Datang Untuk Menjenguk

1789 Kata
Di sebuah restoran mewah bergaya klasik dengan pencahayaan temaram dan alunan musik lembut, Theodor dan Salsa duduk berhadapan di meja yang didekorasi elegan. Kristal lampu gantung di atas mereka memantulkan cahaya keemasan yang hangat, membuat suasana malam itu terasa intim dan romantis. Theodor tampak tenang dalam balutan kemeja putih bersih yang digulung hingga siku, memperlihatkan jam tangan mahal di pergelangan tangannya. Sementara itu, Salsa tampil memukau dalam gaun biru lembut yang mempertegas lekuk tubuhnya dengan anggun. Rambutnya digelung rapi, dan seulas lipstik merah muda mempermanis wajahnya yang berseri. Mereka menikmati hidangan masing-masing dengan tenang. Di hadapan Salsa, sepiring steak medium rare terhidang sempurna. Ia memotong daging itu dengan perlahan, sebelum akhirnya membuka percakapan. “Bagaimana kabar Jessica? Apakah dia sudah membaik?” tanyanya dengan nada lembut. Theodor menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengangkat garpu. Ia menghembuskan napas panjang, tampak malas menanggapi. “Sayang, jangan membicarakan dia,” ucapnya datar. “Aku malas.” Salsa menatap wajah Theodor dengan lekat, lalu perlahan mengulurkan tangannya dan menyentuh punggung tangan pria itu. Sentuhan lembut yang bermakna. “Sayang, bagaimanapun juga Jessica sekarang adalah saudaraku. Aku peduli padanya,” ujarnya lebih lembut lagi. Theodor menatap Salsa tajam, ada kekesalan yang jelas tergambar di sorot matanya. “Tapi dia sudah menyakitimu berkali-kali, aku tidak ingin dia menyakitimu lagi,” katanya tegas. Ia masih ingat dengan sangat jelas bagaimana Jessica selalu berusaha merusak hubungan mereka. Bahkan ketika mereka baru mulai dekat, Jessica sudah menunjukkan sikap yang menyinggung dan memojokkan Salsa di berbagai kesempatan. Salsa tersenyum tipis. Tatapannya menghangat, suaranya tetap tenang. “Aku sudah memaafkan Jessica sejak lama, sayang. Aku tidak lagi mengingat-ingat masalah itu. Semua sudah berlalu.” Salsa menarik napas sebentar, lalu menatap Theodor dengan penuh harap. “Bagaimana kalau besok kau temani aku menjenguk Jessica? Sekadar menengok dan memastikan keadaannya baik-baik saja,” pinta Salsa dengan senyum tipis. Namun Theodor langsung menggeleng, gerakannya tegas dan cepat. “Tidak,” jawabnya tanpa ragu. “Aku tidak akan menemanimu menjenguk Jessica. Dan aku juga tidak akan mengizinkanmu bertemu dengannya. Sudah kukatakan, aku tidak ingin dia menyakitimu lagi.” Salsa mengeratkan genggamannya di tangan Theodor. Matanya berbinar, seolah memohon dengan seluruh hatinya. “Tolong, Theo… sekali ini saja. Aku berjanji, setelah ini aku tidak akan meminta hal seperti ini lagi. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.” Theodor menatap wajah kekasihnya dalam diam. Melihat Salsa memohon seperti itu membuat hatinya yang keras mulai mencair. Beberapa detik berlalu dalam keheningan sebelum akhirnya Theodor mengangguk pelan. “Baiklah. Sekali ini saja,” ucapnya akhirnya, menyerah pada tatapan penuh harap itu. Salsa tersenyum lebar. Ia tampak begitu bahagia. “Terima kasih, sayang.” Theodor hanya mengangguk sebagai respons, dan Salsa berucap penuh sorak dalam hati, ‘rasa sakitmu pasti akan semakin bertambah, Jessica, saat melihatku dan Theodor datang bersama untuk menjengukmu. Itu adalah balasan untuk semua hal buruk yang telah kau lakukan padaku, aku sangat membenci dirimu karena kau telah berusaha mengambil Theodor dariku.’ Dan di antara kehangatan malam dan cahaya lilin di atas meja, dua tangan tetap tergenggam erat. ***** Mentari pagi menyinari perlahan melalui jendela rumah sakit, menembus tirai tipis yang setengah terbuka. Suasana kamar rawat terasa hangat, jauh dari kesan suram seperti hari-hari sebelumnya. Rani sibuk membereskan barang-barang, memasukkannya satu per satu ke dalam tas besar berwarna krem. “Hari ini Nyonya akan pulang ke rumah,” ujar Rani sambil tersenyum hangat. “Setelah sampai di rumah, Bibi akan memasakkan makanan kesukaan Nyonya.” Nada suara Rani terdengar penuh semangat. Ada ketulusan dalam setiap ucapannya, ia benar-benar bahagia karena nyonya-nya telah pulih. Nadia hanya membalas dengan senyum tipis. Meski bibirnya melengkung lembut, matanya menyiratkan kekosongan—seakan ada sesuatu yang menggantung dalam pikirannya. Hari ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru, perjalanan yang bahkan tak dimengerti sepenuhnya olehnya sendiri. Hidupnya tak lagi sama, dan entah apa yang menantinya di depan sana. Suara pintu terbuka tiba-tiba memecah keheningan. Rani menoleh dan sontak terkejut melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya yang tadi lembut berubah drastis. Sorot matanya jelas menunjukkan ketidaksukaan yang dalam. Napasnya tertahan, dan ia refleks berdiri tegak seolah siap melindungi Nadia dari apa pun yang akan datang. Nadia pun ikut menoleh. Matanya sempat menyipit, mencoba mengenali siapa yang datang. Begitu ia melihat mereka berdua—Salsa dan Theodor—kenangan samar langsung menyeruak. Ia pernah melihat pasangan itu bersama, entah di mana… ah, ya, di kantor. Saat itu ia hanya sekilas melihat mereka, namun perasaan tak nyaman sempat muncul. Ia tak tahu kenapa, hanya saja—ada sesuatu yang terasa mengganggu. Kini mereka berdiri di sana, Salsa dengan wajah penuh senyum. “Jes, bagaimana kabarmu?” tanya Salsa pelan, suaranya selembut hembusan angin pagi. Nadia mengangguk kecil. “Baik. Aku sangat baik. Dokter sudah memperbolehkanku pulang hari ini,” jawabnya sembari tersenyum. Senyumnya tampak tulus dan hangat, bahkan terlalu ramah. Salsa dan Theodor saling melirik, keduanya sama-sama tercengang. Begitu pula dengan Rani yang kini mematung di tempat. Tak pernah ia melihat nyonya-nya bersikap seramah itu kepada Salsa, apalagi dengan Theodor di sana. “Baguslah kalau begitu,” ucap Salsa yang berusaha tetap tenang. Ia lalu mengangkat keranjang buah yang dibawanya. “Aku membawakan buah untukmu.” “Oh, terima kasih banyak,” sahut Nadia. Ia melirik isi keranjang itu dengan penuh antusias. “Ada anggur… aku sangat suka anggur. Aku berjanji akan menghabiskan anggur itu,” katanya sambil tersenyum lebar, seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah kesukaannya. Senyuman itu membuat ketiganya—Salsa, Theodor, dan Rani—semakin bingung. Ini bukan Jessica yang mereka kenal. Ada yang berubah. Terlalu berubah. Theodor mengerutkan kening. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan. Ia menatap seolah mencoba membedah isi hati perempuan yang adalah istrinya itu. “Apa yang sedang kau mainkan, Jessica?” tanyanya dingin. “Kenapa kau sekarang seperti ini? Apa kau sedang berpura-pura baik pada Salsa, dan pada akhirnya kau akan menyakitinya lebih dari sebelumnya?” Nadia menoleh pelan, memandang Theodor tanpa ekspresi. “Apa aku salah kalau aku bersikap baik?” tanyanya ringan, hampir tak terdengar emosi dalam suaranya. Salsa melangkah sedikit maju. “Tolong, jangan lakukan hal seperti itu lagi, Jes. Tolong, jangan mencoba mengakhiri hidup lagi, meskipun kau dan Theo—” Belum sempat Salsa menyelesaikan kalimatnya, Rani langsung menyela dengan nada tegas namun tetap sopan. “Nona Salsa, tolong jangan membicarakan hal itu sekarang. Nyonya Jessica baru saja pulih. Saya tidak ingin kondisinya kembali menurun karena membicarakan masalahnya dengan Tuan Theodor.” Salsa tampak kikuk. Ia mengangguk pelan. “Baik, Bi Rani. Saya minta maaf.” ‘Kenapa pelayan ini selalu saja ikut campur? Benar-benar menyebalkan,’ ucap Salsa penuh kekesalan dalam hati. Mencoba mengalihkan suasana agar lebih panas, Salsa pun melirik ke arah Theodor. “Theo, sekarang antarkan Jessica pulang, ya?” Namun Theodor langsung menggeleng. “Tidak. Aku tidak mau,” jawabnya tanpa ragu. “Tapi Theo, Jessica—” Kali ini Nadia sendiri yang menjawab. Suaranya tenang, tapi tegas. “Tidak perlu. Aku pulang dengan Bibi saja.” Nadia kemudian berdiri perlahan, memastikan dirinya kuat. Pandangannya menelusuri ruangan sejenak sebelum beralih ke arah Rani. “Semua barangnya sudah disimpan, Bi?” “Sudah, Nyonya,” jawab Rani sambil mendekat. “Kalau begitu, ayo kita pulang.” Tanpa menunggu reaksi lainnya, Nadia menggandeng tangan Rani. Ia mengambil keranjang buah yang dibawa Salsa dan melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun. Theodor dan Salsa hanya bisa memandangi punggung mereka yang perlahan menghilang di balik pintu. ‘Apa yang sebenarnya terjadi pada Jessica?’ tanya Theodor dalam hati. ‘Kenapa ia bersikap biasa saja seperti itu? Bukankah ia seharusnya marah, dan terbakar api cemburu seperti biasanya? Melihatku dan Theodor harusnya ia mengamuk, dan melempar semua barang di ruangan ini, tapi kenapa ia bersikap tenang dan pergi begitu saja?’ kesal Salsa dalam hati, ia kesal karena harapannya tidak terwujud. ***** Nadia melangkah masuk ke kamar Jessica. Langkahnya langsung terhenti saat matanya menangkap seluruh ruangan yang terbentang luas di hadapannya. Matanya membulat, terbelalak penuh takjub. Kamar itu begitu besar, megah, dan ditata dengan gaya klasik elegan yang menenangkan mata. Nadia kemudian menelusuri setiap sudut. Sprei putih bersih membungkus ranjang king-size dengan ukiran mewah di kepala tempat tidur. Di salah satu sisi terdapat jendela besar dengan tirai beludru biru tua, dan di sisi lain sebuah meja rias lengkap dengan lampu meja dan cermin oval yang menampilkan bayangan. Bahkan kamar mandi terlihat seperti ruang spa pribadi. Nadia tersenyum kecil, mengagumi setiap detail. Kamarnya sebelumnya bahkan tak ada seperempat dari kamar ini. Ia nyaris tak percaya dirinya kini menempati ruangan semewah ini. Niat awalnya untuk langsung merebahkan tubuh di ranjang hangat pun langsung urung. Ia lebih memilih berjalan memutari, menikmati kemewahan yang belum pernah dirasakan olehnya sebelumnya. “Jika dipikir-pikir lagi… hidupku yang sekarang jauh lebih baik dibanding hidupku yang dulu,” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan. “Hidupku yang dulu penuh tekanan, rasa tidak dianggap, dan kesedihan yang tak kunjung usai. Sekarang… setidaknya aku ingin hidup tenang. Hidup damai, tanpa masalah.” Namun pikirannya tiba-tiba melayang ke rumah lamanya. Nadia menghela napas pelan. “Tapi… bagaimana kabar Mama, Papa, dan Julia? Apakah Mama menyesal setelah aku pergi? Apakah Mama menangisiku… atau justru merasa lega?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Apa aku harus memastikannya sendiri?” Nadia termenung cukup lama, menimbang-nimbang. Ia tahu pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan berhenti menghantuinya sebelum ia melihatnya sendiri. Ia ingin tahu kebenarannya, entah itu menyakitkan atau tidak. “Besok saja,” gumamnya akhirnya. “Besok aku akan cari tahu.” Ketukan pelan tiba-tiba terdengar dari arah pintu, membuyarkan lamunannya. Nadia menoleh dan segera berseru, “Masuk!” Pintu terbuka perlahan. Rani muncul dengan senyum ramah sambil membawa nampan. “Ini makanan kesukaan Nyonya,” ujarnya lembut. Ia meletakkan semangkuk soto ayam panas di atas meja kecil di dekat ranjang. “Terima kasih banyak, Bi,” kata Nadia, tersenyum tulus. Matanya bersinar saat melihat soto yang mengepul hangat, aromanya langsung memancing selera makannya. “Sama-sama. Sotonya dimakan selagi masih hangat ya. Kalau begitu, Bibi permisi dulu.” Nadia mengangguk. “Iya, Bi.” Begitu Rani menutup pintu, Nadia segera duduk dan mulai menyantap hidangan itu dengan lahap. Lidahnya begitu menikmati rasa gurih dan hangat dari soto ayam itu, seolah tubuhnya memang sangat mengenal rasa tersebut. Namun tiba-tiba, alisnya berkerut. “Makanan favoritku itu ayam bumbu balado,” gumamnya pelan. “Tapi sekarang, lidahku mengatakan soto ayam ini sama enaknya dengan ayam bumbu balado.” Nadia menatap semangkuk soto di hadapannya dengan kebingungan samar, tapi itu hanya berlangsung sebentar. Perhatiannya tiba-tiba teralih ketika matanya menangkap sesuatu yang tergeletak tak jauh dari meja kecil. Sebuah buku. Sampulnya berwarna biru muda. Ada motif bunga melingkar di bagian atasnya. Digerakkan oleh rasa penasaran, Nadia mengulurkan tangan dan mengambil buku itu. Jari-jarinya menyentuh sampulnya dengan lembut, dan entah kenapa, ada sesuatu yang berdesir dalam dadanya saat menyentuhnya. “Apa ini?” bisiknya lirih. Dengan hati-hati, ia membuka halaman pertama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN