Liam sedang fokus mendengar jadwal meetingnya hari ini yang begitu padat dari Ervin saat pintu ruangannya diketuk dan muncul salah satu orang yang ditugaskan Liam untuk mengawasi Bianca. Liam memberi kode pada Albert, orang yang mengawasi Bianca, yang langsung dipahami oleh Albert.
Sepanjang Ervin menjelaskan jadwal meeting dan pekerjaan Liam, Albert hanya berdiam diri, menunggu gilirannya untuk berbicara. Tidak berani menginterupsi sama sekali.
“Apa ada hal lain lagi?” tanya Liam saat Ervin sudah menutup tab nya.
“Tidak ada, Boss.”
“Ya sudah kamu bisa kembali bekerja. Ada hal lain yang ingin saya bahas dengan Albert,” perintah Liam. Ervin yang sudah lama mengenal Liam tentu saja keheranan karena melihat Albert yang adalah seorang bodyguard masuk ke dalam ruangan bossnya dan otak cerdasnya seketika menyadari sesuatu.
‘Pasti berhubungan dengan nona Bianca!’ tebak Ervin yakin.
Namun Ervin sadar diri dan kembali ke ruangannya tanpa berkata apapun. Tidak ingin membuat bossnya menjadi kesal.
“Jadi ada laporan apa tentang Bianca hari ini?” tanya Liam tanpa basa basi saat Ervin sudah keluar dari ruangannya dan hanya tinggal ada dirinya dan juga Albert di dalam ruang kerjanya.
“Nona Bianca pagi ini diantar oleh sahabatnya, Boss.”
“Sahabatnya? Siapa? Pria atau wanita?” cecar Liam tidak sabar.
“Pria, Boss. Saya sudah melakukan penyelidikan sebelumnya. Nama pria itu Evan. Mereka sudah bersahabat sejak kuliah,” lapor Albert dengan hati kebat kebit, takut menjadi sasaran amarah bossnya..
Albert sadar kalau laporan apapun yang dirinya sampaikan pasti akan dapat dengan mudah menyulut kekesalan bossnya. Sebagai pria, Albert paham kenapa bossnya sampai menugaskan dirinya untuk mengawasi Bianca.
Pasti karena memiliki perasaan khusus pada wanita itu! Jika tidak, mana mungkin seorang pria repot-repot meminta bodyguard untuk mengawasi orang yang tidak penting untuk dirinya, betul kan?
Maka sepanjang memberi laporan Albert hanya bisa berdoa agar si boss tidak melampiaskan rasa kesalnya pada dirinya. Albert yakin kalau bossnya sekarang sedang dikuasai rasa cemburu! Terlihat jelas dari wajahnya yang memerah menahan amarah dan tangannya yang terkepal erat seolah sedang berusaha menahan diri agar tidak meninju apapun yang ada di sekelilingnya!
“Pagi ini baru itu laporan yang bisa saya berikan, Boss!” tutup Albert.
Liam mendengus kesal. Laporan pagi ini saja sudah membuat amarahnya sampai ke ubun-ubun! Bagaimana bisa Bianca tampak begitu bahagia jika sedang bersama dengan pria yang bernama Evan? Apa istimewanya pria itu jika dibandingkan dengan dirinya?
“Ya sudah sekarang kamu terus awasi Bianca! Ingat, jangan sampai ada yang terlewat!”
“Baik, Boss!”
Albert menghembuskan nafas lega saat sudah keluar dari ruangan bossnya. Tadi Albert merasa begitu sesak saat melihat raut wajah bossnya yang begitu menakutkan. Sebagai bodyguard, Albert memang bisa bela diri jika bossnya melakukan sesuatu, tapi tetap saja Albert tidak mungkin menghajar bossnya sendiri kan? Alamat bakal langsung dipecat tanpa pesangon!
Liam yang masih merasa gusar langsung menghubungi Ervin dan berucap tegas,
“Panggil Bianca ke ruangan saya. Sekarang!” perintah Liam dengan nada yang begitu menakutkan. Bahkan Ervin pun sampai tidak berani bertanya macam-macam lagi dan langsung mengerjakan perintah dari bossnya.
Di saat seperti ini lebih baik jangan banyak bertanya jika masih ingin selamat. Itulah yang Ervin pelajari setelah bertahun-tahun mengenal Liam!
Bianca sendiri sedang sibuk mempelajari semua data yang ada di atas meja kerjanya saat telepon di mejanya berbunyi.
“Halo?”
“Ibu Bianca? Tolong ke ruangan bapak Liam sekarang, ada yang ingin beliau bahas dengan ibu,” beritahu Ervin. Padahal yang sebenarnya terjadi, Ervin pun tidak tau apa alasan Liam memanggil Bianca! Tidak mungkin karena laporan keuangan karena Bianca saja bekerja di perusahaan ini kurang dari dua jam yang lalu!
“Mengenai masalah apa ya, Pak?” tanya Bianca, enggan pergi ke ruangan Liam. Jika bisa, Bianca ingin sebisa mungkin menghindari boss me-sumnya itu! Kalau perlu tidak usah bertemu sama sekali!
“Saya juga kurang tau, Bu. Beliau tidak bilang apa-apa. Jadi lebih baik ibu segera menemui beliau,” ucap Ervin.
“Baiklah, saya segera kesana,” putus Bianca meski enggan.
Setiap kali melangkah mendekati ruangan Liam, Bianca berdoa dalam hati, berharap Liam tidak mempersulitnya lagi hari ini atau hari-hari selanjutnya. Bianca mengetuk pintu ruangan bossnya dan mendengar suara berat nan dalam milik Liam.
“Masuk!”
Bianca mendorong pintu kayu yang begitu kokoh. Begitu berat. Sama seperti dirinya yang berat sekali rasanya jika harus masuk ke dalam ruangan bossnya sendiri.
“Selamat pagi, saya dapat info kalau bapak memanggil saya? Ada apa, Pak?” tanya Bianca dengan nada suara dan sikap yang begitu formal.
Liam menatap Bianca dalam-dalam. Wanita di hadapannya memakai pakaian kerja formal seperti biasa. Blouse berwarna merah menyala dan juga rok span sedikit diatas lutut. Tidak ada yang istimewa, tapi entah kenapa Liam merasa Bianca tampak sangat menarik hingga membuat Liam tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Bianca barang sedetik pun! Hingga akhirnya Bianca kembali memanggil namanya dengan tidak sabar.
“Pak!”
Liam berdeham, berusaha menormalkan sikapnya, tidak ingin wibawanya sebagai atasan tercemar begitu saja. Apalagi di hadapan karyawan barunya!
“Tadi pagi siapa yang mengantar kamu?” tanya Liam tanpa basa basi hingga Bianca terlongo kaget selama beberapa saat. Bagaimana tidak kaget kalau bossnya tiba-tiba menanyakan hal pribadi seperti ini padanya? Padahal apa urusan Liam? Bianca mau diantar tukang ojek sekalipun bukan urusannya!
“Saya tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan bapak!” ketus Bianca.
“Kenapa? Apa pria tadi pacar kamu? Tapi bukannya kamu belum pernah berpacaran?” balas Liam dengan senyum kecil.
Bianca memicingkan mata dengan curiga. Bagaimana bisa bossnya tau mengenai informasi itu? Tau darimana?
“Bapak menyelidiki saya?” tebak Bianca tepat sasaran.
Liam mengangkat bahu dengan santai, tidak menyangkal atau mengiyakan, membiarkan Bianca berasumsi sendiri. Rasanya menyenangkan melihat Bianca tampak begitu dongkol karena pertanyaannya barusan!
“Jadi kamu tidak mau memberitahu saya siapa pria itu?” pancing Liam, hanya ingin melihat respon Bianca. Karena tanpa wanita itu katakanpun, Liam sudah bisa menebak meski samar. Apalagi laporan dari Albert barusan menguatkan dugaannya!
“Ya! Saya tidak akan memberitahu bapak mengenai urusan pribadi saya!”
“Baiklah, kalau begitu saya akan mencari tahu sendiri,” balas Liam acuh.
“Untuk apa bapak melakukan hal itu?” desis Bianca sebal.
“Bukan urusan kamu!” balas Liam tidak ingin kalah.
Bianca menahan sabar meski dalam hati sudah kesal setengah mati! Ingin rasanya menyumpahi bossnya itu, tapi Bianca takut dosanya tambah banyak!
“Baiklah, kalau tidak ada urusan pekerjaan lebih baik saya kembali ke ruangan saya sendiri. Selamat pagi!”
Setelah mengucapkan hal itu, Bianca langsung pergi meninggalkan ruangan Liam sambil menggerutu kesal. Baru hari pertama kerja saja Liam sudah membuatnya kesal, bagaimana hari-hari selanjutnya?
“Ya Tuhan, tolong berikanlah hambaMu ini kesabaran dalam menghadapi boss gila nan me-sum itu!” doa Bianca, berharap kali ini Tuhan mengabulkan doanya.
Bianca dapat bernafas lega karena tampaknya hari ini doanya terkabul. Setelah tadi pagi, Liam sama sekali tidak mengganggunya lagi hingga Bianca dapat fokus dengan pekerjaan barunya. Ternyata cukup banyak hal yang harus Bianca urus, tapi tidak masalah toh dengan kualifikasinya yang mumpuni, Bianca yakin dapat mengatasinya dengan baik.
Bianca menoleh saat ponselnya berdenting, tanda ada chat masuk. Dan senyum Bianca langsung terkembang lebar saat melihat nama yang tertera di ponselnya. Evan.
“Pulang jam berapa, Bi?”
Hanya pertanyaan biasa tapi tetap tidak bisa menghapus senyum yang sudah terlanjur merekah di bibir Bianca, karena apapun yang Evan tanyakan dan lakukan selalu bisa membuat Bianca tersenyum bahagia! Lebay kah dirinya? Tapi memang itulah yang Bianca rasakan. Pengaruh cinta mungkin!
“Jam 6. Kamu udah pulang kerja?” balas Bianca.
“Udah, aku lagi otw mau jemput kamu.”
Bianca langsung melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul. 17.20. Cukup banyak pekerjaan yang harus dikerjakan dan dipelajari membuat Bianca tidak sadar kalau waktu sudah menjelang sore.
Bianca menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Tepat pukul. 17.50 Bianca turun dari ruangannya dan menunggu di lobby, tidak ingin membuat Evan menunggu terlalu lama. Dering ponsel yang setia berada di tangannya membuat Bianca tau kalau Evan sudah tiba di lobby.
“Hei, gimana tadi perjalanan kesini kena macet nggak?” tanya Bianca saat sudah berada di dalam mobil.
“Begitulah, kamu tau sendiri kan Jakarta kayak gimana,” balas Evan santai, tidak terdengar keberatan sama sekali meski harus melewati kemacetan yang menggila di setiap jam pulang kerja setiap harinya.
“Tuh kan aku bilang juga apa. Kasian kamu kalo setiap hari harus macet-macetan cuma karena anter jemput aku, Van,” keluh Bianca.
“Stt… jangan ngomong kayak gitu. Anter jemput kamu bukan hanya sekedar cuma, Bi. Kamu tuh penting buat aku, jadi aku harus memastikan kalau kamu aman dan selamat sampai tujuan, okay?” balas Evan sambil menggenggam tangan Bianca membuat gadis itu langsung tersipu, apalagi mendengar ucapan Evan barusan yang membuat hati Bianca semakin melayang ke langit ketujuh!
“Sekarang daripada debat soal itu mending kita makan malam diluar, gimana? Kamu mau?” tanya Evan harap-harap cemas, takut Bianca menolak.
Tapi untung kekhawatiran Evan sama sekali tidak terbukti karena Bianca mengangguk dengan antusias, tidak ingin melepas kebersamaan mereka yang bisa berjalan lebih lama daripada biasanya.
“Okay! Mau makan dimana?”
“Tempat favorit kita, gimana?”
“Sure!” balas Bianca sumringah.
Bianca menikmati waktu makan malam mereka. Obrolan yang seolah tidak ada habisnya. Begitulah mereka, meski Bianca dan Evan sudah bersahabat sekian tahun tapi obrolan diantara mereka tetap mengalir lancar, tidak ada kecanggungan sama sekali. Namun beda halnya dengan Evan, pria itu tampak gugup meski hanya dalam hati.
Untung AC di restoran ini menyala kencang hingga dapat menghapus keringat yang mungkin saja akan muncul disaat rasa gugup Evan sedang begitu menggebu seperti sekarang. Saat Evan sedang menguatkan hati untuk mengungkapkan perasaannya pada Bianca. Evan sudah tidak ingin menunggu lagi, lebih baik perjelas semuanya sekarang daripada kembali menundanya.
‘Now or never!’ batin Evan.
Dengan pemikiran itu membuat Evan menarik nafas panjang dan langsung menggenggam tangan Bianca hingga membuat gadis itu terkejut!