Protective

1795 Kata
Sore harinya sesuai janji Evan datang ke apartemen Bianca dengan dua bungkus ketoprak kesukaan mereka. Evan mengangkat tangannya yang memegang kresek bening, sengaja memamerkannya pada Bianca hingga membuat wanita itu terbahak. “Tau aja kalau aku lagi mau makan ketoprak!” “Taulah! Kamu mana pernah nolak sih kalau dibawain ketoprak? Nama aja yang modern tapi selera makan ndeso! Nama Bianca itu harusnya makan pizza bukan ketoprak!” ledek Evan, hal yang selalu diucapkannya hingga Bianca sudah merasa terbiasa. “Biarin. Ketoprak enak kok!” Mereka makan sambil berbincang santai, hingga akhirnya Evan tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi dan langsung bertanya, “Jadi ada apa? Kenapa kamu bisa dipecat? Bukannya kamu happy kerja disana dan nggak ada masalah kan?” Bianca menarik nafas lelah, tidak bisa menghindar lagi. Bianca menjelaskan semuanya pada Evan. Semuanya. Tentang pertemuannya pertama kali dengan Liam hingga kejadian hari ini tidak ada yang luput. Lagipula bukankah semua hal ini terjadi karena pertemuan pertamanya dengan Liam? Jadi Bianca tidak mungkin menutupi kisah awalnya dari Evan, pasti pria itu akan menemukan hal yang janggal dan malah jadi curiga pada Bianca! “Kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau pria breng-sek itu sudah melecehkan kamu, Bi?” tanya Evan dengan gigi gemeretak menahan marah dan tangan terkepal erat. Tidak terima kalau sahabatnya diperlakukan dengan seburuk itu oleh pria asing meski Liam seorang CEO sekalipun! Tetap saja itu namanya pelecehan! “Aku takut masalahnya jadi tambah panjang,” aku Bianca, sadar bagaimana sifat sahabatnya ini yang selalu bersikap protektif padanya. “Tetap aja, Bi! Aku bisa langsung mati kena serangan jantung kalau sampai ada hal buruk yang menimpa kamu!” sesal Evan membuat hati Bianca merasa bersalah dan menghangat dalam satu waktu. “Sorry,” cicit Bianca. “Ya udah nggak apa, toh itu semua udah lewat juga. Terus sekarang gimana? Kamu yakin akan tetap bekerja di perusahaan pria breng-sek itu?” tanya Evan memastikan, tidak ingin sahabatnya kembali salah langkah. “Sebenarnya aku nggak mau, tapi mau gimana lagi? Liam ngancam akan tuntut aku! Kamu tau sendiri kalau sampai namaku tercemar, hilang sudah kesempatanku untuk bisa bertahan jadi konsultan keuangan!” keluh Bianca sedih. Beginilah susahnya bekerja di bidang yang menjunjung tinggi kepercayaan dari klien dan Bianca menyadari resiko serta tanggung jawab pekerjaannya sepenuhnya. Evan termangu sejenak sebelum akhirnya kembali berbicara. “Ya udah, kalau gitu kamu boleh kerja di perusahaan Liam tapi ada syarat khusus dari aku dan kamu nggak boleh nolak,” ucap Evan. “Syarat apa?” tanya Bianca dengan kening berkerut bingung. “Syaratnya, aku harus antar jemput kamu setiap hari. Aku harus pastiin kalau selama kamu kerja disana, Liam nggak berbuat macam-macam sama kamu! Aku nggak mau kamu kembali dilecehkan sama Liam meski dia boss kamu!” tegas Evan dengan wajah serius yang tampak begitu khawatir. Seketika wajah Bianca berbinar, tidak menyangka kalau Evan akan sekhawatir ini padanya dan menawarkan diri untuk mengantar jemputnya setiap hari di waktu kerjanya yang selalu sibuk. “Tapi nanti kamu capek. Aku tau kalau kerjaan kamu di kantor udah banyak, apalagi kamu udah naik jabatan pasti kerjaan kamu nggak ada habisnya,” jawab Bianca tidak ingin bersikap egois meski senang dengan tawaran Evan. “Aku nggak peduli, yang penting aku harus memastikan sendiri kalau kamu aman selama kerja disana, Bi. Aku nggak mau ambil resiko sampai kamu kenapa-napa sama boss me-sum kamu itu!” “Tapi gimana kalau aku harus lembur?” “Aku akan tungguin kamu.” “Kamu tau sendiri aku kalau udah lembur suka lupa waktu. Aku takut kamu kecapean.” “Nggak masalah. Aku kan cuma nungguin aja, Bi. Bukannya kerja di kantor kamu. Kalau nunggu itu berarti aku duduk santai, jadi nggak masalah,” balas Evan keras kepala. “Tapi….” “Nggak ada kata tapi, atau kamu nggak boleh kerja disana!” tegas Evan tidak ingin dibantah sama sekali. Tidak ada kompromi. “Oke… oke… aku terima syarat kamu, tapi ingat aku nggak mau kamu terlalu capek. Kalau misalnya kamu lelah, kamu harus bilang sama aku. Okay?” ucap Bianca mengutarakan kekhawatirannya. Bagaimanapun juga bagi Bianca, Evan adalah pria istimewa jadi ia tidak mau Evan sampai sakit karena terlalu lelah, apalagi karena dirinya. “Tenang aja, aku bukan cowok lemah!” Bianca mencibir saat mendengar jawaban pria itu hingga Evan terkekeh dan meraih Bianca ke dalam pelukannya. Hal yang biasa dilakukan jika mereka baru selesai berdebat dan Bianca tidak protes, malah menikmati pelukan Evan yang selalu membuatnya merasa nyaman dalam kondisi apapun. Termasuk saat ini. *** Sekembalinya dari apartemen Bianca, Evan tidak bisa lagi menutupi rasa cemasnya. Meski tadi dirinya mengijinkan Bianca bekerja di perusahaan Liam, tapi itu semua hanyalah keterpaksaan karena Evan sadar kalau Bianca harus menanggung konsekuensi yang cukup besar jika tetap nekat melawan Liam. Evan sadar kalau Bianca maupun dirinya tidak bisa melawan Liam yang notabene adalah seorang CEO dan tentu saja tidak bisa dianggap enteng. ‘Sekarang aku harus bagaimana? Apa aku harus mengakui perasaanku yang sebenarnya pada Bianca?’ batin Evan galau. Evan takut kalau nanti cepat atau lambat Bianca akan jatuh ke dalam pesona Liam. Mana ada pria yang tidak khawatir jika gadis yang dicintainya selama bertahun-tahun akan bertemu setiap hari dengan pria tampan dan tajir macam Liam? Termasuk dirinya! Saat ini Evan merasa sangat amat khawatir! Berbagai pikiran buruk mampir ke dalam benaknya. Evan tidak akan rela jika pada akhirnya nanti Bianca jatuh ke dalam pelukan Liam. Tidak boleh! Evan akan jujur pada Bianca mengenai perasaannya. “Tapi gimana kalau ditolak?” gumam Evan jadi pusing sendiri. Setelah bertahun-tahun bersahabat, Evan tidak ingin merusak persahabatan di antara mereka dengan pengakuan cintanya. Evan takut kalau Bianca tidak memiliki perasaan yang sama dengannya, hal itulah yang membuat Evan selalu menunda rencananya untuk mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya. Karena kalau kekhawatirannya terbukti, bukankah hubungan mereka berdua bisa menjadi renggang? Benarkan? Dan Evan tidak berani mengambil resiko itu! Tidak sampai dirinya tau kalau ada Liam yang sekarang hadir diantara mereka! Dan sebagai seorang pria, Evan sudah bisa menebak apa motif yang mendasari tindakan Liam. Apalagi kalau bukan karena merasa tertarik pada Bianca! Evan yakin kalau dugaannya tidak meleset! Tapi jika melihat dari sikap Bianca pada Evan, bukankah gadis itu juga merasa nyaman dan selalu bahagia jika sedang bersamanya? Salahkah Evan jika menganggap Bianca juga memiliki perasaan yang sama dengannya? Evan sudah lelah menebak-nebak. Lelah menutupi perasaannya. Apalagi sekarang disaat ada pria yang berpotensi untuk masuk diantara hubungannya dengan Bianca! Tidak bisa, Evan harus mencegahnya. Tanpa dapat dihindari kenangan kebersamaan antara Evan dengan Bianca kembali berputar di benaknya membuat tekad Evan semakin kuat. Evan tidak ingin kehilangan Bianca. Evan ingin selalu bersama dengan Bianca. ‘Aku akan mengatakan perasaanku yang sebenarnya pada Bianca! Aku yakin kalau Bianca juga memiliki perasaan yang sama denganku!’ putus Evan, tidak ingin mundur lagi. Sejak dulu dirinya selalu ragu jika ingin mengutarakan perasaannya dan sekarang sudah tidak ada waktu untuk ragu lagi. Evan tidak ingin kehilangan Bianca, apalagi hanya karena rasa ragu dan takut ditolak! Keesokan paginya Evan mematut dirinya di depan cermin, memastikan kalau penampilannya sudah rapi. Bukan hanya wanita yang peduli pada penampilan, tapi pria juga! Apalagi jika berhadapan dengan gadis yang sudah dicintai selama bertahun-tahun! Evan mengambil kunci mobil yang menggantung di dekat pintu dan menenteng tas kerjanya yang langsung diletakkan di kursi tengah, sepanjang perjalanan Evan bersiul dengan riang karena ini adalah hari pertama dirinya mengantar jemput Bianca, hal yang membuat intensitas pertemuan mereka semakin banyak. Evan tersenyum saat melihat Bianca sedang berjalan kearah mobilnya, sejak 5 menit yang lalu Bianca memang sudah memberitahunya kalau dirinya akan menunggu di lobby. “Morning!” sapa Evan ceria. “Morning juga!” balas Bianca tidak kalah ceria. Bagaimana tidak ceria jika dijemput oleh pujaan hatinya selama bertahun-tahun kan? Meski ini bukan pertama kalinya Bianca pergi berduaan bersama dengan Evan, tapi tetap saja ada perasaan gugup di hatinya. Gugup jika berdekatan dengan pria yang dicintainya secara diam-diam. “Jadi apa kamu udah siap bekerja di perusahaan baru?” tanya Evan membuka pembicaraan. Pembicaraan yang membuat perut Bianca langsung mulas! Sejak semalam Bianca terus menerus berdoa kalau bekerja di perusahaan Liam hanya mimpi buruk, tapi ternyata saat dirinya bangun tidur tadi pagi, Bianca sadar kalau ini semua bukan hanya mimpi buruk tapi memang kenyataan yang harus dirinya hadapi. Bianca menghela nafas lelah dan menjawab malas, suasana hatinya langsung berubah menjadi anjlok. Bad mood saat menyadari akan kembali bertemu dengan boss me-sum. “Ya begitulah, malas banget. Kalau bisa aku maunya kabur aja, Van,” jawab Bianca malas. Evan menggenggam tangan Bianca dengan tangan kirinya yang bebas. Refleks, debaran jantung di d**a Bianca kian melonjak tanpa Evan sadari. Meski yang sebenarnya terjadi Evan juga tidak kalah gugup namun pria itu berhasil menutupinya dengan baik. Lagipula ini bukan pertama kalinya mereka melakukan skin ship tapi kenapa bisa segrogi ini sih? Apa karena Evan sudah bertekad akan mengungkapkan perasaannya hari ini kah? Bisa jadi! Evan berdeham, berusaha menormalkan suaranya yang mungkin saja agak bergetar saking gugupnya. “Nggak apa, kamu tenang aja. Semua akan baik-baik aja kok. Pokoknya kalau ada apa-apa, kamu bisa langsung kasih tau aku, okay? Jangan ada yang kamu sembunyiin kayak kemarin,” pinta Evan dengan suara serius. Bianca mengangguk paham. “Iya, aku janji akan bilang semuanya sama kamu. Thanks, Van.” Kening Evan berkerut bingung saat mendengar jawaban Bianca. “Thanks untuk apa?” ‘Karena sudah begitu memperhatikan aku, hal yang membuatku semakin mencintai kamu,’ batin Bianca, malu untuk mengutarakannya secara langsung. Jadi Bianca hanya mengangkat bahu dan menjawab pelan, “Thanks untuk semuanya. Karena udah mau antar jemput aku dan karena udah menjadi pendengar yang baik buat menampung semua keluh kesahku,” jawab Bianca pada akhirnya memberikan jawaban yang menurutnya aman. Bianca tidak ingin Evan kabur, jadi lebih baik Bianca menahan diri. Menahan semua perasaan yang ada di hatinya sejak lama. “Sama-sama kalau gitu. Sekarang kamu fokus sama kerjaan kamu dulu. Ingat, kalau Liam macam-macam kamu harus langsung kasih tau aku, okay?” “Iya, Evannnn!” jawab Bianca gemas karena Evan selalu mengulang ucapan yang sama berulang kali sampai Bianca bosan. Evan terkekeh kecil dan mengusap rambut Bianca. “Good girl! Ya udah nanti sore aku jemput lagi.” “Okay, kamu hati-hati ya.” Bianca turun dari mobil Evan dengan senyum sumringah dan melambaikan tangan. Setelah mobil Evan tidak terlihat lagi Bianca menarik nafas panjang, perjuangannya baru dimulai hari ini. Bianca menguatkan hati agar dapat melaluinya dengan baik. ‘Lo pasti bisa hadapin boss me-sum itu, Bi! Semangat!’ batin Bianca menyemangati dirinya sendiri agar kuat menghadapi apapun yang terjadi semenjak dirinya memutuskan bekerja di perusahaan Liam! Ralat. Bukan memutuskan bekerja di perusahaan Liam, tapi lebih tepatnya saat terpaksa harus bekerja di perusahaan Liam! Bianca terlalu fokus dengan dirinya sendiri hingga tidak menyadari kalau mulai hari ini apapun yang dirinya lakukan akan selalu diawasi. Bianca tidak sadar kalau kebebasannya sebentar lagi akan terenggut dari hidupnya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN