit meringankan beban di hati Aisha. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti Salwa, yang selalu ada untuknya dalam suka dan duka. Namun, rasa sesal tetap menghantuinya. Ia menyesal karena telah menyembunyikan perasaannya kepada Daffa, menyesal karena telah membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. Malam itu, Aisha kembali termenung di kamarnya. Ia menatap foto-foto kenangannya bersama Daffa. Kenangan-kenangan itu begitu indah, namun kini terasa seperti mimpi yang tak mungkin terulang. Ia menyadari bahwa ia harus menerima kenyataan. Daffa telah menjadi suami Salwa, dan ia harus menjaga persahabatan mereka agar tetap utuh. Ia harus belajar melepaskan rasa cintanya yang terpendam, dan fokus untuk menemukan kebahagiaan dalam hidupnya sendiri. Meskipun hati terasa berat, Aisha memutuskan untuk melanjutkan kehidupannya dengan kepala tegak. Ia akan tetap menjadi sahabat yang baik bagi Salwa dan Daffa, mendukung kebahagiaan mereka berdua.

