Bab 5

1907 Kata
Fani tak menghiraukan ocehan Rara soal Radit yang mengajaknya kencan. Bukannya dia tidak peduli hanya saja pikirannya sedang berada di rumah Ardi. Kejadian tadi sore di rumah sang mantan membuatnya terus menerus memikirkannya. Tante Tantri yang sepertinya menyukai Shela membuat perasaannya sedih, terlebih Ardi pun yang menyukai makanan buatan Shela membuat dirinya semakin sedih dan terpojok saja. Dia memang bukan seperti cewek kebanyakan, dia tidak bisa memasak. Bahkan memasak telor pun dirinya selalu gosong, penampilannya pun apa adanya. Dia tidak pernah memakai makeup apa pun pada wajahnya, sekalinya memakai bedak hanya tabur yang selalu dipakai balita. Karena menurutnya kulit wajahnya sudah bersih dan putih maka dari itu lah dirinya tidak perlu repot-repot memoles wajahnya dengan ini dan itu. Bibirnya yang merah muda menjadi nilai plusnya, membuat dirinya tidak perlu memakai liptint atau pun lipstik. Alis matanya pun tebal dan juga bulu matanya yang panjang dan lentik menjadi nilai tambahan untuk wajahnya yang cantik natural. Berbeda sekali dengan Shela sang musuh bebuyutannya, cewek itu begitu feminime selalu memakai makeup ketika di sekolah. Belum lagi dia bisa memasak lengkap sudah sebagai cewek tulen. "Kenapa muka lo, Fan?" tanya Maria tiba-tiba menerobos ke dalam kamar Rara. Karena kedua orang tua Rara sedang keluar kota, maka dari itu lah Fani dan Maria menginap di rumah Rara. Mereka sering seperti ini namun dari rumah mereka, rumah Fani lah yang sering menjadi markas mereka. Kedua orang tua Fani selalu tidak ada di rumah, hanya ada pembantu di rumah Fani dan itu pun hanya beberapa jam saja. Rara dan Maria yang tidak tega melihat Fani selalu kesepian pun memutuskan untuk selalu menghabiskan waktu di rumah Fani. Fani menghela napasnya dengan berat, ia lalu menatap kedua sahabatnya itu bergantian. "Kemarin gue ke rumah Ardi," ujar Fani sambil menatap kembali kedua sahabatnya. Baik Rara maupun Maria menatap Fani dengan pandangan kaget dan tidak percaya. "Kok bisa?" tanya Maria gatal, karena dia benar-benar penasaran kenapa bisa sahabatnya itu pergi ke rumah Ardi. "Gue ketemu sama Kak Alan, dia ngajakin gue ke rumah. Padahal gue udah nolak dia, tapi tetep aja dia paksa gue." "Terus kenapa muka lo kusut gitu? Bukannya seneng, kan lo ketemu Ardi di sana." tanya Rara. Fani mengembuskan napasanya dengan kasar, terlihat sekali jika dirinya kesulitan untuk membalas pertanyaan Rara. "Gimana gue gak sebel, si ratu kosmetik ada di rumah Ardi!" dengusnya dengan sebal, kentara sekali jika dirinya benar-benar kesal dengan kejadian sore tadi. "Kok bisa?" "Mana gue tahu!" sewot Fani menatap Maria, membuat Maria berdecak sebal. "Gue yakin bukan karena ada si Shela aja lo kesel." kata Maria lagi. "Hm... Lo tahu nggak, tuh anak jago masak. Masa dia buatin puding buat si Ardi mana pudingnya enak banget lagi." dumel Fani dengan sebal. "Wah kalah lo, Fan." seru Maria tanpa rasa bersalah. Fani yang mendengar komentar Maria seketika melayangkan tatapan membunuhnya. Maria yang mendapatkan tatapan seperti itu dari Fani hanya meringis sambil terkekeh. "Apa jangan-jangan Ardi putusin gue, karena gue nggak feminim sama nggak bisa masak yah?" tanyanya pada diri sendiri dengan wajah sendu. "Ck plis deh, Fan. Dia kan tau penampilan lo yang cuek, nggak bisa masak dari dulu. Tapi kalian tetep jalan kan selama dua tahun ini." sahut Maria cepat dan gemas karena temannya itu lagi-lagi selalu menyalahkan diri sendiri. "Terus kenapa dia putusin gue?" "Yah mana kita tahu, lo dong tanya. Kenapa dia putusin lo." kali ini giliran Rara yang menjawab. Fani mendengus dia bingung sekarang, keheningan seketika melingkupi kamar Rara. "Gue pengen belajar masak." tegasnya dengan mantap. Rara dan Maria seketika berpandangan. "Yakin lo? Terakhir kita masak lo salah masukin bumbu. Lo nggak bisa bedain jahe sama kencur." kata Rara mengingatkan. "Salah sendiri kenapa warna mereka sama? Sama-sama putih." belanya tidak mau dipersalahkan. Rara menggeleng mendengar balasan Fani. "Kenapa sih lo repot-repot belajar masak? Lo kan jago bikin kue, kenapa gak lo bikin aja kue buat mereka?" "Tapi gue juga pengen bisa masak, Mar. Gue pengen bisa masak bareng sama nyokapnya Ardi." Maria mendengus mendengar jawaban Fani. "Tapi tetep aja lo bakalan kalah dari Shela, kalau pakaian lo aja kayak preman. Haha..." Seloroh Rara dengan tawa membuat Fani mencebikan bibirnya sebal. "s****n lo!" "Gini deh, kita bantu lo buat kembali dapatin Ardi. Kita ubah tampilan lo, lo tuh cantik Fan. Sayangnya lo terlalu cuek sama penampilan lo." "Bener tuh yang dibilang Maria, mumpung besok libur. Gimana kalau besok kita ke mal terus beli baju, habis itu kita belajar masak dan belajar makeup buat lo?" usul Rara yang mendapat anggukan dari kedua temannya. Ke esokkan harinya sesuai yang direncakan mereka bertiga, seharian itu mereka berbelanja, belajar makeup, belajar masak. Fani sesekali protes tidak mau memakai ini dan itu untuk wajahnya, dan dia beberapa kali mengomentari masakan hasil masakannya yang masih jauh dari kata enak. Membuat Rara dan Maria terkadang gemas dengan tingkah Fani yang selalu mengomel. Namun mereka tetap bersabar membantu Fani karena bagaimana pun juga mereka sahabat. _ _ _ _ _ Fani turun dari taksi dengan penampilan berbeda. Tidak ada yang aneh dengan seragam yang dipakainya, hanya saja dengan penampilan wajahnya yang lebih mendominasi. Dengan paksaan kedua temannya ia akhirnya memakai bedak untuk gadis seusianya, memakai pelembab dan juga lip balm hanya untuk membasahi bibirnya agar tetap lembap dengan yang sewarna bibirnya. Rambut yang selalu ia ikat ekor kuda kini ia biarkan terurai membingkai wajah cantiknya. Menurutnya penampilannya masih di batas normal tidak keterlaluan seperti Shela dan antek-anteknya, namun ternyata tidak bagi teman sekolahnya. Membuat mereka begitu terpesona melihat penampilan Fani yang terlihat memukau itu. Setiap Fani melangkah di sepanjang koridor setiap itu juga anak-anak yang melihat Fani menjadi menyapanya. Padahal sebelum-sebelumnya mereka terkesan segan karena melihat karakter Fani yang tegas. Tapi kali ini berbeda, melihat penampilan Fani yang begitu cantik serta selalu menampilkan senyuman membuat siapa saja ingin menyapanya. Begitu dirinya memasuki kelas yang ternyata sudah ramai, membuat Fani mendecak sebal. Karena mereka semua menyorakinya, dengan pujian-pujian yang menurutnya menyebalkan. Begitu pula dengan Bian dan Niko yang seketika menghampirinya memutar tubuhnya dan berdecak kagum melihat tampilannya. "Gile cantik banget lo, Fan." seru Bian sambil menatap Fani dari ujung sepatu hingga ujung rambut. Fani yang kesal melihat kelakuan norak teman sekelasnya itu berdecak. Ia kemudian berjalan menuju bangkunya tapi tetap saja diikuti Bian dan Niko. "Hehe... Gue pinjem buku MTK elo dong, lo udah ngerjain kan?" tanya Niko. Fani sekaan tersadar jika seharian kemarin dirinya sibuk di rumah Rara membuat dirinya lupa mengerjakan tugas. Wajah Fani seketika menjadi kaku, ini benar-benar celaka. Seumur-umur dirinya belum pernah tidak mengerjakan tugas, dia selalu mengerjakannya. Namun kemarin benar-benar dirinya melupakan tugas dari Pak Uta, bisa-bisa dirinya di hukum. "Gue belum ngerjain." ujar Fani sambil meringis. Niko, Bian dan Rara menatap Fani dengan pandangan tidak percaya. Jelas saja mereka tidak percaya, karena Fani dikenal dengan cewek cerdas yang selalu mengerjakan tugas tepat waktu. Maka dari itu lah mereka kaget mendengar jawaban polos Fani. "Kok bisa sih, jangan bilang elo bohong karena nggak mau kasih kita contekan." seru Bian dengan pandangan menyelidik. "Ih elo kalau nggak percaya liat aja buku catatan gue." sembur Fani kesal. Niko yang memang tidak percaya langsung saja mengambil buku catatan Fani di dalam tasnya. Ia lalu membuka buku catatan Fani dan benar saja, jika buku catatan itu kosong belum terisi. "Wah gawat, alamat di hukum Pak Uta kita." sahut Bian yang diangguki teman-temannya. "Yah nggak apa-apa lah, sekali-kali ini." balas Fani yang mendapat koor tidak terima dari teman-temannya yang lain. "Dih elu sih enak ngomong gitu, lah kita? Langganan kena hukum Pak Uta." ujar Niko yang diangguki Bian. "Yah itu sih salah elo, kenapa hobi banget kena hukum Pak Uta." balasnya dengan seringai menyebalkan. "Huh rese lo, Fan." Dan seketik itu pula Fani tertawa melihat wajah sebal Niko dan Bian. Tanpa mereka sadari guru yang menjadi obrolan mereka kini tengah memandang ke arah meja Fani. Pasalnya meja Fani tengah dikerubungi teman-temannya, membuat Pak Uta penasaran dengan murid-muridnya itu. "Ehem sedang apa kalian?" seru Pak Uta dalam dengan suara yang agak keras. Beberapa murid yang mengerubungi meja Fani pun seketika menoleh ke depan. Mereka semua kaget melihat Pak Uta yang tengah memandang ke arah mereka dengan pandangan super dinginnya. "Sudah selesai menconteknya?" seru Pak Uta membuat mereka semua kembali duduk ke kursi masing-masing. "Baiklah, kumpulkan pr kalian ke depan." ucapnya lagi namun tidak ada yang maju ke depan untuk mengumpulkan buku, membuat Pak Uta memandang mereka dengan alis terangkat tinggi. Mata hitam Pak Uta memindai seluruh muridnya, kemudian pandangan matanya berhenti pada meja Fani. "Fani cepat kumpulkan buku kamu." Fani yang mendengar namanya dipanggil dan disuruh untuk mengumpulkan bukunya, seketika dia meringis. "Emm maaf, Pak. Saya lupa belum mengerjakan." balas Fani dengan cengirannya. Karena Pak Uta tahu jika Fani belum mengerjakan tugas maka semua muridnya pun pasti sama. "Ck kalian ini, sampai kapan kalian akan mencontek Fani? Lihat sendiri akibatnya jika kalian tidak mencontek, kalian pun pasti kena hukuman." dengusnya sebal karena tidak habis pikir dengan anak didiknya itu. "Berdiri kalian di lapangan dan sekalian bawa bukunya." perintahnya lagi yang langsung saja di turuti muridnya. Pak Uta benar-benar keren jika menghukum, dia tetap saja tidak mau muridnya itu santai sedikit saja. Karena ketika di hukum pun Pak Uta tetap menerangkan soal, bahkan membahas tugas yang mereka tidak kerjakan. Terik panas hari di pagi hari mungkin bagus untuk sebagian orang yang sedang berjemur, tapi tidak untuk acara hukum-menghukum. Pak Uta tetap santai menerangkan soal-soal materi kepada murid-muridnya tanpa merasa kepanasan, jelas saja guru nya itu berdiri di sisi koridor. Sedangkan para muridnya berada di tengah lapangan. Tidak banyak yang dari mereka mengeluh kepanasan dan meminta untuk masuk kembali ke dalam kelas, yang sayangnya dihiraukan oleh Pak Uta membuat mereka menggerutu. Fani yang memang jarang sarapan membuat kepalanya merasa pusing, jelas saja dirinya harus berdiri ditengah terik matahari. Beberapa kali dirinya mengusap keringat yang berada di keningnya, sambil memijit pelipisnya yang berdenyut. Dirinya menyesal tidak mengerjakan tugas Pak Uta jika tahu akan dihukum seperti ini, namun dirinya pun merasa senang karena bisa merasakan hukuman seperti teman-temannya yang lain. Tak berapa lama kemudian bel berbunyi pertana pelajaran Pak Uta telah selesai, Fani dan teman-temannya merasa senang karena masa hukuman mereka akan berakhir. Sebelum Pak Uta membubarkan anak didiknya, tak lupa ia memberikan dulu nasihat dan tugas untuk minggu depan. Fani bersyukur jika hukuman dari Pak Uta telah selesai, jika tidak mungkin dirinya akan pingsan. Ia segera menyeret Rara untuk masuk ke dalam kelas, di sepanjang jalan koridor mereka mengobrol. Namun begitu dirinya akan masuk ke dalam kelas, langkah dirinya tiba-tiba berhenti melihat Ardi berdiri di depannya membuat Fani seketika kesulitan bernapas. Cowok itu tiba-tiba menyodorkan sebuah botol air ke hadapannya membuat Fani mengernyitkan keningnya bingung, namun akhirnya ia mengambil juga. Tanpa berkata apa-apa lagi Ardi berlalu dari hadapannya membuat pikirannya seketika bertanya-tanya. Fani yang masih berdiri kembali dikagetkan dengan Ardi yang kembali menghampirinya. Cowok jangkung itu menundukkan sedikit wajahnya seolah meneliti wajah Fani seolah tengah mencari sesuatu. Membuat wajah Fani yang sudah memerah semakin memerah saja, bernapas pun merasa kesulitan akibat jarak wajahnya begitu dekat. Jari jempol Ardi seketik mengusap bibir Fani dengan pelan. Membuat tubuh Fani seketika menegang akan sentuhan halus pada bibirnya, wajahnya tidak bisa dikondisikan lagi berbeda dengan Ardi yang bersikap biasa saja. "Jelek." ujarnya datar kemudian pergi begitu saja setelah dirinya menghapus lipbalm pada bibir Fani. Adegan tersebut tak ayal menjadi tontonan teman-teman sekelasnya, membuat mereka yang melihat aksi Ardi memperlakukan Fani seperti itu heboh seketika. Sorak sorai mengisi keheningan koridor dan kelas Fani. Sedangkan Fani sendiri masih terdiam terpana akan sikap Ardi yang membuat kerja jantungnya menggila. Terus aja baperin anak orang... Tbc Bagaiaman dengan chap ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN