bc

Magic Origami

book_age12+
2
IKUTI
1K
BACA
fated
arrogant
drama
sweet
humorous
lighthearted
school
selfish
sacrifice
substitute
like
intro-logo
Uraian

Hidup Jelita Maheswari berubah setelah dia masuk ke sebuah toko buku lalu mengambil sebuah buku dan menemukan sebuah kertas origami di sana. Hidupnya yang dulu sangat mengerikan dengan paras buruk rupa, keluarga pas-pasan bahkan nyaris kekurangan, tidak ada teman, jungkir balik dalam satu detik. Dia mendadak menjadi sosok lain yang sebelumnya sangat dia dambakan. Lantas, bagaimana bisa Jelita menjalani hidup yang bukan miliknya?

chap-preview
Pratinjau gratis
Jelita Maheswari
Langit dan hari yang cerah, tapi tidak untuk hidup Jelita. Jelita Maheswari. Namanya cantik, Ayah dan Ibu-nya menyelipkan ribuan do’a dibalik nama itu. Namun, tidak seperti kenyataannya. Gadis-gadis seusianya bilang, dia buruk rupa dan punya wajah bulat yang mengerikan apalagi saat tertawa. Dan, Jelita pun sangat membenci wajah serta dirinya sendiri. Lihatlah, tidak ada yang bisa dia banggakan: wajah bulat membosankan, mata sipit yang sangat mengganggu, kulit cokelat kusam dan selalu berminyak, hidung mengembang, alis tipis yang berantakan, rambut ikal yang selalu lepek meski setiap hari keramas, tubuh gempal, dan dua pipi yang menyembul aneh di wajahnya. “Mau sampai kapan lo begini, Jelek?” gumamnya seraya mematut diri di depan cermin. Dia baru saja membasuh wajahnya di wastafel toilet sekolah, tapi karena ia mengambil air terlalu banyak, anak rambut di sekitar wajahnya ikut basah. Jelita yang buruk rupa semakin kacau. Dia pikir setelah membilas wajahnya dengan air, setidaknya wajahnya akan lebih segar – tidak cantik pun tidak mengapa – tapi penampilannya kini bertambah mengerikan. Kulit berminyaknya seperti berhari-hari disengat matahari di terik hari. Tangannya terangkat untuk menyentuh jerawat di kening – tepat di tengah. “s****n, tumbuh lagi padahal baru kering,” decaknya. Jerawat juga menjadi salah satu masalahnya. Bintik-bintik itu selalu tumbuh tanpa ampun di wajahnya, bahkan jika pun sembuh pasti akan menimbulkan bekas menjijikkan yang bertekstur kasar. “Pantes aja pada bilang lo buruk rupa.” Tidak ada teman yang Jelita miliki – satu pun. Bahkan gadis yang sebenarnya tinggal di lingkungan rumahnya dan jelas-jelas tahu nama dan latar belakangnya, selalu bilang pada teman lain bahwa mereka tidak saling mengenal ketika ada di sekolah. Menarik sekali bukan? “Eh, ada Si Jelita di sini.” Celetukkan itu membuatnya menoleh ke belakang. Dua di antara tiga gadis lain tertawa sumbang – lebih tepatnya menertawakan dirinya. “Nggak salah orang tua lo kasih nama itu?” tanya salah satu dari mereka, yang Jelita tahu namanya sebagai Geez. “Memang harusnya apa yang cocok, Geez?” Yang lain bertanya dengan nada nyaring, entah siapa namanya Jelita tidak begitu peduli. “Buruk Rupa. Lebih cocok.” Tangan Jelita terkepal di samping tubuh, rahangnya mengetat. Tenggorokannya pun tercekat karena menahan marah yang kian membumbung di dadanya. Tahan, Jelita, tahan. Marah nggak akan menyelesaikan apa-apa, batinnya. “Bu-ruk Ru-pa.” Geez mendekatkan wajahnya pada Jelita, menyentuh anak rambut gadis itu yang tadi basah dengan gerakan pelan. “Wajah ini pasti sangat menyusahkan lo, iya ‘kan? I’m sorry to heard that. Gue ikut sedih. Tapi gimana ya, lo memang sejelek itu.” Mereka tertawa lagi. “Lagian, gue dulu udah peringatin lo,” ucapnya. Dia tarik napas sejenak, lalu melanjutkan, “Jangan bermimpi kalau lo akan setara sama kita. Lo sekolah di sini karena beasiswa, Sayang. Jangan belagu.” “Kasih paham, Geez,” sahut seorang gadis lagi yang tampak memainkan kukunya sambil bersandar di tembok. Rambut sebahunya tampak berkilau, seragam yang dibuat sangat pas di tubuhnya memberikan kesan manis. Tidak ada yang bisa menyangkal, mereka bertiga memang dewi sekolah. “Lo ingat beberapa bulan lalu … dengan mulut ini,” – Geez menyentuh bibir Jelita dengan ibu jarinya – ,”dengan sikap pahlawan, lo bilang gue nggak boleh ganggu siapapun. Lo membuat malu gue di depan anak-anak. Geez yang terkenal menguasai tiba-tiba disela oleh Jelita yang cantik ini. Gue kesel banget sama lo. Dan setelah gue cari tahu lebih banyak tentang lo, gue makin penasaran. Ternyata benar, berurusan sama lo sangat menarik dan menyenangkan.” Gadis lain, berkaca mata dan kuncir kuda tinggi dengan gigi delima yang sangat menawan, mendekat. “Kenapa diem aja sekarang? Ke mana suara pahlawan lo?” Si Rambut Sebahu menyeletuk, “Udah, Geez, Ris, bisa-bisa dia kencing di sini.” Mereka terkikik. Jelita menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak lalu mengembuskannya ke udara perlahan. Dia membuka mata lagi dan memberanikan diri untuk menatap Geez, membuat gadis itu tampak terkesiap beberapa detik. Jelita langsung menepis tangan Geez dari wajahnya. “Jangan lo kira gue takut.” Ketiganya melototkan mata lalu tak lama kekehan lolos dari mulut mereka. “Jelita Si Buruk Rupa semakin berani rupanya,” celetuk gadis berkacamata. “Karena wajah gue seperti ini dan gue hanya siswi penerima beasiswa, lo melakukan ini? Biar gue tebak, yang ambil tugas Biologi dan baju olahraga gue beberapa hari lalu kalian ‘kan?” Jelita menatap satu per satu gadis itu. Geez menggulung rambutnya lalu mengendikkan bahu. “Mungkin.” “Oh ya, jangan lupakan soal kejadian terkunci di toilet dan permen karet juga surat cinta di jaket Francs.” Rambut Sebahu mengimbuhi dengan tawa yang menggelegar. Jelita tidak tahan lagi. Ketiga gadis ini rupanya adalah iblis berwujud manusia. Dia tidak habis pikir kalau mereka melakukan semua hal itu – terlebih kejadian dengan Francs yang dikenal sebagai idola sekolah. Bisa dibayangkan saat ada secarik kertas berisikan surat cinta yang ditempel dengan permen karet bekas di jaket lelaki itu, betapa murkanya banyak siswi di sekolah. Dari banyak sudut, Jelita mendapat perlakuan tidak menyenangkan: ditatap sinis, dibilang gadis tidak tahu malu, dikerjai habis-habisan, dan masih banyak perlakukan semacamnya. “Kalian ….” Jelita menggeleng tidak percaya. “Makanya, jangan pernah berurusan sama kita,” bisik Geez. Tiba-tiba dalam hitungan detik – yang Jelita tidak tahu pastinya kenapa dia melakukan ini – tangannya terangkat lalu menyentuh rambut Geez dan menjambaknya. Geez berteriak nyaring. Gadis rambut mengembang itu kian menarik rambut Geez kencang, pemiliknya meronta minta dilepaskan. Dua gadis lain melotot, lalu mendekat dan masing-masing mengambil tangan Jelita hendak dilepaskan. Mungkin karena kekuatan yang didorong amarah, mereka tak semudah itu melepaskannya. Jelita seperti mendapat kekuatan entah darimana. “Lepasin! Lo gila, ya?!” teriak Geez. Kepalanya sampai mendongak ke atas karena tarikan gadis tersebut. Jelita yang biasanya hanya diam dan menatap takut saat Geez menganggungnya, berubah menjadi gadis pemberani – atau mungkin nanti dia bakal menyebut dirinya gila. Dia tebak, sehabis ini pasti dia akan dapat masalah yang lebih besar karena ketiga iblis ini adalah anak donatur terbesar di sekolah. “Jangan harap hidup lo tenang setelah lakuin ini – argh, sakit!” “Sayangnya gue nggak takut,” ucap Jelita penuh penekanan. Dia berusaha untuk tetap terlihat berani padahal dalam hati rasanya dia ingin menangis sekencang mungkin lalu meminta maaf. BRUK! Tubuh Jelita didorong paksa kedua gadis lain sampai tubuhnya jatuh dan membuat pintu toiet terbuka. Kini tubuhnya terjerembab ke lantai lorong. Dia meringis. Kedua sikunya nyeri. Beberapa anak yang ada di lorong berteriak kaget, namun mereka buru-buru menatap terkikik pada kondisi Jelita yang menyedihkan ini. Geez dan kedua gadis tadi sudah berdiri di depannya, sedangkan Jelita bergerak mundur dengan posisi duduk. “s****n. Rambut gue,” gumam Geez. “Pegangi dia!” Keduanya langsung berjongkok dan memegang kedua lengan Jelita, dia meronta. Disusul Geez yang berjongkok di depannya. “Lo semakin merepotkan.” Geez mengambil sesuatu dari sakunya – sebuah benda seukuran jari yang memiliki gagang dan tutup yang diputar. Saat diputar, benda seperti krayon merah perlahan keluar dari sana. Buru-buru Geez mendekatkannya ke wajah Jelita. “Biar tambah cantik,” lanjutnya. Seolah wajah Jelita adalah kanvas dan benda itulah kuasnya, Geez memainkan denga gerakan asal. Tawa terbahak-bahak dan penuh kebahagiaan merambat ke telinga Jelita. Tuhan, kenapa mereka memperlakukanku seperti ini. “Ya ampun, Putri Jelita cantik banget! Gue jadi pangling,” ujar seorang gadis yang berdiri di lorong sejak tadi. Jelita muak, dia segera menendang Geez dengan kakinya sampai gadis itu terjungkal ke belakang. Benda tadi terlempar entah ke mana. Semuanya berteriak nyaring, begitu juga dengan Geez yang terbentur dinding di belakangnya lalu mulai berteriak kencang. Dua gadis yang memegangi Jelita berusaha membantu Geez dengan gerakan cepat. Jangan menangis, Jelita. Dia bangkit dengan kaki gemetar luar biasa. Ditatapnya setiap pasang mata di lorong yang menatap wajahnya penuh kebencian. Sudahlah, tidak ada yang perlu diperbaiki. Sekalipun dia bersikap baik pada mereka, tapi tidak ada yang pernah coba mengerti perasaan Jelita yang terluka. Dia berlari, meninggalkan air mata yang perlahan jatuh di lantai-lantai lorong yang biasanya sunyi. *** Jelita menenggak sebutir obat pereda nyeri kepala yang dia simpan di nakas samping ranjang. Usai kejadian siang tadi, kepalanya berdenyut sakit luar biasa. Dia tidak berani untuk sekadar menerka kemungkinan yang bisa saja terjadi, seperti kemungkinan kalau pihak sekolah akan segera mencabut beasiswa karena mendengar kegilaannya bertengkar bahkan menedang salah satu anak donatur sekolah. Adalah dosa besar bagi seorang penerima beasiswa sepertinya untuk terlibat dengan siswi seperti Geez karena semua orang tahu dia bisa bersekolah dan menikmati fasilitas berkat uang dari para donatur. Iya, meski itu berarti keadilan adalah parameter nomor sekian. “Keadilan apanya,” gumamnya kemudian mengambil ponsel di sampingnya dan membaringkan diri. Lupakan soal kenyataan yang kapan saja bisa dia terima. Satu-satunya cara untuk meredakan gundah gulananya adalah dengan berselancar di dunia maya. Melihat banyak orang dengan berbagai karakter dan kebahagiaan yang berterbaran di tiap inchi ponselnya – meski Jelita sangsi apakah mereka memang sebahagia itu atau tidak – setidaknya bisa membuatnya tersenyum beberapa kali. “Gabino Farica Maheswari,” gumamnya sambil mengetikkan nama itu di kolom pencarian social medianya. Akun teratas dengan username @Fa.Gabino_ dan centang biru di ujungnya membuat jemarinya dengan gesit berlari ke sana. Matanya melotot tak percaya. “Gila, baru tadi pagi gue cek followers-nya masih 250 ribu, sekarang udah nambah tiga ribu,” decaknya kagum. Tiap foto yang diunggah membuat Jelita geleng kepala. Gabino, sebuah nama yang dia temukan karena mendengar gossip di koridor sekolahnya tentang betapa cantiknya gadis selebgram itu. Tidak ada yang salah dari perkataan mereka. Gabino sungguh cantik dengan tubuh semampai dan proporsional, mata belok dan iris cokelat terang yang menenangkan, wajah oval khas orang Indonesia yang lugu nun manis, alis rapi yang sangat pas, hidung mungil, rambut lurus sedikit di bawah bahu. Dengan kata lain, Gabino adalah kebalikan dirinya. Matanya lalu tiba-tiba menoleh ke kiri – pada cermin rias di kamarnya. Bibirnya lalu menyunggingkan senyum miring, matanya memancarkan amarah. “Mungkin kalau gue jadi siswi lain, gue juga akan memperlakukan wajah ini dengan buruk,” gumamnya lalu memperbaiki letak kacamatanya yang nyaris merosot dengan gerakan kesal. Semua tentang hidupnya sekarang terasa memuakkan. Satu-satunya yang dia sukai hanyalah nama belakangnya – Maheswari – karena Gabino juga memiliki nama akhiran yang sama. Sedikit melegakan, sebab setidaknya ada satu hal kesamaan di antara mereka. “Andai aja gue jadi Gabino, betapa menyenangkannya hidup gue.” Tangannya terus bergulir di kaca ponselnya – menyusuri satu per satu foto Gabino yang selalu memukau. Jika ada foto yang Jelita rasa sangat menarik dibanding yang lain, maka dia langsung melakukan screenshot dan menjadikannya wallpaper ponsel. Ya, Gabino semenarik itu untuk hidup Jelita. “Pasti ini teman-temannya,” ucapnya lagi. Ada tiga potret gadis lain di sana, dengan masing-masing akun yang di-tag adalah Jovanka, Alana, dan Orlin. Tidak ada yang terlihat tidak menawan di antara mereka – semuanya punya kelebihan yang saling menonjol. Meski mereka tidak tampak memakai riasan yang mencolok, tapi aura kecantikan mereka seolah melawan gravitasi bumi. Gabino, apa yang kurang dari hidupnya? Dia cantik bahkan sangat-amat-cantik, dari foto-fotonya dia terlihat berlibur ke beberapa negara dan itu menunjukkan dia berasal dari keluarga berkecukupan, teman-teman, pujian-pujian. Hidupnya pasti tidak ada bedanya dengan putri di negeri dongeng. Ah, sekali lagi, andai Jelita bisa menjadi Gabino suatu hari. Dia mengubah posisi menjadi telentang sembari memandang langit-langit kamarnya yang berwarna putih membosankan. Membayangkan jika fantasi itu bisa jadi kenyataan. Senyum Gabino menjadi miliknya, wajah rupawan Gabino melekat dalam dirinya, dan tubuh semampai Gabino menjadi raga yang dia bawa ke mana-mana. Sampai beberapa jenak dia masih dalam posisi yang sama, hingga akhirnya alam bawah sadar menariknya ke dalam mimpi. Mungkin, obat Pereda sakit kepalanya mulai bekerja. ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
285.2K
bc

Head Over Heels

read
16.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
192.4K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.7K
bc

DENTA

read
17.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
208.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook