"Aku kangen banget sama kamu, Fan. Kangen banget." ujarnya lirih dengan sorot mata yang kini memandangnya dengan tatapan rindu.
Fani yang mendengar perkataan Ardi seperti itu membuat dirinya nelangsa. Menutup kedua matanya untuk tidak melihat mata Ardi yang selalu membuatnya goyah, tak lama kemudian ia tidak merasakan embusan napas cowok yang sialnya mantannya itu tidak menerpa wajahnya lagi. Mata cokelatnya terbuka dan perasaannya kembali hampa, Ardi meninggalkannya tanpa kejelasan arti dari ucapannya.
Fani menarik napas kemudian dikeluarkan, terus seperti itu sampai perasaannya membaik. Ia lalu kembali berjalan menuju kelasnya dengan langkah lemah. Tanpa gadis itu sadari, Ardi yang telah meninggalkan Fani dengan kelabilannya memandang gadis itu dengan pandangan yang sulit di artikan.
Begitu Fani sudah tidak terlihat lagi di depan matanya, ia segera membuka ponselnya menampakkan foto Fani satu tahun lalu. Ia tersenyum memandang foto itu, Fani dengan mata menyipit serta tangan kanan yang memegang sebuah cake tengah tersenyum ke arah kamera begitu cantik menurutnya.

"Cantik bener, pantesan aja Pak Rio mau cepet-cepet lamar mantan lo, Ar. Haha..."
Ardi seketika memasukan ponselnya ke dalam saku celana seragamnya, lalu memandang Radit tajam. Radit yang mendapat tatapan dari sahabatnya hanya terkekeh tanpa dosa.
"Makanya, lo balikan lagi sama dia. Kalau gak mau si Fani di ambil cowok lain." nasihat Radit yang mendapat dengusan dari Ardi.
"Ck emang siapa yang putus?" balas Ardi ambigu sambil berjalan begitu saja meninggalkan Radit yang terdiam di tempatnya.
"Tuh anak ngomong apaan sih, jawabnya nggak jelas dari kemarin." dengusnya.
"Woi, Ar! Tunggu gue..." teriak Radit begitu melihat Ardi yang telah berjalan jauh di depannya.
Fani yang bosan di rumah memilih untuk duduk diam sambil ngemil cantik di depan mini market sekitaran kompleknya. Kerjaan seperti itu setiap kedua orang tuanya berada di rumah, dia akan keluar dari rumah dan pulang ketika keadaan rumah sepi atau di saat kedua orang tuanya itu sudah tidur. Rara dan Maria sedang tidak bisa diganggu makanya dirinya berdiam diri di depan mini market. Jika dulu saat ia dan Ardi masih berpacaran, ia akan menghabiskan waktu di rumah cowok itu. Namun sekarang, memikirkan kenangannya bersama Ardi hanya membuat hatinya perih.
Nafsu makannya seketika bertambah menyadari perasaan sakit itu lagi, ia akan kalap jika sakit hati. Terbukti dengan dua bungkus pop mie berukuran besar sudah kosong, dan sekarang dirinya sedang memakan untuk yang ketiga. Membuat cowok yang baru saja keluar dari mini market itu terekekeh melihat porsi makan Fani.
"Ckckck rakus amat, lapar?" interupsi seorang cowok kini berdiri di samping kursinya.
Fani berdecak mendengar seruan cowok yang mengganggu aktifitasnya. Ia kemudian melirik cowok yang berani mengganggunya dengan tatapan mematikan. Namun sedetik itu pula wajahnya memerah melihat cowok yang mengganggunya itu.
"Ee Kak, Alan?"
Alan semakin terkekeh melihat wajah merah Fani begitu mengenali dirinya.
"So-sory Kak. Fani pikir siapa, eh taunya Kak Alan." ujarnya sambil meringis.
"Haha dasar kamu, yah. Eh tumben kamu nggak main lagi ke rumah, lagi berantem sama Ardi?" tanya Alan sambil mengambil tempat duduk di samping Fani.
Fani yang mendapat pertanyaan seperti itu dari Alan membuatnya meringis.
Bukannya berantem, Kak tapi udah putus!!! Jeritnya dalam hati.
"Lah kok malah bengong, kenapa?"
"Eh nggak kok Kak. Hehe..."
"Kalau gitu kita ke rumah yuk." ajak Alan kemudian berdiri.
"Ah nanti aja deh, Kak." tolak Fani halus, dia belum siap ketemu Ardi.
Namun sepertinya Alan tidak mengidahkan ucapan Fani, karena detik berikutnya Fani telah berada di dalam mobil Alan. Berbagai alasan ia sudah berikan namun Alan tetap tidak mau mendengar ucapannya, dan akhirnya dia kalah menerima ajakan Alan untuk ke rumahnya. Ia berharap tidak bertemu Ardi, doa nya dalam hati.
Mobil SUV itu berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua dengan gaya klasik. Rumah yang dulunya sering ia kunjungi namun semenjak dirinya putus lima bulan lalu, membuat fani tak berani untuk menginjakan kakinya lagi.
Degup jantungnya berdetak cepat ketika melihat motor milik Ardi yang berdiri tepat di samping mobil Alan. Kedua tangannya saling meremas begitu memasuki rumah, aura kekeluargaan membuat perasaannya berangsur-angsur membaik. Rumah Ardi selalu membuat perasaannya tenang, tidak seperti rumahnya yang terasa dingin.
Mata cokelatnya ia edarkan mencari seseorang yang selalu berhasil menjungkir balikan perasaannya. Ia kemudin duduk di ruang tamu menunggu Alan dari dapur, untuk beberapa saat dirinya mulai merasa tenang karena tidak melihat Ardi namun tetap saja perasaannya sedikit kecewa.
Cewek dengan kelabilannya.
Mata cokelat bening Fani yang sedari tadi melihat keadaan di sekitarnya mendadak menajamkan pendengarannya, ketika mendengar suara obrolan diselingi tawa renyah. Fani merasa familiar mendengar suara seorang cewek yang menanggapi obrolan Mama Alan. Perasaannya mendadak tidak karuan ketika suara itu semakin dekat menghampirinya.
"Fani?" ujar wanita paru baya itu sambil tersenyum lebar dan pada saat itu juga Fani ingin memeriksakan matanya. Karena yang dilihatnya sungguh menyebalkan, Shela dengan calon mertuanya! Oke ini benar-benar gila, ia nelihat Shela yang begitu 'cewek sekali' berada di dalam rumah Ardi dengan pakaian feminim. Wajah Shela di olesi makeup karena terlihat lebih dewasa, sedangkan pakaiannya cewek itu mengenakan dress biru ketat yang menempel sempurna di tubuhnya. Berbeda sekali dengan penampilannya yang hanya memakai tanktop berwarna putih dengan kemeja kebesaran berwarna cokelat, serta bawahannya hanya memakai celana jeans di atas paha yang tertutupi dengan kemejanya, rambutnya pun ia ikat asal namun tak membuat wajah cantiknya hilang. Perbedaan yang begitu jauh bukan? Tapi Fani sudah biasa berdandan seperti ini---tomboy ketika berjamu ke rumah Ardi.
Shela yang sama kagetnya dengan Fani hanya bisa terdiam bebrapa saat. Fani lalu berdiri kemudian berjalan menghampiri Tantri---Ibu dari kedua pria penghuni rumah ini.
"Hallo, Tan. Gimana kabarnya?" tanya Fani setelah mencium punggung tangan Tantri.
Wanita paru baya itu tersenyum lembut menatap Fani.
"Baik-baik, kamu gimana kabarnya? Tante kangen banget sama kamu, kamu sombong sih udah nggak mau main lagi ke sini." balas Tantri sambil duduk diikuti Fani dan Shela yang duduk di samping kiri kanannya.
Shela memutar bola matanya mendengar ucapan Tantri berbeda dengan Fani yang bisa tersenyum tipis sebagai jawaban.
"Ah i-itu a-aku lagi sibuk, Tan. Biasa kelas 12 hehe... " ujarnya sambil terkekeh yang langsung mendapat dengusan dari Shela.
"Ah kamu ini, eh kebetulan kamu di sini Fan. Makan yuk," ajak Tantri sambil berdiri.
Fani seketika menggelengkan kepalanya, menolak ajakan wanita paru baya di depannya. Shela yang melihat penolakan dari musuh bebuyutannya itu tersenyum puas, dia tidak suka makanannya di makan oleh Fani.
"Tante marah nih, kalau kamu nggak mau makan di sini."
Fani yang mendengar ancaman Tantri menjadi serba salah, di satu sisi dia tidak ingin berada di satu ruangan dengan musuh abadinya, di sisi lain dia takut bertemu dengan Ardi. Namun melihat wajah Tantri yang memelas seperti itu membuatnya tidak tega juga untuk menolaknya.
Dengan berat hati Fani menerima tawaran Tantri membuat Ibu dua anak itu tersenyum lebar. "Nah kalau begitu, ayo kita makan." seru Tantri sambil menuntun tangan Shela dan Fani.
Baik Fani maupun Shela hanya menghela napas pasrah.
Sesampainya mereka di ruang makan, Alan dan Ardi telah duduk di masing-masing kursi. Fani yang akan duduk di samping Ardi harus menelan kekecewaannya begitu kursi yang berada di samping Ardi telah di duduki oleh Shela. Cewek menyebalkan itu ternyata ingin memulai perang dengannya, dan ia akan mengikuti permainan cewek menyebalkan itu.
Fani akhirnya mengalah, ia duduk di samping Alan sambil tersenyum tipis yang di balas dengan senyum lebar Alan. Ardi yang diam-diam memerhatikan Fani duduk di samping Alan seketika wajahnya mengeras. Berbeda sekali dengan Shela yang sedari tadi menampilkan senyum lebarnya.
Acara makan itu berlangsung ramai terlebih Tantri yang selalu memulai pembicaraan, Fani yang biasanya aktif berbicara kini hanya mampu terdiam namun sesekali menanggapi obrolan Tantri maupun Alan. Lewat ekor matanya Fani melirik Ardi yang sedari tadi hanya diam dan sesekali membalas pertanyaan Shela. Membuat perasaannya panas seketika, Fani mengambil air minumnya lalu meneguk air itu sampai habis. Tantri yang memerhatikan Fani yang menurutnya kepedasan akibat makanannya, seketika beranjak dari tempat duduknya.
Tak berapa dia datang dengan membawa makanan penutup untuk mereka semua.
"Nih di makan pudingnya," seru Tantri sambil menaruh puding itu di atas meja.
Alan segera mengambil puding itu lalu menaruhnya di depan Fani membuat gadis itu mengerutkan keningnya dalam.
"Di makan, Fan. Aku liat kamu tadi kepedasan." ujar Alan yang di balas dengan senyum tipis Fani.
Ardi semakin mengeratkan genggaman tangannya pada sendok yang dipegangnya. Wajahnya semakin kaku yang sialnya tidak ada yang menyadari perubahan ekspresi pada wajahnya.
"Gimana, enak nggak Di. Pudingnya?" tanya Shela antusias.
"Hn." hanya deheman singkat Ardi sebagai balasan membuat bibit Shela melengkung dengan senyuman.
"Syukurlah kalau kamu suka," jawab Shela masih dengan memamerkan senyumannya membuat Fani menaikkan alisnya tinggi mendengar perkataan Shela yang menurutnya ambigu.
"Ini Shela yang buat loh, dia jago banget buatnya sampe Mama nggak dibolehin bantu sama dia." ujar Tantri polos tanpa merasa bersalah sekalipun.
Kunyahan puding di mulut Fani seketika terhenti begitupun dengan Ardi yang menghentikan tangannya di udara. Alan pun demikian, ia menyudahi acara makannya.
Raut wajah Fani berubah menjadi suram, ia menundukan kepalanya. Lain halnya dengan Shela yang terlihat puas melihat musuhnya itu kalah telak. Tantri yang baru tersadar akan suasana yang hening akibat perkataan bodohnya seketika meurutuki mulutnya. Dia melupakan jika ada Fani di sana, yang notabenenya kekasih Ardi anak bungsunya.
Ponsel Fani yang berada di dalamsaku celana pendeknya itu berbunyi, ia mengambil ponselnya lalu menatap Tantri dengan pandang minta maaf untuk mengangkat teleponnya. Fani segera beranjak dari kursinya keluar dari ruang makan menuju kamar mandi. Ia lalu mengangkat panggilan teleponnya yang ternyata dari salah satu sahabatnya, Rara. Setelah menyepakati untuk menginap di rumah sahabatnya telepon pun di matikan dan Fani pun kembali menuju ruang makan.
"Maaf Tan, sepertinya Fani harus pulang."
"Loh kenapa? Kan masih siang, Fan. Biasanya kamu suka lama di sini temenin Tante." balas Tantri yang semakin tidak enak kepada Fani.
"Fani ada urusan mendadak, Tan. Maaf banget dan makasih buat makanannya." ujar Fani sopan dengan raut wajah yang terlihat menyesal karena harus pulang mendadak, namun di sisi lain dirinya pun merasa senang karena tidak perlu memasang lagi topeng baik di wajahnya tersebut.
"Gue anter yah, Fan." seru Alan yang terlebih dahulu bersuara, Ardi berdecak kesal dia sudah berdiri dan akan mengantarkan Fani pulang tapi kakaknya itu lebih dulu berbicara.
"Eh nggak usah, Kak. Aku udah pesan Gojek kok." tolak Fani halus yang tidak ingin merepotkan siapapun. Padahal ia sudah berharap jika Ardi lah yang menawarkan diri untuk mengantarnya, bukannya Alan. Yah harapan adalah harapan.
Tanpa berkata apa-apa Ardi berlalu di hadapan mereka semua, dia keluar dari ruang makan entah menuju ke mana yang jelas sikap Ardi membuat perasaan Fani kembali sedih.
"Kalau gitu aku pulang yah, Tan, Kak Alan." pamitnya sambil menyalami tangan Tantri lalu berlalu dari hadapan mereka semua.
_
_
_
_
Tbc